Jalan Panjang Pulangkan Maria
Selama 17 tahun, Maria Pauline Lumowa jadi buron setelah membobol kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta, yang merugikan negara Rp 1,2 triliun. Tertangkap hampir setahun, akhirnya dia bisa dibawa pulang kembali.
Sejak ditangkap aparat hukum di Serbia pada Juli 2019, tak mudah bagi Indonesia memulangkan buronan tersangka dugaan kasus pembobolan kas Bank BNI sejak 17 tahun lalu. Setelah Maria, buronan lainnya pun kini menunggu.
Selama 17 tahun, Maria Pauline Lumowa menjadi buronan Pemerintah Indonesia setelah membobol kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta, yang merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun. Meskipun sudah tertangkap hampir setahun lalu, tidak mudah bagi pemerintah untuk memulangkannya kembali ke Indonesia karena berbagai rintangan, mulai dari halangan negara Eropa lain hingga upaya percobaan suap yang dilakukan pengacara Maria.
Dalam ujung pelariannya di Serbia, Maria akhirnya ditangkap oleh National Central Bureau (NCB) Interpol Serbia di Bandara International Nikola Tesla, Serbia, 16 Juli 2019. Penangkapan itu dilakukan berdasarkan pemberitahuan (red notice) Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003 dengan nomor kontrol A-1361/12-2003.
”Dia waktu itu, kan, pergi, sayang kami tidak tahu. Liburan atau apa atau bisnis, kami tidak tahu. Ia langsung ditangkap karena masih dalam red notice. Dia langsung diciduk oleh otoritas Serbia, interpolnya,” ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly kepada Kompas, Kamis (9/7/2020), di Jakarta.
Setelah Maria ditangkap, Kemenkumham langsung mengirim surat kepada Pemerintah Serbia atas permintaan Kepolisian Negara RI pada 25 Juli 2019. Mereka meminta supaya Maria ditahan terlebih dahulu sebelum dibawa ke Indonesia. Permintaan tersebut pun dikabulkan.
Baca juga: Maria Pauline Lumowa Tiba di Indonesia
Selanjutnya, Kemenkumham melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) mengirimkan surat permintaan ekstradisi pada 31 Juli 2019, yang disusul dengan surat permohonan percepatan ekstradisi pada 3 September 2019.
Dia waktu itu, kan, pergi, sayang kami tidak tahu. Liburan atau apa atau bisnis, kami tidak tahu. Ia langsung ditangkap karena masih dalam red notice. Dia langsung diciduk oleh otoritas Serbia, interpolnya.
Meskipun telah mengirimkan surat permintaan percepatan ekstradisi, Pemerintah Indonesia tetap harus melakukan langkah-langkah negosiasi tingkat tinggi lainnya. Pasalnya, ada proses pengadilan yang harus dijalani di Serbia.
Selama proses pengadilan, ada negara dari Eropa yang mencoba melakukan diplomasi melalui menteri kehakiman setempat agar permohonan ekstradisi Indonesia tidak dikabulkan. Bahkan, pengacara Maria juga mencoba melakukan upaya hukum dan berusaha menyuap petugas di Serbia.
”Jadi, kan, lawyer-nya, pertama ada yang mencoba menyuap 100.000 euro ke pejabat di kementerian di Serbia. Ditolak. Yang kedua (suapnya) naik 300.000 euro. Ditolak juga. Yang ketiga naik, 500.000 euro. Itu (pengacaranya) akhirnya ditahan. Jadi, pengacaranya ditahan karena mencoba menyuap (petugas). (Informasi) Itu (saya) diberi tahu sama asisten Menteri Kehakiman,” tutur Yasonna.
Langkah hukum dan upaya suap dapat dicegah, rintangan yang dihadapi masih belum berhenti. Kendala yang dihadapi pemerintah untuk memulangkan terduga buronan pembobol bank masih terjadi lagi dari salah satu negara Eropa yang merasa Maria adalah salah satu warga negaranya yang harus dilindungi.
Sebelumnya, pada 2010 dan 2014, Pemerintah Indonesia juga mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Belanda. Hal ini dilakukan karena Maria telah menjadi warga negara Belanda sejak 1972. Namun, permintaan tersebut ditolak. Belanda sempat memberikan pilihan kepada Pemerintah Indonesia agar Maria disidangkan di Belanda (Kompas, 9/7/2020).
Baca juga: Perburuan Buronan Belum Berakhir
Modal kasus Dimitar
Melihat hubungan baik antara Indonesia dan Serbia, jalan diplomasi tingkat tinggi pun dilakukan. Salah satu faktor yang menyebabkan hubungan baik itu tercipta adalah setelah pada 2015, Indonesia membantu Kepolisian Beograd (kini Serbia) untuk menangkap pelaku tindak kejahatan perbankan Dimitar Nikolo Iliev. Dimitar ditangkap oleh tim terpadu antara Polri dan Kejaksaan Agung, yang bekerja sama dengan Kepolisian Beograd (Serbia) dan Interpol. Dimitar terbukti mencuri uang pada rekening nasabah di Beograd dan orang asing dengan total kerugian 15 miliar euro atau sekitar Rp 24 triliun.
Meskipun para korban Dimitar adalah warga negara asing, dan dia dapat diadili di Indonesia karena melakukan tindak kejahatannya di Bali, dengan perjanjian ekstradisi dengan Serbia, Dimitar akhirnya dipulangkan ke Serbia untuk diadili di sana.
Yasonna menyebut, kasus pengembalian Dimitar menjadi modal Indonesia untuk bisa memboyong Maria meski tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Serbia. Di samping itu, hubungan antara Indonesia dan Serbia selama ini memang sangat baik.
”Kita tidak ada perjanjian ekstradisi, tetapi, kan, kita berpikir, dalam hal pertukaran dan untuk tindak pidana pencurian data, cyber crime, ini banyak dan salah satu crime lintas negara. Maka, kita mendorong supaya negara-negara yang melakukan tindak pidana di negaranya kita lakukan hal yang sama, (pasti) kita berikan, kita ekstradisi,” tutur Yasonna.
Dalam upaya diplomasi tingkat tinggi, Yasonna juga telah melaporkan langkahnya kepada Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Saat itu, Yasonna mengatakan, jika lewat dari 16 Juli 2020, masa penahanan Maria akan berakhir dan ia pun harus dibebaskan secara hukum. Proses negosiasi dengan Pemerintah Serbia pun tak lepas dari peran Duta Besar Indonesia untuk Serbia M Chandra W Yudha.
Yasonna juga telah melaporkan langkahnya kepada Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Saat itu, Yasonna mengatakan, jika lewat dari 16 Juli 2020, masa penahanan Maria akan berakhir dan ia pun harus dibebaskan secara hukum.
Yasonna pun bertemu dengan Presiden Serbia Aleksandar Vucic. Ia mendapatkan sambutan hangat dari Vucic, yang mengatakan, persahabatan historis antara Indonesia dan Serbia akan tetap dipelihara dan ditingkatkan.
Maka, pada Rabu (8/7/2020), Maria diserahkan kepada Pemerintah Indonesia melalui Kemenkumham. Ditjen AHU menandatangani penerimaannya dan kemudian menyerahkan tersangka kepada Badan Reserse Kriminal Polri.
Yasonna langsung menjemput Maria. Ketika tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, kemarin siang, dua sosok tersebut terlihat kontras. Yasonna datang penuh semangat, sedangkan Maria tertunduk lesu dan tangan terikat.
Di-”red notice” terus polisi
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menjelaskan, kesulitan penangkapan saat di Belanda karena sistem hukum Belanda tak memungkinkan warganya diekstradisi. Untuk itu, Pemerintah Belanda menawarkan Pemerintah Indonesia mengalihkan proses persidangan di Belanda. Dari perspektif otoritas Indonesia, hal ini sulit dan memakan biaya sehingga tak direalisasikan.
Beruntung, NCB Interpol Indonesia (Polri) memasukkan nama Pauline dalam red notice. Inilah yang memungkinkan otoritas Serbia menahan Pauline pada Juli 2019 saat mengunjungi negara tersebut.
Hikmahanto menyebut, perjanjian ekstradisi sesungguhnya tak selalu jadi pilihan mulus mengejar buronan. Misal, perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Australia, di sana, tetap ada proses hukum juga. Karena itu, penguatan diplomasi sangat penting, terutama di negara-negara yang diduga menjadi ”persemayaman” buronan. Sebab, tak semua negara mau menandatangani perjanjian ekstradisi.
”Kenapa? Kan, nanti, tak bisa dijadikan tempat pelarian lagi. Misal, Singapura. Ada perjanjian ekstradisi, tetapi tak aktif. Swiss, negara kecil, tetapi punya sumber daya alam, ya sudah jadi tempat (tinggal),” katanya.
Proses ini, menurut Hikmahanto, tidak boleh berhenti. Pemerintah harus mampu memastikan para pelaku mendapatkan hukuman berat. Kedua, memastikan pengembalian aset atas kejahatannya.
”Memang harus ada kerja sama dengan NCB Interpol. Karena kasus Maria ini, dia di-red notice terus sama Polri sehingga tercatat,” ucapnya.
Setelah Maria, pemerintah dan aparat hukum di Indonesia mendapat tantangan baru membawa pulang buron lain terkait kasus hukum. Kalau Maria bisa, mengapa Joko Tjandra dan lainnya tidak bisa?
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto sependapat. Perjanjian ekstradisi bukan satu-satunya cara memulangkan buronan dari luar negeri. ”Bisa atas dasar perjanjian tertulis, bisa juga kesepakatan ad hoc untuk saling membantu atau reciprocal,” tutur Sigit.
Baca juga: Maria Pauline Segera Diproses Hukum
Meskipun demikian, menurut Sigit, dengan bekal perjanjian ekstradisi, proses perburuan buronan sebenarnya bisa semakin mulus. Misalnya, China sangat gencar mendorong ekstradisi para pelaku korupsi yang kabur.
Upaya semacam itu dilakukan dengan dua target utama, memulangkan para koruptor agar dapat diproses hukum dan menyita harta kekayaan yang diperolehnya dengan cara-cara ilegal serta disembunyikan.
Kini, setelah Maria, pemerintah dan aparat hukum di Indonesia mendapat tantangan baru membawa pulang buron lain terkait kasus hukum. Kalau Maria bisa, mengapa Joko Tjandra dan lainnya tidak bisa?