Saat pandemi, perusahaan yang menyertakan milenial mudah bertransisi dan bermigrasi dari bekerja di kantor menjadi bekerja dari rumah. Perusahaan yang sangat cepat beradaptasi adalah yang mau mendengarkan milenial.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Setiap bertemu dengan pebisnis, maka ada dua suara yang muncul tentang kehadiran milenial. Mereka mengeluhkan kehadiran milenial yang disebut malas dan mau enaknya sendiri dan di kelompok lain menerima kehadiran mereka sebagai agen perubahan. Saat pandemi mungkin menjadi saat yang tepat untuk menilai ulang kehadiran anak zaman ini.
Ketika pandemi muncul kita lebih banyak bekerja dari rumah, tidak lagi bekerja di kantor. Banyak orang menilai bekerja dari rumah yang berarti bekerja di luar kantor menjadi semakin produktif. Sejumlah ahli pengelolaan sumber daya manusia menilai, korporasi perlu melihat secara jernih fenomena ini bila ternyata bekerja di luar kantor lebih produktif. Beberapa perusahaan sudah memutuskan, membolehkan karyawannya untuk bekerja dari rumah selamanya.
Korporasi perlu melihat secara jernih fenomena ini bila ternyata bekerja di luar kantor lebih produktif.
Di tengah pandemi, kita juga menggunakan teknologi untuk bekerja dan menjalankan berbagai pekerjaan lainnya di luar kantor. Bila saja kita selama ini tidak paham dengan teknologi digital, maka pandemi menjadikan kita bahkan orang tua belajar berbagai produk teknokogi digital. Tidak mengherankan kakek-nenek kita belajar teknologi telekonferensi untuk berbincang berbagai topik dengan koleganya.
Saat pandemi pula tidak sedikit orang yang kembali ke alam. Mereka berkebun di sekitar rumah dari mulai menanam rempah sampai menamam sayur-mayur kebutuhan sehari-hari. Gerakan kembali ke alam sangat kuat selama pandemi. Mereka ingin kembali mencintai lingkungan.
Sampai di sini kita bisa menilai, bukankah ini semua yang dilakukan saat pandemi adalah menjadi aktivitas generasi milenial yang lahir antara tahun 1980 dan 1999 menurut versi Indonesia dan generasi setelahnya, yaitu generasi Z? Banyak ahli menyebutkan generasi ini merasa bekerja di luar kantor dan bekerja dengan waktu fleksibel bisa lebih produktif.
Mereka juga menggunakan berbagai teknologi digital untuk menyelesaikan banyak pekerjaan. Oleh karena itu, mereka kerap disebut masa kecilnya sudah dekat dengan teknologi digital.
Sejak beberapa tahun lalu minenial juga telah menyuarakan kecemasan terhadap masalah lingkungan. Survei yang pernah dilakukan Gallup pada tahun lalu menyebutkan, 67 persen mereka yang berumur 18-29 tahun menyatakan perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata dan perbuatan manusia adalah ancaman terbesar terhadap lingkungan. Sebanyak 73 persen dari mereka juga menyatakan memilih produk yang bersifat lestari.
Survei global yang dilakukan Deloitte terhadap milenial selama pandemi ini juga menyebutkan, masalah lingkungan adalah masalah nomer satu di benak mereka. Kriminalitas dan pengangguran menempati posisi nomor dua dan tiga. Mereka berharap, kini saatnya untuk melakukan perbaikan lingkungan meski sekitar separuh dari responden mengatakan, kita telah terlambat untuk melakukan perbaikan karena dampaknya sudah parah.
Tidak mengherakan bila sebuah tulisan tentang milenial di tengah pandemi di The Guardian pekan ini menyebutkan, perusahaan yang sangat cepat beradaptasi di tengah pandemi adalah perusahaan yang mendengarkan suara milenial di dalam perusahaan. Ada salah satu perusahaan yang lebih ekstrem lagi, yaitu mengganti tim penjualan dengan anak-anak milenial.
Perusahaan ini juga memasukkan milenial di penggunaan aplikasi serta di dalam manajemen sebuah proyek baru. Ia merasa milenial lebih gesit menghadapi masalah saat ini.
Perusahaan yang sangat cepat beradaptasi di tengah pandemi adalah perusahaan yang mendengarkan suara milenial di dalam perusahaan.
Saat pandemi, mereka yang menyertakan milenial ternyata dengan mudah bertransisi dan bermigrasi dari bekerja di kantor menjadi bekerja dari rumah. Oleh karena itu, mereka tidak kesulitan dalam melakukan rapat, melakukan penjualan, presentasi bisnis, dan bahkan bertemu dengan klien secara virtual.
Tidak mengherankan pula bila sejumlah ahli menyarankan agar para eksekutif perusahaan melibatkan milenial ketika harus membuat gerakan sosial saat pandemi seperti sekarang ini karena mereka memiliki kepedulian lingkungan yang lebih.
Seorang penulis bernama Nathan Peart di laman Forbes juga berpendapat sama, milenial dan generasi Z memiliki keahlian dan kecakapan yang cocok untuk bernavigasi di tengah masa sulit seperti sekarang ini. Bahkan, ia menyatakan, organisasi dan korporasi perlu bersandar pada opini dan cara-cara mereka di tengah sejumlah korporasi tidak mempunyai kebiasaan bekerja dari rumah. Lebih baik berendah hati menerima sejumlah saran mereka terkait dengan konsep dan teknologi yang tidak dikuasai oleh kita.
Pada saat yang sama, pandemi ternyata malah menyiapkan kita untuk membangun keterampilan dan pengetahuan baru yang berguna pada masa depan. Kita jadi mengetahui kebutuhan-kebutuhan organisasi pada saat krisis atau kondisi ekstrem.
Kita juga bisa sekaligus menyiapkan calon-calon pemimpin masa depan yang sesuai dengan tantangan ke depan dengan bersandar dan mendengar pada mereka yang menjadi anak-anak zaman itu.