Sekolah Tidak Lancar, Sejumlah Anak Menjadi Pekerja
›
Sekolah Tidak Lancar, Sejumlah...
Iklan
Sekolah Tidak Lancar, Sejumlah Anak Menjadi Pekerja
Selama pandemi Covid-19, pelayanan pembelajaran jarak jauh sulit dilakukan karena kendala sarana prasarana. Akibatnya, anak-anak justru menjadi pekerja. Hak pendidikan dan bermain mereka terabaikan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pembelajaran jarak jauh daring ternyata tidak menyentuh sejumlah anak di Tanah Air. Kenyataannya, selama masa pandemi, bukannya belajar dari rumah, sejumlah anak di wilayah Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan DKI Jakarta justru melakukan aktivitas di luar rumah, bahkan bekerja sehingga rentan mengalami kekerasan.
Situasi dan kondisi tersebut diungkapkan sejumlah anak yang tergabung dalam forum anak daerah di tiga provinsi tersebut saat melakukan pengamatan dan wawancara terhadap sejumlah anak di daerahnya pada awal Juni 2020.
”Banyak teman saya tidak sekolah, tapi ada di jalan raya dan pasar. Mereka berjualan sirih pinang, sayuran, ikan, dari pukul tujuh malam sampai pukul sembilan malam. Mereka jualan sendiri di pinggir jalan raya. Ada yang disuruh orangtua, tapi ada juga yang dibayar orang lain,” ujar Grace (15) dari Sumba Timur, NTT, kepada media, dalam keterangan secara daring, Rabu (8/7/2020).
Selama pandemi, jumlah anak-anak di Waingapu yang turun ke jalan untuk berjualan semakin banyak.
Selama masa pandemi, menurut Grace, jumlah anak-anak di Waingapu yang turun ke jalan untuk berjualan semakin banyak. Bahkan, Grace menghitung ada 30-40 anak perempuan ataupun laki-laki usia 13-17 tahun setiap hari berada di jalanan menawarkan dagangan kepada setiap pengemudi kendaraan bermotor yang lewat. Karena tidak didampingi orangtua, mereka rawan mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Grace bersama lima anak lainnya dari NTT, Kalimantan Barat, dan Jakarta, mendapat pendampingan dari Wahana Visi Indonesia (WVI) melakukan penelitian kualitatif sebagai pelapor dan pelopor (2P) pemenuhan hak dan perlindungan anak untuk mengetahui apa saja dampak dari pandemi Covid-19 yang dialami oleh anak-anak dari kelompok rentan. Mereka mewawancarai sejumlah anak di Ende, Timor Tengah Selatan, dan Sumba Timur (NTT); Bengkayang dan Kubu Raya (Kalbar); serta Jakarta Timur (DKI Jakarta).
Oleh karena aktivitas sekolah yang tidak berjalan lagi, Ivon (13) dari Ende mendapati sejumlah teman sebayanya, bahkan ada yang masih di bawah 13 tahun, bekerja di ladang padi seharian selama musim panen. Biasanya anak-anak tersebut mendapat upah Rp 30.000-Rp 50.000 per hari.
Tidak hanya di NTT, di Bengkayang, menurut Novita (17), anak-anak juga membantu orangtuanya yang bekerja di perkebunan sawit. Hal yang sama dilakukan sejumlah anak remaja di Jakarta Timur, yang mengamen di jalanan dengan menjadi manusia silver (tubuh dicat).
”Tidak hanya anak laki-laki, anak-anak perempuan juga mengecat tubuhnya dan mengamen di lampu merah dari pagi sampai malam. Mereka bisa dapat uang sampai Rp 300.000,” ujar Khusnul (16).
Di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sherly (16) mengakui, selama masa pandemi Covid-19, dirinya dan teman-teman sebaya tidak bisa mengakses pembelajaran jarak jauh secara teratur. Kondisi tersebut terjadi karena guru-guru tidak bisa menggelar pembelajaran jarak jauh akibat jaringan internet yang buruk.
”Kami seperti liburan, banyak guru tidak mengajar karena tidak punya kuota internet. Kami merasa rugi karena ketinggalan pelajaran. Rata-rata nilai kami turun drastis karena soal-soal yang diberikan guru saat ujian kami tidak pahami sehingga tidak bisa menjawab,” kata Sherly.
Dari keluarga ekonomi lemah
Analis kebijakan publik WVI, Tira Maya Malino, mengungkapkan, pandemi Covid-19 memberikan dampak bagi anak-anak di sejumlah daerah. Selain tidak bisa bersekolah secara aktif seperti anak-anak lain di sejumlah daerah, anak-anak di tiga daerah tersebut yang berasal dari keluarga ekonomi lemah terpaksa mengalihkan aktivitas mereka ke hal lain. Beberapa menjadi pekerja untuk membantu orangtuanya mencari nafkah.
”Meskipun pada sebagian besar anak-anak ini bekerja dengan keinginan sendiri karena tidak lagi disibukkan di sekolah, anak-anak tersebut rentan mengalami eksploitasi, hak pendidikan dan bermainnya bisa terabaikan,” papar Tira yang didampingi Amanda Putri Nugrahanti, Media Relation Executive WVI.
Anak-anak dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh bekerja lebih dari 3 jam per hari atau 15 jam per minggu.
Sementara hasil penelitian keenam anak tersebut saat ini sedang diadvokasi melalui wadah Child Led Campaign-Indonesia Joining Forces (CLC-IJF) sebagai Suara Anak Indonesia.
Mereka berkoalisi dengan anak-anak dari 12 provinsi lainnya melalui child online platform CLC-IJF bersama Forum Anak Nasional untuk terus mendorong pemenuhan hak dan perlindungan anak melalui rangkaian dialog dengan pemerintah melalui kementerian terkait.