Adu Cepat Melawan Deret Ukur Covid-19
Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus melonjak. Hingga bulan kelima pasca-penularan Covid-19, puncak penularan tampaknya belum terjadi juga. Perlu langkah lebih serius lagi dari pemerintah untuk mengatasinya.
Pasien positif Covid-19 terus melonjak seperti deret ukur. Namun, penanganannya seakan memakai deret hitung. Pemerintah pun harus lebih serius agar penanganannya tak tertinggal jauh.
Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus melonjak. Hingga bulan kelima penularan Covid-19 di Indonesia, puncak penularan tampaknya belum terjadi juga. Fluktuasi penambahan kasus positif terus cenderung menaikkan kurva insiden Covid-19 di Indonesia. Pada Kamis (9/7/2020), tercatat penambahan kasus 2.657.
Selama sepekan mulai Jumat pekan lalu, sampai Rabu sebelumnya, penambahan kasus positif secara berturut-turut meningkat, dari 1.385, 1.624, 1.607, 1.209, 1.268, hingga 1.853.
Presiden Joko Widodo sempat mengunjungi Surabaya dan Banyuwangi, Jawa Timur, akhir Juni lalu, untuk mendorong sinergi gubernur dan bupati/wali kota mengatasi penyebaran Covid-19. Saat itu, Presiden menyatakan akan memantau terus dan mengikuti data perkembangan kasus di Jatim. Dia juga berharap dalam dua pekan ini ada penurunan signifikan kasus Covid-19 agar tatanan normal baru bisa segera diterapkan dan masyarakat bisa segera beraktivitas.
Baca juga: Persentase Kematian Lampaui Pasien yang Sembuh akibat Covid-19 di Surabaya Raya
Namun, harapan itu tak terjadi. Penambahan kasus di Jatim rata-rata naik dari sebelumnya 356 jadi 517. Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak dalam diskusi ”Satu Meja The Forum”, yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (8/7/2020) malam, dan dipandu jurnalis senior harian Kompas, Budiman Tanuredjo, pun mengakui. Dari hasil pemeriksaan spesimen, penambahan kasus belum menurun. Namun, jika tolok ukurnya kebersamaan masyarakat dan aksi di lini paling depan penanganan, ada intensitas yang meningkat.
Dari hasil pemeriksaan spesimen, penambahan kasus belum menurun. Namun, jika tolok ukurnya kebersamaan masyarakat dan aksi di lini paling depan penanganan, ada intensitas yang meningkat.
Selain mulai menerapkan jam malam, lanjut Emil, Pemerintah Kota Surabaya juga menutup jalan dan aktif menindak pelanggar protokol kesehatan. Bahkan, Pemerintah Provinsi bersama DPRD Jatim pun menyiapkan perda yang memungkinkan pemberian sanksi lebih berat jika warga melanggar protokol Covid-19.
Diskusi itu juga dihadiri pembicara lainnya, yaitu Ketua Umum Palang Merah Indonesia yang juga mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla; Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Hermawan Saputra; epidemiolog Universitas Airlangga, Prof Abdurrahman; dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin.
Tak sebanding
Menurut Kalla, perkembangan kasus yang melonjak akibat penularan Covid-19 seperti deret ukur, sedangkan penanganannya seakan menggunakan deret hitung. Pemerintah pun tertinggal. Lonjakan pertambahan kasus semakin cepat. Bahkan, saat akhir Juli, jumlah kasus di Indonesia secara kumulatif bisa mencapai 100.000-an.
Kalla menilai, pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan dinilai tidak efektif. Hal ini karena ketidaktegasan pemerintah ataupun tekanan ekonomi yang berimbas pada ketidakdisiplinan masyarakat. Masalahnya, saat penularan virus korona baru sangat cepat, pemerintah melonggarkan PSBB. Kerumunan kembali terjadi, pertemuan-pertemuan masyarakat di wilayah perkantoran dan pasar kembali muncul. Lonjakan kasus pun tak terhindarkan.
Kelambanan pemerintah dan tak efektifnya PSBB, lanjut Kalla, tidak lepas dari dilema antara penanganan krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Sulit mendapatkan hasil yang diharapkan jika memilih keduanya. Hal ini pula yang membuat gerak menteri-menteri di kabinet seakan saling menegasikan. Ada menteri yang mencegah perluasan penularan, sebaliknya ada menteri-menteri yang ingin segera mendorong ekonomi.
Perlu dilihat sebab akibat. Sebab, dari semua ini virus, akibatnya ke ekonomi. Maka, harus fokus dulu ke sebab utamanya (kesehatan), diselesaikan dengan berbagai cara.
”Perlu dilihat sebab akibat. Sebab, dari semua ini virus, akibatnya ke ekonomi. Maka, harus fokus dulu ke sebab utamanya (kesehatan), diselesaikan dengan berbagai cara,” tutur Kalla.
Karena itu, pengetatan PSBB dan mendorong masyarakat disiplin tidak bisa dihindarkan. Apabila mencoba memilih kesehatan bersamaan dengan mendorong ekonomi seperti di Amerika Serikat, keduanya tak tertangani. Belajar dari Jepang dan Korea Selatan yang berhasil menangani Covid-19 secara cepat, fokusnya pada pengurangan wabah.
Langkah itu, lanjut Kalla, seraya mendorong kedisiplinan dan kesadaran warga menjaga jarak, lebih banyak tinggal di rumah, dan mengenakan masker jika terpaksa keluar. Aksi lainnya, pemerintah menerapkan 3T, yakni testing, tracing, dan treatment, pengujian sampel sebanyak mungkin, pelacakan orang-orang yang kontak dengan pasien Covid-19 semasif mungkin, dan merawat pasien yang tertular. Virus juga harus dimatikan lewat disinfektan, membersihkan berbagai fasilitas umum dan rumah.
Kehilangan kendali
Hermawan sepakat dengan perlunya pengetatan PSBB, terutama di daerah dengan lonjakan kasus tak terkendali, seperti di Jatim. ”Kalau dilihat, policy option kita cuma satu, yaitu PSBB sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020,” ujarnya.
Hal itu terlihat di tiga provinsi yang awalnya menerapkan PSBB, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Barat. Di ketiga provinsi itu terbukti ada pelambatan penambahan kasus. Namun, saat kebijakannya tak jelas akibat pelonggaran—disebut PSBB transisi atau PSBB proporsional—tidak ada lagi kendali kesehatan.
Jatim dinilai lebih parah. Pasalnya, terjadi kekosongan aturan. PSBB tidak diterapkan, perda untuk sanksi pun belum disahkan sehingga kehilangan kontrol ini. Catatan kasus, baik insidensi maupun prevalensi, terus naik. Puncak kasus Covid-19 pun belum terjadi. ”Dalam kurva, kita ini masih dalam lembah yang menanjak,” ujarnya.
Apa pun, harapan tetap ada. Hingga kini, pemerintah masih terus merawat pasien Covid-19, mendorong warga memakai masker, dan menjalankan protokol kesehatan.
Di sisi lain, ketahanan nasional berbasis masyarakat harus dibangun di wilayah-wilayah dengan tingkat penularan Covid-19 yang masih relatif rendah. Puskesmas, kepala desa, dan lurah bisa berperan membangkitkan kesadaran mencegah pandemi.
Baca juga: Isolasi Berbasis Lokal Dinilai Lebih Efektif
Sementara itu, Abdurrahman memilih agar setiap orang menjaga imunitas masing-masing dengan menguatkan kendali diri dan kebaikan hati.
Menghadapi lonjakan kasus ini, Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, upaya pemerintah mengatasi Covid-19 tidak pernah kendur. Ia menepis Indonesia menjadi hotspot baru penyebaran Covid-19. ”Jangan dilupakan, pasien kita sembuh mencapai 50 persen,” ujarnya. Realitasnya, dari kumulatif 70.736 kasus Covid-19, jumlah pasien sembuh baru 32.651 orang di Indonesia.
Apa pun, harapan tetap ada. Hingga kini, pemerintah masih terus merawat pasien Covid-19, mendorong warga memakai masker, dan menjalankan protokol kesehatan. Langkah-langkah itu, setidaknya, menurut Kalla, menunjukkan pemerintah tidak mendorong herd immunity. Membiarkan masyarakat menghadapi virus korona baru dengan tingkat kematian sangat tinggi dinilai tidak patut dicontoh. Tentu, ke depan, upaya mengatasi lonjakan kasus harus lebih serius lagi.