Normal Baru yang Belum Efektif Menormalkan Ekonomi
›
Normal Baru yang Belum Efektif...
Iklan
Normal Baru yang Belum Efektif Menormalkan Ekonomi
Meski sejumlah sektor ekonomi kembali dibuka, pemulihan ekonomi dinilai tidak akan pulih dalam waktu cepat. Sebab, kasus positif Covid-19 di Indonesia pun semakin meningkat.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan kebijakan normal baru di tengah kasus positif Covid-19 yang terus meningkat dinilai tidak akan efektif dalam memulihkan ekonomi. Sebab, sekalipun masyarakat sudah boleh beraktivitas di luar rumah, tetapi mereka belum sepenuhnya berani untuk melakukan hal tersebut.
Kondisi ini terekam oleh Google Community Mobility Reports yang menunjukkan, per 5 Juli 2020, mobilitas masyarakat Indonesia di tempat perdagangan ritel dan rekreasi masih negatif. Secara nasional, mobilitas masyarakat negatif 20 persen, sementara di DKI Jakarta negatif 33 persen.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, setidaknya setelah satu minggu pemerintah mengumumkan penerapan kebijakan kenormalan baru maka mobilitas masyarakat seharusnya menjadi positif. Sebab, sejumlah sektor ekonomi kembali dibuka, misalnya tempat rekreasi dan mal.
”Tetapi yang menjadi pertanyaan, kenapa (mobilitas masyarakat) masih negatif? Ternyata penyakit kita hari ini ada pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang telah memperbolehkan masyarakat beraktivitas di luar rumah,” ujar Bhima.
Paparan ini disampaikan dalam diskusi Forum Populi secara dalam jaringan, Kamis (9/7/2020), bertemakan ”Apa Kabar New Normal?”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, peneliti Populi Center, Ade Ghozaly, dan Guru Besar Sosiologi UGM Tadjuddin Noer Effendi.
Bhima menjelaskan, ketidakpercayaan masyarakat untuk kembali beraktivitas di luar rumah setidaknya terlihat dari kelas menengah (40 persen) dan kelas menengah atas (20 persen). Mereka skeptis dengan penerapan protokol kesehatan di Indonesia dan memilih untuk tetap lebih banyak berada di rumah.
”Artinya, keberadaan normal baru bisa disimpulkan secara ekonomi tidak mampu membuat ekonomi Indonesia setidaknya pulih dalam waktu yang cepat. Sebab, normal baru di Indonesia bertentangan dengan kaidah kesehatan, yang positif masih banyak tetapi orang sudah disuruh beraktivitas di luar rumah,” kata Bhima.
Sejalan dengan itu, stimulus dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) juga relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dana stimulus Indonesia hanya 3,9 persen dari total produk domestik bruto (PDB) lebih rendah dari Malaysia (20 persen dari PDB) dan Singapura (12 persen dari PDB).
Realisasi anggaran PEN sebesar Rp 695,2 triliun pun masih berjalan lambat. Sebagai contoh, di sektor kesehatan yang mendapatkan anggaran Rp 87,55 triliun baru terserap 1,54 persen dan di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah dengan anggaran Rp 123,46 triliun baru terserap 0,2 persen (Kompas.id, 2 Juli 2020).
Bhima menilai, selain jumlah stimulus yang rendah dan realisasi yang lambat, bentuk stimulus tidak disiapkan dengan matang untuk memasuki normal baru. Misalnya, menjaga daya beli dengan memberikan bantuan sosial dan subsidi bagi masyarakat miskin dan rentan tetapi tidak menyertakan para korban pemutusan hubungan kerja sebagai penerima manfaat.
Berkaca pada Malaysia, Pemerintah Indonesia diminta untuk menerapkan kebijakan yang lebih efektif. Melalui Pelan Jana Semula Ekonomi Negara (Penjana), paket stimulus Malaysia, salah satunya memberikan suntikan dana bagi perusahaan yang merekrut kembali karyawannya yang di-PHK dengan dana 800-1.000 ringgit per karyawan.
Adapun insentif hingga 500 juta ringgit dalam bentuk hibah untuk UMKM yang bertransformasi ke digital. Pelaku usaha juga diberikan subsidi berupa paket internet sebesar 1 gigabita dari pukul 08.00-18.00 hingga 31 Desember 2020.
”Artinya, new normal itu seharusnya juga diikuti new policy (kebijakan baru). Ada new behaviour (perilaku baru) masyarakat yang ditangkap, salah satunya mereka lari ke digital. Inilah yang juga perlu mendapatkan stimulus,” kata Bhima.
Kesadaran masyarakat
Ade Ghozaly menyampaikan, meski secara makro aktivitas ekonomi belum kembali pulih tetapi secara mikro, ekonomi masyarakat kecil mulai kembali bergeliat. Meski begitu, masyarakat harus tetap memiliki kesadaran bersama bahwa Covid-19 akan tetap eksis hingga vaksin ditemukan.
”Kita harus sama-sama menyadari dalam posisi vaksin belum ditemukan tetapi kegiatan ekonomi harus berjalan, maka kita harus melakukan adaptasi baru. Protokoler kesehatan harus tetap dilaksanakan demi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia,” kata Ade.
Begitupun, menurut Tadjuddin Noer Effendi, masyarakat harus tetap memiliki kesadaran untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan. Jika tidak, episentrum baru penyebaran Covid-19 akan terus bermunculan.
”Kepatuhan masyarakat Indonesia ini yang sering kali tidak ada. Buktinya, begitu masuk normal baru, kasus positif pun meningkat karena masyarakat merasa semua sudah selesai dan kembali normal,” ujar Tadjuddin.
Untuk itu, masyarakat harus memiliki kesadaran secara pribadi kalau Covid-19 itu masih ada dan masih terus menyebar. Pemerintah pun harus terus meningkatkan upaya untuk mendisiplinkan warganya.