Stigmatisasi Pasien Covid-19 Menghantui Pedagang Pasar di Jakarta
›
Stigmatisasi Pasien Covid-19...
Iklan
Stigmatisasi Pasien Covid-19 Menghantui Pedagang Pasar di Jakarta
Anggapan Covid-19 sebagai aib masih menghantui para pedagang pasar di Jakarta. Kondisi tersebut membuat pedagang kerap menolak runutan pemeriksaan Covid-19.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemeriksaan Covid-19 di pasar wilayah Jakarta masih menghadapi penolakan dari sejumlah pedagang. Situasi ini menjadi kendala tersendiri dalam pelacakan pasien positif untuk kluster penularan di pasar tradisional.
Aksi penolakan tecermin dari sikap pedagang selama sepekan belakangan. Sejak Senin (6/7/2020), puluhan pedagang di Pasar Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat, menolak tawaran rapid test dari pengelola pasar dan puskesmas setempat. Penolakan itu pun masih berlangsung hingga Kamis (9/7/2020). Meski ada 50 pedagang di sana telah menjalani tes cepat Covid-19 melalui antibodi (rapid test), ada sebagian pedagang yang mengelak.
Seorang pedagang yang menghindari rapid test itu adalah Rohmah (18). Selama jadwal rapid test sejak 6 Juli, penjual tas di Pasar Sumur Batu ini terus mengelak, bahkan hingga menutup lapak. Di satu sisi, kehadiran petugas medis tak bisa memaksa pedagang untuk mengikuti tes.
Rohmah khawatir karena informasi yang simpang siur soal instruksi isolasi mandiri. Dia hanya tahu apabila terbukti positif Covid-19, dia harus berdiam di rumah, tidak boleh berdagang ataupun bepergian. Setelah sembuh pun, dirinya tidak dibolehkan lagi pergi ke pasar.
”Ya, saya tahu, proses pemeriksaannya sakit, karena hidung ditusuk sampai ujung (tes swab). Kalau ketahuan positif, nanti pedagang malah enggak ada yang berani dekat, apalagi pelanggan,” kata perempuan lulusan SMA ini.
Penolakan rapid test juga terjadi di sejumlah pasar lain. Pemeriksaan Covid-19 di Pasar Tasik, Petojo Selatan, Jakarta Pusat, juga sempat ditolak para pedagang pada 2 Juli silam. Dari sekitar 60 alat tes usap (swab), hanya 30 unit yang terpakai.
Stigmatisasi
Alasan menghindari tes juga karena ada stigmatisasi di kalangan pedagang lain. Widji Sumarsih (65), pedagang sayur eceran, menceritakan ada pedagang yang dilarang berdagang karena sang suami menjadi pasien dalam pantauan (PDP). Karena hal itu, kepala pasar meminta pedagang itu agar tidak berjualan dulu untuk sementara waktu. ”Itu teman yang berdagang di sebelah lapak saya tidak boleh jualan sejak momen Ramadhan. Padahal belum pasti suaminya itu positif Covid-19. Saya enggak mau begitulah,” kata Widji.
Selain karena stigma pasien Covid-19, Widji juga khawatir kehilangan penghasilan saat isolasi mandiri. Dia lebih memilih tetap berjualan selagi pasar masih diizinkan beroperasi.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengakui, ada stigmatisasi yang timbul tentang Covid-19 di kalangan pedagang. Pada sejumlah kasus pasien positif di Jawa, ada pedagang yang sulit untuk kembali berdagang setelah isolasi mandiri. ”Ya, ada stigma yang timbul di kalangan pedagang. Ada yang takut kalau positif itu malah diminta untuk isolasi di rumah sakit, wisma atlet, dan banyak lagi kekhawatiran yang lain. Problem ini masih harus diurai agar pedagang benar-benar paham apa yang harus dilakukan saat pemeriksaan Covid-19,” tutur Abdullah.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia Dicky Pelupessy menjelaskan, stigma yang timbul saat pandemi Covid-19 berkaitan dengan informasi yang selama ini diterima masyarakat. Stigma muncul saat terjadi bias terhadap suatu informasi sehingga muncul asosiasi atau anggapan tertentu yang salah di kalangan publik.
Pemahaman publik tadi bermasalah apabila disertai prasangka atau emosi negatif. Hal yang lebih menyakitkan adalah saat muncul diskriminasi, yakni pembedaan perlakuan di kalangan sesama warga.
”Stigma yang terjadi selama pandemi Covid-19 sepertinya tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga sejumlah negara lain. Dalam sejumlah kasus, pasien positif kerap mendapat diskriminasi. Bahkan, ada kalangan publik yang seakan menganggap pasien positif ini tidak berpeluang untuk disembuhkan,” kata Dicky dalam webinar gerakan Lapor Covid 19 bertajuk ”Melawan Stigma, Memutus Corona”.
Dicky menegaskan, bias yang ditimbulkan stigmatisasi harus dilawan dengan strategi penyampaian komunikasi. Untuk penanggulangan Covid-19 di pasar, dia menyarankan perlunya pendekatan kepada tokoh masyarakat setempat. Tokoh yang dituakan seperti itu perlu meluruskan informasi yang salah seputar Covid-19 di masyarakat.
Terkait itu, Ikappi juga mengimbau agar pedagang tetap saling menguatkan mental rekan yang positif Covid-19. Abdullah pun meminta bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengedukasi pedagang setempat. Sebab, pedagang setempat masih beranggapan kalau tertular Covid-19 adalah aib.
"Covid-19 bukan aib, justru korbannya ini harus kita sehatkan dan kita bantu agar bangkit kembali. Di satu sisi, saya juga berharap agar Pemprov DKI mempertimbangkan penutupan sebagian wilayah pasar saja apabila ada kasus positif. Misalnya, penutupan cukup dilakukan pada blok tertentu untuk lapak pedagang yang positif Covid-19,” ujarnya.