Kemungkinan penurunan partisipasi pemilih di Pilkada 2020 perlu diantisipasi penyelenggara. Potensi penurunan partisipasi itu jadi konsekuensi pilkada di tengah Covid-19. Karena itu, pemilih harus dijamin kesehatannya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kemungkinan penurunan partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2020 perlu diantisipasi oleh penyelenggara pemilu. Potensi penurunan partisipasi pemilih itu mnejadi konsekuensi logis dari penyelenggaraan pilkada yang dilakukan di tengah-tengah pandemi Covid-19. Jaminan kepastian atas keselamatan dan keamanan pemilih saat memberikan suara dapat mendongkrak partisipasi pemilih.
Di satu sisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 cukup tinggi, yakni 77,5 persen. Angka itu dilihat dengan kritis melalui kajian atas survei yang dilakkan oleh Litbang Kompas, 8 Juni 2020. Dari jajak pendapat itu, 65 persen responden menyatakan bersedia berpartisipasi dalam pilkada; 28 persen tidak bersedia berpatisipasi dalam pilkada; dan 7 persen responden mengaku tidak tahu apakah akan berpartisipasi di dalam pilkada.
Selain itu, terkait dengan kampanye yang menerapkan protokol kesehatan, sebanyak 64 persen responden bersedia menemui calon kepala daerah apabila ia menggunakan alat perlindungan diri (APD). Sebanyak 27 persen responden tidak bersedia menemui cakada tanpa APD; 6 persen responden bersedia menemui responden tanpa APD; dan 3 persen menjawab tidak tahu.
Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Deli Wildianti dalam diskusi daring bertajuk, ”Pilkada di Tengah Pandemi: Mendongkrak Partisipasi Pemilih, Mencegah Pilkada Ambyar”, yang diadakan PARA Syndicate, Jumat (10/7/2020) di Jakarta, mengatakan, hasil kajian itu menunjukkan adanya keengganan pemilih berpartisipasi dalam pilkada karena pertimbangan keselamatan dan keamanan mereka terkait dengan pandemi Covid-19.
Kalau ada asumsi partisipasi pemilih turun itu sangat mungkin terjadi akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus bisa meyakinkan pemilih tentang jaminan atas keselamatan dan keamanan mereka dalam Pilkada 2020”
Angka 28 persen responden tidak mau berpartisipasi dalam pilkada, sekalipun kecil dibandingkan dengan yang menyatakan bersedia, yakni 65 persen, setidaknya menunjukkan target 77,5 persen yang ditetapkan KPU ada potensi meleset karena faktor pandemi.
”Kalau ada asumsi partisipasi pemilih turun itu sangat mungkin terjadi akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus bisa menyakinkan pemilih tentang jaminan atas keselamatan dan keamanan mereka dalam Pilkada 2020,” katanya.
Survei Kompas yang juga menunjukkan ada keengganan responden bertemu dengan cakada yang tidak memakai APD, yakni 27 persen, menunjukkan kesadaran pemilih tentang perlunya keselamatan dalam Pilkada 2020. Apalagi, menurut Delia, saat ini terjadi tren kenaikan kasus positif Covid-19 yang diumumkan oleh pemerintah. Kondisi ini mesti dicermati oleh penyelenggara pemilu untuk memastikan pemilih yakin terhadap proses dan tahapan pilkada yang mengikuti protokol kesehatan secara ketat.
Berdasarkan perspektif hak asasi manusia, sekalipun hak memilih dan dipilih adalah bagian dari HAM, sehingga harus dijamin dan dilindungi, tetapi ada hak yang lebih fundamental, yakni hak untuk hidup, dan hak atas keselamatan. Dengan pertimbangan keselamatan itu, hak pilih yang bersifat derogable rights bisa dicabut atau ditunda dalam kondisi darurat, terutama apabila mengancam hak lainnya yang justru tidak dapat ditunda atau non-derogable rights, seperti hak hidup dan hak atas keselamatan.
Partisipasi jangan diartikan sempit
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan, definisi tentang partisipasi pemilih sebaiknya tidak disempitkan hanya menjadi jumlah atau angka pemilih yang mencoblos di hari pemungutan suara. Namun, partisipasi ialah keterlibatan aktif semua pemilih terhadap setiap tahapan proses pilkada. Dengan demikian, untuk menumbuhkan partisipasi itu, bukan hanya soal mendorong pemilih untuk memilih di bilik suara, melainkan juga mendidik pemilih mengenai hak-hak mereka dalam setiap proses dan tahapan pilkada.
Di sisi lain, untuk menjamin pemilih aktif berpartisipasi dalam setiap tahapan pilkada di tengah pandemi harus ada skenario yang diatur oleh penyelenggara pemilu. ”Pemilih harus aman dulu secara psikologis, dan terbangun kesadaran dirinya bahwa dia akan aman dari pandemi. Agar partisipasi pemilih tidak rendah, tentu keselamatan dan keamanan masyarakat harus dipastikan,” katanya.
Alwan menegaskan, pendidikan pemilih menjadi hal penting, termasuk untuk menghilangkan ketakutan psikologis, dan meyakinkan kesiapan penyelenggara pemilu. Kondisi psikologis menjadi penting karena di tengah pandemi ini masyarakat sedang mengalami situasi ekonomi yang sulit, sehingga ada kecenderungan pemilih lebih berpikir untuk memertahankan kehidupan ekonominya, daripada memikirkan soal pilkada.
”Jangan pula ada pikiran untuk menutup kebutuhan akan uang itu dengan mengadakan pilkada, dan melakukan politik uang guna mengatasi kebutuhan itu,” katanya.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, penyelenggara pemilu harus memiliki skenario untuk mengantisipasi kemungkinan rendahnya partisipasi pemilih karena pilkada di tengah pandemi. Dalam kondisi normal pun persoalan partisipasi ini bukan hal yang mudah, terlebih lagi dalam kondisi tidak normal seperti saat ini.
”KPU memiliki tugas berat dalam mengantisipasi kemungkinan turunnya partisipasi pemilih. KPU antara lain bisa memikirkan untuk mengatur keserentakan pilkada, yakni dengan bergelombang, disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah, yang termasuk zona merah, zona kuning, dan zona hijau Covid-19,” katanya.
Tidak ada zonasi
Kita tidak bisa memastikan suatu daerah itu statusnya zona merah atau kuning, dan hijau, sebab status itu cepat sekali berubah. Bisa saja hari ini daerah itu hijau, tetapi pada esok hari menjadi kuning, bahkan merah. Karena kita tidak bisa memprediksikan penularan Covid-19 seperti apa. Oleh karenanya, standar penerapan protokol kesehatan dilakukan ketat di semua daerah.
Secara terpisah, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020. Dalam penerapan protokol itu, KPU tidak membeda-bedakan antara zona merah, zona kuning, maupun zona hijau. Dengan demikian standar protokol kesehatan sama antara daerah satu dengan yang lain sama saja.
”Kita tidak bisa memastikan suatu daerah itu statusnya zona merah atau kuning, dan hijau, sebab status itu cepat sekali berubah. Bisa saja hari ini daerah itu hijau, tetapi pada esok hari menjadi kuning, bahkan merah. Karena kita tidak bisa memprediksikan penularan Covid-19 seperti apa. Oleh karenanya, standar penerapan protokol kesehatan dilakukan ketat di semua daerah,” ujar Arief.
Terkait dengan penyediaan APD, Arief mengatakan, anggaran pilkada harus dipastikan kesediaannya. Pada tahapan pertama, KPU meminta untuk dianggarkan Rp 1,02 triliun. Namun, dari jumlah itu, sekitar RP 941 miliar diberikan kepada KPU. Pada tahap kedua, KPU mengajukan anggaran yang lebih besar, yakni 3,2 triliun, karena kebutuhan APD pada tahapan di tahap kedua itu lebih besar. Adapun pada tahap ketiga, KPU memerlukan Rp 457 miliar.
Untuk memastikan anggaran cukup dan tepat waktu, untuk tahap kedua, KPU telah meminta pihak kesekretariatan jenderal KPU mengurus administrasi pengajuan dan pencairan dana itu lebih awal. ”Harapannya agar anggaran itu dapat dicairkan pada Agustus 2020,” tuturnya.