Saiman dan Saidin, Puluhan Tahun Merawat Kesenian Banyumasan
›
Saiman dan Saidin, Puluhan...
Iklan
Saiman dan Saidin, Puluhan Tahun Merawat Kesenian Banyumasan
Sejak 1979, Saiman dan Saidin, kakak adik di Desa Karangrau, Banyumas, Jawa Tengah melestarikan kesenian Banyumasan. Ia terus mengajak anak muda untuk menikmati dan memainkan karawitan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Kakak beradik, Saiman (65) dan Saidin (52), setia merawat kesenian Jawa sejak 1979. Di tengah perubahan zaman dan derasnya produk budaya pop hingga ke desa-desa, mereka berdua tekun mengajak anak-anak muda untuk menikmati dan memainkan seni tradisi Jawa.
Tangan Saiman lincah menabuh saron, alat musik tradisional Jawa yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Di sampingnya duduk adiknya, Saidin), yang mantap menabuh kendang. Tembang ”Ricik-ricik” dilantunkan bersama, menyemarakkan pagi di Grumbul Wrakas, Karangrau, Banyumas. Anak-anak hingga orang dewasa mulai berdatangan untuk menikmati tetabuhan nan dinamis, lantas ikut bergoyang dan berdendang.
”Manfaat seni ini pertama-tama bisa menghibur diri sendiri. Lalu bisa menghibur orang lain dan ketika ditekuni secara serius, bisa menghidupi,” kata Saidin di sela-sela waktu latihan dan pengecekan alat untuk pentas virtual atas dukungan Panggung Kahanan bersama Komunitas Pena Purwokerto, di Desa Karangrau, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (5/7/2020).
Sang kakak, Saiman, mengisahkan, darah seni menurun dari kedua orangtuanya, yaitu almarhum Madlasam (54) serta Sanis (84). Mereka biasa menyanyikan tembang-tembang Jawa, kidung, serta macapat saat hajatan perkawinan. ”Orangtua kami juga menyiapkan perlengkapan-perlengkapan perkawinan,” tutur Saiman.
Kehidupan yang serba terbatas kala itu serta meninggalnya sang ayah ketika Saiman duduk di bangku kelas V sekolah dasar, membuat Saiman putus sekolah dan bekerja menderes karet dan mencari kayu bakar untuk dijual. Di sela kesibukannya bekerja, kecintaan Saiman pada seni tetap tumbuh. Saiman dan adiknya, Saidin, aktif ikut bermain kesenian ebeg atau kuda lumping serta wayang orang di desanya.
Melihat adanya seperangkat alat gamelan milik desa yang terbengkalai dan disimpan di kandang ayam, mereka memutuskan untuk merawat dan membersihkannya. Lalu bersama warga sekitar, mereka mendirikan kelompok karawitan bernama Margo Rukun sekitar tahun 1979.
Dalam perjalanan waktu, kakak-beradik ini kemudian mengembangkan grup keseniannya. Tidak hanya karawitan, tapi juga kelompok kesenian ebeg, wayang, calung, serta tarian lengger Banyumasan. Mulai 1997-an, mereka aktif melatih anak-anak muda di desanya setiap malam minggu. Karena banyak anak muda yang bergabung, grup ini berganti nama menjadi Taruna Budaya. Nama itu berarti anak-anak muda yang melestarikan budaya. Sejauh ini ada 200-an anak muda yang pernah berlatih di grup tersebut.
”Lewat kesenian, anak-anak muda bisa berkegiatan positif. Kalau kebudayaan tidak diuri-uri, sayang sekali,” ujar Saiman yang memiliki 3 anak, 6 cucu, serta 2 buyut ini.
Bersama grup Taruna Budaya ini, Saiman dan Saidin sering menerima tanggapan untuk memeriahkan hajatan perkawinan, tidak hanya di wilayah Banyumas, tapi juga Cilacap, Purbalingga, Purworejo, Ciamis, Jakarta, hingga Jambi.
”Dulu sekitar 1980-1990, sebulan penuh bisa pentas terus. Sekarang paling sebulan 2-3 kali pentas, apalagi karena ada pandemi Covid-19, tanggapan makin sepi,” kata Saiman.
Ia mengakui bahwa kesenian tradisi mulai tergeser pertunjukan organ tunggal yang lebih praktis dan ekonomis karena hanya memperlukan satu alat musik dan satu pemain. Berbeda dengan karawitan yang harus membawa rombongan setidaknya 7-11 orang ditambah peralatan yang tidak ringkas. ”Kami tetap bertahan. Kalau tidak menabuh (alat musik), rasanya ada yang kurang,” katanya.
Persoalan lain yang mereka hadapi saat ini adalah soal anggota kelompok. Tidak setiap anggota kelompok bisa terus menekuni hidup sebagai seniman karawitan. Mereka memilih keluar sehingga Saidin dan Saiman mesti bongkar pasang pemain untuk kekosongan pemain.
Duta kerukunan
Tidak hanya memeriahkan hajatan, grup karawitan ini juga ikut menyemarakkan sejumlah kegiatan keagamaan. Saiman yang memeluk agama Katolik dan Saidin yang memeluk agama Islam saling bekerja sama. Kadang mereka pentas di acara gereja, kadang di acara yang digelar di masjid.
”Beberapa kali saya ikut mengiringi misa di gereja. Ini profesi saya dan saya beribadah lewat seni. Seni itu menghibur siapa saja, tanpa memandang bulu. Tidak melihat suku atau agamanya,” kata Saidin. Lewat seni, mereka menjadi duta kerukunan umat beragama.
Bagi Saiman dan Saidin, berkesenian juga bisa mengasah rasa serta melatih kekompakan. Paduan satu alat musik yang satu dengan tidak saling mendominasi, tapi mengalun bersama menghasilkan lagu yang indah. Kekompakan itu mewujud pada pementasan yang menarik.
Sejumlah prestasi pernah diraih kelompok seni ini, antara lain, Juara Harapan II Festival Karawitan Gudril Kolosal Banyumasan Se-Kabupaten Banyumas 2017 dan Juara I Festival Karawitan Banyumasan pada Februari 2020. Saidin pun pernah menjadi penabuh gendang terbaik pada Festival Karawitan Banyumasan pada 2020. Sementara itu, istri Saidin, Narsiti (46), menjadi pesinden terbaik pada ajang itu.
Melalui seni, wejangan dan nasihat serta nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat bisa terus diwariskan kepada generasi muda. Saidin mencontohkan, lewat tembang ”Gugur Gunung”, syair yang terkandung di dalamnya memuat ajakan gotong royong yang menjadi modal sosial masyarakat Indonesia.
”Ayo kanca, ayo kanca ngayahi karyaning praja.
Kono-kene, kono-kene gugur gunung tandang gawe.
Sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane.
Lila lan legawa kanggo mulyaning negara.
Siji, loro, telu, papat, bareng maju papat-papat.
Diulang-ulungake, murih enggal rampunge.
Holopis kuntul baris... holopis kuntul baris.”
”Tembang ini mengajak warga untuk bersama-sama bekerja bakti. Bergotong royong gugur gunung (meruntuhkan gunung). Saling estafet mengangkut batu atau tanah supaya pekerjaan menjadi ringan dan cepat selesai,” papar Saidin.
Bersama Saiman dan Saidin, tetabuhan saron dan kendang masih berkumandang di Grumbul Wrakas. Warga sekitar masih bisa menikmati tontonan gratis, anak-anak pun dapat belajar mengenal kebudayaannya dari sesepuh seniman grup karawitan Taruna Budaya yang setia merawat kesenian Banyumasan itu.