Pandemi ini telah mengubah kita menjadi manusia abnormal. Kita cenderung jahat, yaitu mencurigai tiap orang, termasuk sahabat-sahabat kita, anggota keluarga, bawahan kita, tetangga.
Oleh
Jakob Soemardjo
·4 menit baca
Pepatah Melayu ini mirip dengan ungkapan modern ”Tidur dengan musuh” (Sleep with the enemy). Korona sebagai musuh berada di samping kita siang maupun malam, waktu terjaga maupun waktu tidur. Tidur dengan musuh itu jelas tidak normal, tetapi kita diminta untuk bangun dan tidur bersamanya.
Orang bijak menyebutnya sebagai ”normal” meski diimbuhi kata keterangan ”baru”. Dengan demikian ”normal baru” sama saja dengan kondisi ”musuh dalam selimut” atau ”tidur dengan musuh”. Manusia normal adalah manusia yang bebas, santai, tak tegang, karena memang aman.
Tidur dengan musuh jelas tak akan bisa tidur, apalagi nyenyak. Kurang tidur akibat tak bisa tidur adalah tidak normal. Kalau Anda menyebutnya sebagai normal, bersiaplah untuk dicekik atau ditikam musuh. Bersiap-siaplah untuk mati sewaktu-waktu.
”Alam terkembang menjadi guru”, adalah peribahasa orang Minang, tetapi pada suku-suku lain juga dikenal kearifan semacam itu. Banyak kearifan lokal Indonesia berupa ungkapan-ungkapan bernas yang disebut ”pepatah” atau ”peribahasa” dalam budaya Melayu, membuktikan kebenaran bahwa alam raya ini gurunya manusia untuk hidup secara benar dan baik. ”Tiada rotan akar pun berguna”. ”Kebo nyusul gudel” (Kerbau menyusu anaknya).
Tetapi ketika hal ini saya bawakan dalam suatu ceramah, di luar dugaan, ada yang membantahnya. ”Apakah Bapak tidak berpikir bahwa alam itu juga membawa bencana bagi hidup manusia?”
Rupanya si penanya berasal dari daerah kepulauan kecil-kecil yang rata-rata pulau-pulau itu berupa pucuk gunung berapi, baik yang masih aktif maupun sudah mati. Orang sulit mencari kehidupan karena ke atas berupa hutan gunung terjal, ke bawah berupa pantai dengan laut yang dalam. Lahan yang mereka tempati juga hanya daerah pesisir yang terbatas.
Alam tak memberikan apa-apa kepada manusia. Satu-satunya kesempatan adalah menjadi nelayan. Nelayan menghadapi laut dalam dan ombak bergulung. Alam itu musuh, seperti kita sekarang memusuhi korona.
Bagaimana penduduk pulau-pulau kecil itu hidup bersama alam yang memusuhinya? Mereka membaca dan mempelajari alam lautan dalam itu.
Mereka tahu kapan ada ombak besar, angin kencang, ikan menghilang, sehingga pada hari-hari tertentu dan waktu tertentu para nelayan tak boleh melaut. Apabila ada yang nekat melanggar, hukumannya bukan hanya diderita si pelanggar adat, tetapi juga seluruh masyarakat, yaitu berupa angin badai dan ombak raksasa yang tak berhenti-henti selama beberapa hari.
Mengenali musuh
Bagaimana di masa kita sekarang ini dapat hidup bersama musuh bernama korona ini? Kita harus mengenal tabiat mereka dalam membunuhi begitu banyak anggota masyarakat kita. Kita sudah lebih empat bulan melawan mereka. Hasilnya kita belum pernah menang. Bertahan pun tak berhasil. Korban semakin banyak tiap hari.
Sudahkah kita mempelajari bagaimana provinsi tertentu sangat banyak jatuh korban dan provinsi lain sedikit korban? Apakah banyaknya korban sebanding dengan banyaknya penduduk? Mengapa beberapa kota kabupaten tiap hari ada yang jadi korban, sedangkan kota-kota kabupaten lain tak ada korban untuk dua bulan? Kelas sosial mana yang jadi korban terbanyak? Kelas atas yang hubungan internasionalnya ketat? Kelas menengah nonpegawai? Kebanyakan korban lelaki atau perempuan usia tertentu?
Apakah ketaatan pada agama memberikan dampak tertentu pada sedikitnya korban? Apakah keterpelajaran berpengaruh pada sedikitnya korban, misalnya di kota-kota terkenal sebagai pusat pendidikan?
Apakah kematian yang terdampak ada hubungannya dengan keterbatasan tenaga medis dengan segala fasilitasnya? Apakah membentuk semacam ”rumah sakit” baru di gedung-gedung pemerintah atau lahan negara? Apakah anggaran tersedia mencukupi perspektif perkembangan buruk yang terjadi?
Karena pandemi ini meliputi seluruh dunia, kita juga bisa belajar bagaimana mereka menghadapi musuh yang sama ini. Kalau keterpelajaran ada hubungannya dengan korona, mengapa di AS jatuh korban terbanyak di dunia?
Apa karena semboyan kolektif mereka ”Merdeka atau Mati”? Apakah Brasil mirip dengan kondisi sosio budaya kita? Apakah jatuhnya korban pandemi ini sama dengan kita?
Berdamai dengan musuh sekarang ini berarti berdamai dengan maut. Kendaraan maut itu unta yang berlari sangat cepat, bunyi pepatah Arab. Korona bergerak tak terduga kecepatannya melalui pergerakan manusia yang juga kian cepat. Only the good die young, kata pepatah Barat. Usia saya yang 80 tahun, the bad man, rupanya yang paling dianjurkan untuk tidur dengan musuh di bawah selimut.