Mengatasi Bayangan Resesi Ekonomi
Pandemi Covid-19 menyeret cepat perekonomian dunia menuju resesi. Pengangguran dan kemiskinan kian menghantui perekonomian global, termasuk Indonesia.
Ancaman resesi ekonomi Indonesia kian nyata. Resesi akan lebih parah jika waktu untuk penanganan pandemi Covid-19 cukup lama. Apabila terjadi, konsekuensi pemulihan ekonomi akan berlangsung lebih sulit.
Pandemi Covid-19 menyeret cepat perekonomian dunia menuju resesi. Bahkan, ancaman depresi kian membayangi seiring terhambatnya seluruh aktivitas ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kemiskinan melonjak, daya beli pun menurun tajam.
Berdasarkan Laporan Bank Dunia, ekonomi global tahun ini diramalkan akan terkontraksi negatif 5,2 persen. Angka proyeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan laporan sebelumnya yang terbit pada Januari 2020 dan merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia II. Bahkan, perekonomian negara maju akan terkontraksi negatif 7 persen.
Sementara itu, di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2020 tercatat hanya sebesar 2,97 persen (yoy). Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), BPS, dan Kementerian PPN/Bappenas memprediksi bahwa ekonomi kuartal II-2020 akan tumbuh negatif.
Baca juga: Waspadai Krisis untuk Mencapai Tingkat Ekonomi Negara Maju
Publikasi Survei Konsumen BI juga menunjukkan bahwa keyakinan konsumen masih dalam level pesimistis (di bawah 100). Pada Juni 2020, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 83,8 dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) 45,8.
Seperti kondisi global, optimisme konsumen melemah disebabkan oleh pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa daerah. Tujuan pembatasan adalah untuk memperlambat penyebaran virus. Namun, adanya pembatasan berdampak pada penurunan penghasilan, konsumsi, dan investasi.
Pada kuartal selanjutnya, Kemenkeu mengharapkan pertumbuhan ekonomi dapat pulih dengan adanya biaya penanganan Covid-19 yang tersalurkan dan PSBB yang direlaksasi. Pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV diproyeksikan pada kisaran negatif 1,6 persen hingga 1,4 persen dan 1 persen hingga 3,4 persen.
Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, salah satu penyebab kontraksi ekonomi adalah lambatnya implementasi stimulus ekonomi. Lemahnya implementasi tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III kembali berkontraksi negatif.
Secara teknis, proyeksi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia semakin dekat ke dalam resesi ekonomi. Zona resesi terjadi jika perekonomian berkontraksi secara signifikan dalam dua kuartal berturut-turut secara negatif.
Apabila resesi menjerat Indonesia, masalah ekonomi dan sosial akan semakin meningkat. Permasalahan ini sebagai akibat dari perlambatan produktivitas sektor industri. Salah satu dampaknya terlihat dari bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan.
Data Kementerian Ketenagakerjaan per 27 Mei 2020 menunjukkan jumlah pekerja yang di-PHK dan dirumahkan sebanyak 3,1 juta orang. Padahal, selama lima tahun terakhir, angka pengangguran berhasil ditekan. Begitu pula dengan kemiskinan. BPS memperkirakan ada tambahan 3,9 juta orang penduduk miskin pada 2020.
Baca juga: Alarm Perlambatan Ekonomi di Normal Baru
Berbenah
Sejumlah negara, seperti Australia, Jerman, Perancis, Hong Kong, dan Amerika Serikat, telah masuk lebih dulu dalam resesi ekonomi. Pembatasan sosial membuat Australia pertama kalinya menderita resesi dalam 29 tahun.
Pertumbuhan ekonomi Australia pada kuartal I terkoreksi negatif 0,3 persen dan pertumbuhan ekonomi kuartal II diperkirakan negatif. Sementara Jerman, Perancis, dan Hong Long mengalami pertumbuhan minus berturut-turut pada kuartal IV 2019 dan kuartal I 2020.
Amerika Serikat mengidentifikasi dampak kedalaman resesi yang tecermin dari melonjaknya angka pengangguran. Laporan Biro Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran AS naik dari 3,5 persen pada Februari 2020 menjadi 13,3 persen pada Mei 2020. Angka ini mencapai rekor tertinggi sejak perang dunia II.
Besarnya potensi masalah yang ditimbulkan dari resesi ekonomi membuat Indonesia harus segera berbenah. Pemerintah perlu mempercepat realisasi stimulus fiskal. Kebijakan fiskal yang maksimal dapat mendorong daya beli dan konsumsi masyarakat. Kecepatan implementasi insentif fiskal memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan telah menaikkan dana dalam penanganan Covid-19 menjadi Rp 695,2 triliun. Dana tersebut dibagi ke dalam beberapa sektor, yakni perlindungan sosial (Rp 203,9 triliun), insentif UMKM (Rp 123,4 triliun), insentif usaha (Rp 120,61 triliun), kementerian lembaga dan pemerintah daerah (Rp 106,1 triliun), kesehatan (Rp 87,5 triliun), dan pembiayaan korporasi (Rp 53,6 triliun).
Namun, dalam sidang kabinet paripurna pada 18 Juni 2020, Presiden Joko Widodo merasa belum ada kemajuan progres penanganan Covid-19. Selama ini, penggunaan anggaran belum berjalan efektif dan berdampak pada masyarakat. Dari dana yang dialokasikan, realisasi anggaran masih minim dikarenakan kendala administrasi, birokrasi, dan regulasi.
Penyaluran insentif khususnya kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus dipercepat. Selama Covid-19 berada di Indonesia, sektor ini banyak menjadi korban. Padahal, kontribusi UMKM dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai lebih dari separuhnya. Berarti, sektor ini banyak menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Mitigasi Ancaman Krisis Ekonomi Covid-19
Selain mempercepat penyaluran pendanaan penanganan Covid-19, pemerintah juga perlu meyakinkan masyarakat agar kembali melakukan konsumsi. Cara meyakinkan masyarakat adalah dengan menekan angka kasus Covid-19 supaya tidak memperparah pandemi. Beban penanganan pandemi akan membuat ekonomi semakin sulit pulih dan berlangsung lama.
Ada peluang
Meskipun bayang-bayang resesi menghantui, masih ada peluang bagi Indonesia terhindar dari resesi. Tanda-tanda pembalikan ekonomi mulai terlihat dan diharapkan akan menjadi sinyal positif adanya pemulihan ekonomi di kuartal III.
Survei Konsumen BI pada Juni 2020 menangkap optimisme konsumen terhadap ekonomi dalam enam bulan ke depan seiring dengan meredanya Covid-19. Ekspektasi terhadap kegiatan usaha, penghasilan, dan tersedianya lapangan kerja pada enam bulan yang akan datang juga menguat. Menurut Bank Indonesia, indikator awal ini dapat menggambarkan bahwa Indonesia tidak akan menuju resesi seperti yang dikhawatirkan.
Masuknya aliran modal asing (capital inflow) di pasar uang menjadi indikator selanjutnya. Data transaksi tanggal 22-25 Juni mencatat, aliran modal asing masuk ke pasar SBN sebesar Rp 4,92 triliun walaupun masih terjadi aksi jual di pasar saham sebesar Rp 1,52 triliun. Selain itu, rupiah juga stabil secara fundamental dan inflasi rendah sesuai sasaran 2020 dan 2021.
Dari sisi pendapatan nasional per kapita, Indonesia telah naik kelas dari negara berpenghasilan menengah bawah sejak 2003 menjadi negara berpenghasilan menengah atas berdasarkan perhitungan 2019. Kabar ini disampaikan oleh Bank Dunia pada 1 Juli 2020.
Pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia naik dari 3.840 dollar AS menjadi 4.050 dollar AS. Artinya, Indonesia mengalami perbaikan ekonomi melalui program pembangunannya. Kondisi ini bisa digunakan untuk meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya di tengah pandemi Covid-19.
Walaupun sejumlah indikator ini terlalu dini untuk dapat dikatakan masih ada peluang terbebas dari resesi, hal tersebut dapat menjadi harapan pemulihan ekonomi. Pelaksanaan kehidupan normal baru dengan protokol kesehatan dan pembenahan kinerja pemerintahan diyakini akan menjadi jalan keluar dari ancaman resesi ekonomi. (LITBANG KOMPAS)