Media telah beberapa kali memberitakan, banyak rancangan undang-undang ataupun revisi undang-undang yang akan dibahas DPR mendapat penolakan masyarakat sampai memicu unjuk rasa.
Untuk menghindari kekisruhan, akhirnya pemerintah menunda pembahasan. Beberapa di antaranya adalah revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan RUU Cipta Kerja untuk kluster ketenagakerjaan. RUU terakhir yang ditolak adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila.
Seperti diketahui, tujuan pembuatan UU, antara lain, memberikan kepastian hukum, perlindungan, dan jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat; menciptakan ketertiban dan kenyamanan; yang semuanya bermuara pada kemaslahatan bagi bangsa dan negara.
Saat ini, keputusan pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU sudah tepat sehingga dapat mendalami substansi pasal-pasal yang masih menimbulkan polemik, selain mendapat masukan lebih banyak dari pemangku kepentingan. Artinya, perlu sosialisasi lebih banyak.
Menjadi pertanyaan, apakah selama ini masyarakat kurang dilibatkan dalam pembahasan RUU mengingat banyaknya suara penolakan? Apalagi, alasan pemerintah dan DPR menunda pembahasan adalah untuk mendapatkan masukan lebih banyak lagi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pemerintah dan DPR sudah mendapatkan masukan yang dimaksud? Seharusnya, untuk RUU yang terkait dengan orang banyak, pembahasan berlangsung terbuka dan melibatkan semua pihak, tidak cukup hanya melalui beberapa elemen.
Saat ini, jumlah pengguna internet di Indonesia sekitar 175 juta orang. Artinya, 64 persen populasi (lebih dari setengah) sudah mengakses dunia maya. Dengan demikian, cara sosialisasi efektif adalah melalui media elektronik dengan tetap menjadikan media cetak sebagai basis.
Rasanya saya belum pernah membaca ada sosialisasi terbuka kepada publik sebelum pembahasan di DPR, yang menjelaskan tujuan, latar belakang, serta urgensi RUU atau revisi UU yang akan dikerjakan. Hal ini tidak hanya membuat masyarakat paham, tetapi juga meminimalkan adanya pihak tertentu yang ingin memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat guna membuat kekisruhan.
Pangeran Toba P Hasibuan
Sei Bengawan, Medan 20121
Sejak Kecil Saya Cinta ”Kompas”
Menyambut ulang tahun ke-50 Kompas, lima tahun lalu, saya menulis di Kompasiana, 26 Juni 2015, tentang bagaimana sejak saya kecil, pada 1970-an, di Fakfak, Irian Jaya (Papua Barat), di Ujung Pandang (Makassar), Bandung, dan sampai sekarang di Surabaya.
Hingga Kompas berusia 55 tahun sekarang, saya masih pencinta setia koran Kompas. Oleh karena itu, saya ingin berbagi pengalaman masa kecil saya dengan koran ini.
Sejak SD, saya sudah suka membaca berita. Pada 1970-an sampai 1982, saya tinggal di Fakfak, sebuah kota kabupaten kecil. Saat itu, Fakfak sangat miskin informasi. Buku dan koran merupakan barang langka. Televisi belum ada. Informasi paling dari siaran radio-radio luar negeri. Saya senang mendengarkan Radio Australia, VOA, Radio Nederland, dan BBC yang berbahasa Indonesia.
Pada masa itu, hobi membaca saya tersalurkan dari tumpukan koran bekas di gudang toko kami. Di antara tumpukan itu, banyak koran Kompas. Saya suka rubrik anak-anak: ada cerita pendek, puisi, serta cerita bergambar (cergam) Bobo dan Donal Bebek, sebelum kemudian menjadi majalah anak-anak tersendiri. Saya juga suka karikatur Oom Pasikom karya GM Sudarta.
Dari alamat tata usaha yang tercantum di koran, saya kemudian berlangganan koran Kompas dengan mengirim uang langganan via wesel pos. Koran Kompas kemudian dikirim langsung dari Jakarta via kantor pos.
Daniel Harjono
Satelite Indah, Tanjungsari, Surabaya