Mengkaji Kontroversi Sistem Zonasi
Pelaksanaan sistem zonasi tetap saja masih menuai kritik dan kontroversi. Padahal, sistem ini memiliki tujuan mulia, yakni membuat pendidikan lebih merata.
Penerimaan peserta didik baru atau PPDB dengan sistem zonasi sudah berjalan tiga tahun, tetapi masalah dan kontroversi terus terjadi. Evaluasi dan penyempurnaan kebijakan harus terus dilakukan agar tujuan pemerataan mutu pendidikan dengan sistem zonasi ini bisa tercapai dengan tetap mengutamakan hak anak atas pendidikan.
Kisruh selalu mewarnai setiap proses penerimaan siswa baru melalui sistem zonasi, terutama untuk jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Di beberapa kota, orangtua calon siswa berdemonstrasi untuk mempertanyakan nasib anak mereka yang belum mendapat sekolah negeri.
Di Blitar, Jawa Timur, sistem zonasi pada Juni 2018 bahkan diduga memicu remaja putri, EP (16), bunuh diri. Ia khawatir cita-citanya masuk SMA favorit di Blitar terganjal aturan sistem zonasi.
Di DKI Jakarta, sebagian orangtua dan calon siswa juga tertekan mengikuti dan menunggu hasil seleksi dari beberapa jalur yang tersedia. Rasa tertekan itu akhirnya berujung kekecewaan karena seleksi zonasi juga menggunakan urutan usia sebagai acuan.
Ujian nasional yang dihapus pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan nilai tidak lagi menjadi parameter utama jalur zonasi dalam PPDB 2020/2021. Usia calon siswa menjadi kriteria yang lebih penting.
Dalam zona yang sama, calon siswa dengan usia yang lebih tua akan lolos terlebih dahulu. Hal ini mengecewakan orangtua karena anak-anak mereka yang berusia lebih muda belum mendapatkan sekolah sampai akhir masa PPDB. Orangtua umumnya keberatan memasukkan anak ke sekolah swasta karena biayanya mahal.
Semangat zonasi
PPDB sistem zonasi untuk pertama kali diterapkan tahun 2017 melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan sekolah bentuk lain yang sederajat. Sistem zonasi sudah melalui proses pengkajian cukup lama oleh Kemendikbud dan dianggap sebagai salah satu alternatif terbaik untuk menyempurnakan sistem rayonisasi PPDB sebelumnya.
Zonasi dijadikan dasar untuk melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh dan dilatarbelakangi amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU ini disebutkan, negara harus membangun ekosistem pendidikan yang harmonis antara sekolah/guru, orangtua/siswa, dan masyarakat.
Pendekatan yang mengutamakan kedekatan wilayah antara sekolah dan tempat tinggal dinilai akan mempermudah menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih baik. Pola pikir tentang ”kastanisasi” dan dikotomi antara sekolah favorit dan tidak favorit harus dihilangkan karena memperlebar kesenjangan. Diperlukan strategi sistem zonasi guna memperluas dan memeratakan pendidikan bermutu bagi setiap warga negara.
Zonasi dijadikan dasar untuk melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh.
Negara juga mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadilan sosial bagi setiap warga negara termasuk dalam hal pendidikan. Sistem zonasi menjadi terobosan untuk membongkar praktik ”kastanisasi” akibat eksklusivitas dan diskriminasi dalam sistem PPDB yang selama ini menggunakan instrumen nilai batas (passing grade).
Dengan sistem zonasi, setiap sekolah akan memiliki peserta didik yang heterogen dengan latar belakang beragam. Dari jalur afirmasi, anak-anak dari keluarga tak mampu dan kelompok disabilitas bisa mendapat kursi, sedangkan anak-anak di luar zona bisa ditampung melalui jalur prestasi.
Keuntungannya, kumpulan dari anak-anak yang bervariasi berada dalam layanan yang sama sehingga mendapatkan pendidikan karakter bekerja sama, berbagi, dan menumbuhkan empati. Sekolah pun akan tumbuh sama baiknya, semua menjadi sekolah unggul. Setiap anak mendapat kesempatan belajar di ruang kelas yang berkondisi baik dan diajar oleh guru yang kompeten.
Sistem zonasi juga akan memudahkan pemetaan kebutuhan sekolah, baik peserta didik, guru, maupun sarana prasarananya. Sistem ini memberikan pula implikasi pada perlunya menyiapkan semua sekolah bermutu sama dan setara dengan sekolah yang selama ini dinilai unggulan.
Pertanyaannya, semenjak sistem zonasi diterapkan, apakah pemerataan sarana prasarana sudah terwujud?
Dilihat dari gedung sekolah, dari tahun 2017 hingga 2019, persentase kondisi ruang kelas dalam keadaan baik dari SD sampai SMA semakin meningkat, sedangkan yang masih rusak sedang dan rusak berat berkurang. Fasilitas penunjang pendidikan lainnya seharusnya juga lebih memadai.
Akreditasi sekolah yang berhubungan erat dengan penjaminan mutu pendidikan mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Akreditasi A, B, dan C untuk semua jenjang pendidikan memiliki tren meningkat. Untuk jenjang pendidikan SMA, misalnya, proporsi sekolah yang berakreditasi A justru paling besar.
Adapun sekolah-sekolah yang belum terakreditasi berkurang sangat signifikan. Pada tahun 2017, di jenjang SD, ada 15,8 persen satuan pendidikan yang belum terakreditasi. Pada 2019 jumlahnya menyusut tinggal 1,6 persen. Demikian pula jenjang SMP dan SMA yang masing-masing turun dari 26,8 persen menjadi 2,4 persen dan 23,4 persen menjadi 2,3 persen.
Evaluasi pemerataan
Meski demikian, upaya pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara dari semua kalangan untuk mengenyam pendidikan melalui sistem zonasi belum terwujud optimal. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah (APS) dan angka partisipasi murni (APM).
Berdasarkan data APS Badan Pusat Statistik, pada 2019 masih ada 23,15 persen anak lulusan SMP yang tak melanjutkan ke sekolah menengah atau yang sederajat. Angkanya memang turun dari tahun 2017, tetapi masih berada di kisaran 23 persen. Dilihat dari APM, menurut data tahun 2019, masih ada 20,6 persen anak usia 13-15 tahun yang tak bersekolah di jenjang SMP dan 39,16 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah di sekolah menengah atau yang sederajat.
Upaya pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara dari semua kalangan untuk mengenyam pendidikan melalui sistem zonasi belum terwujud optimal.
Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah agar kesempatan pendidikan semakin merata di semua daerah. Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi, sistem zonasi dalam PPDB terus dikaji dan disempurnakan melalui Permendikbud yang dikeluarkan setiap tahun.
Pada PPDB tahun ajaran 2020/2021, berdasarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, persentase untuk jalur zonasi berkurang proporsinya menjadi 50 persen dari sebelumnya 80 persen. Jalur afirmasi minimal 15 persen dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Adapun jalur prestasi mendapat porsi maksimal 30 persen untuk mengakomodasi aspirasi orangtua yang ingin prestasi anak dihargai dalam memilih sekolah.
Meskipun sudah diatur lebih fleksibel, pelaksanaan di lapangan tetap saja masih menuai kritik dan kontroversi. Berkaca pada keresahan yang muncul, sistem zonasi perlu pematangan konsep dan sosialisasi yang lebih baik agar tercapai satu pemahaman dan berjalan dengan lancar. Pemerataan kualitas pendidikan membutuhkan kolaborasi dan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan segenap pemangku kepentingan di dunia pendidikan.
(LITBANG KOMPAS)