Penghentian Penyelidikan Rektor UNJ Dinilai Tidak Profesional
›
Penghentian Penyelidikan...
Iklan
Penghentian Penyelidikan Rektor UNJ Dinilai Tidak Profesional
Polda Metro Jaya menghentikan kasus dugaan korupsi Rektor UNJ Komarudin. Sebelumnya perkara itu juga dilimpahkan KPK ke Polda setelah OTT. ICW pun angkat suara karena kasus itu sudah memenuhi unsur pemerasan dan suap.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch menilai penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi Rektor Universitas Negeri Jakarta Komarudin memperlihatkan penanganan perkara ini tidak profesional. Sebab, perbuatan yang dilakukan Komarudin memenuhi unsur tindak pidana korupsi, yakni pemerasan dan suap.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Jumat (10/7/2020), mengungkapkan, sejak awal kasus ini ditangani, KPK terlihat tidak profesional dan terkesan takut menindak Komarudin. Hal tersebut terlihat dengan keputusan KPK sebelumnya melimpahkan perkara percobaan gratifikasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini kepada Kepolisian Negara RI. Tak heran jika kemudian Kepolisian Daerah Metro Jaya juga ikut-ikutan menghentikan penyelidikan.
Setelah dilimpahkan, pada Kamis (9/7/2020), seperti dikutip dari Kompas.com, Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi pejabat UNJ yang terjadi di Kemendikbud. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, penghentian perkara itu dilakukan setelah polisi memeriksa 44 saksi dan dua saksi ahli.
Selain memeriksa saksi, polisi juga melakukan rekonstruksi kasus dugaan korupsi itu di UNJ dan gedung Kemendikbud. Namun, mereka tidak menemukan unsur tindak pidana korupsi karena tidak ditemukan dugaan pemberian uang yang dilakukan pejabat UNJ.
Sejak awal kasus ini ditangani, KPK terlihat tidak profesional dan terkesan takut menindak Komarudin. Hal tersebut terlihat dengan keputusan KPK sebelumnya melimpahkan perkara percobaan gratifikasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini kepada Kepolisian Negara RI.
Menurut Kurnia, keputusan penghentian penyelidikan terlihat janggal. Sebab, berdasarkan rilis yang disampaikan Deputi Penindakan KPK Karyoto, disebutkan bahwa Komarudin mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor mengumpulkan uang tunjangan hari raya (THR) kepada dekan fakultas dan lembaga di UNJ.
Pada 19 Mei 2020, terkumpul uang sebesar Rp 55 juta dari delapan fakultas serta dua Lembaga Penelitian dan Pascasarjana. THR tersebut rencananya akan diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM (Sumber Daya Manusia) di Kemendikbud.
Dalam rilis yang disampaikan Karyoto tersebut juga disebutkan bahwa dalam OTT yang dilakukan KPK bersama dengan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud, Dwi diamankan beserta barang bukti berupa uang 1.200 dollar AS dan Rp 27,5 juta (Kompas.id, 22/5/2020).
”Pada bagian ini saja setidaknya sudah ada dua dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi, yakni praktik pemerasan dan suap,” ujar Kurnia.
Selain itu, polemik terkait tidak adanya unsur penyelenggara negara seperti yang disampaikan KPK juga patut dinilai sebagai alasan yang terlalu mengada-ada. Sebab, Pasal 2 Angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan bahwa pimpinan perguruan tinggi negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Oleh karena itu, dengan mengaitkan dua argumentasi di atas dengan Pasal 11 Ayat (1) UU No 19/2019, sebenarnya KPK dapat menindaklanjuti kasus tersebut.
Kepercayaan semakin turun
Menurut Kurnia, dengan KPK tidak menindaklanjuti kasus ini akan membuat ekspektasi publik kepada KPK semakin menurun. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 17-20 Juni 2020 mengindikasikan adanya penurunan tingkat keyakinan dan persepsi positif responden terhadap KPK.
Jika menindak pejabat universitas saja takut, bagaimana mungkin masyarakat berharap KPK akan berani memproses elite kekuasaan yang terlibat praktik korupsi? Tentu mustahil.
Sejauh ini, hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 17-20 Juni 2020 terhadap 591 responden di 33 provinsi mengindikasikan adanya penurunan tingkat keyakinan dan persepsi positif responden terhadap KPK. Kendati begitu, KPK masih dianggap sebagai lembaga penegak hukum yang paling dipercaya responden (53,3 persen).
Sebanyak 54,9 persen responden yakin pemberantasan korupsi oleh KPK akan lebih baik, sedangkan responden yang menjawab tidak yakin 41,6 persen dan sisanya tidak tahu. Hal ini memburuk dibandingkan jajak pendapat Kompas pada Januari 2020, yakni 76,8 persen menjawab yakin dan 19,8 persen tidak yakin. Dari sisi tingkat kepuasan terhadap kinerja KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi, 56,9 persen responden menyatakan tidak puas. Persentase ini lebih buruk dibandingkan jajak pendapat sebelumnya, 35,9 persen.
Selain itu, citra KPK juga memburuk. Hasil jajak pendapat Juni 202 menunjukkan, 44,6 persen responden menjawab citra KPK baik. Sementara pada jajak pendapat Januari 2020 terdapat 64,2 persen responden yang menjawab baik. Persepsi masyarakat terkait citra KPK tercatat menjadi yang terburuk dalam delapan jajak pendapat secara berkala oleh Litbang Kompas dari Januari 2015 hingga Juni 2020. Pada Mei 2017, 82,8 persen responden menjawab citra KPK baik. (Kompas, 23/6)
”Jika menindak pejabat universitas saja takut, bagaimana mungkin masyarakat berharap KPK akan berani memproses elite kekuasaan yang terlibat praktik korupsi? Tentu mustahil,” katanya.
Dalil kepolisian untuk menghentikan penyelidikan kasus ini juga berbanding terbalik dengan alasan KPK. Kepolisian mengatakan, perbuatan ini tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, sedangkan KPK menggunakan alasan tidak adanya keterlibatan oknum penyelenggara negara.
Kurnia menilai, tidak menutup kemungkinan pemberian uang kepada pegawai Kemendikbud tersebut memiliki motif tertentu dan bukan hanya sebatas pemberian THR.
Kewenangan Polda Metro Jaya
Tentu penghentian penyelidikan tersebut menjadi kewenangan Polda Metro Jaya.
Menanggapi kritik ICW, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, sesuai ketentuan Pasal 11 UU KPK, kasus ini telah dilimpahkan kepada kepolisian. ”Tentu penghentian penyelidikan tersebut menjadi kewenangan Polda Metro Jaya,” kata Ali.
Baca juga : Pelimpahan Perkara OTT Rektor UNJ Dipertanyakan
Ia menuturkan, KPK menghargai upaya yang sudah dilakukan Polda Metro Jaya yang telah memeriksa 44 saksi dan dua ahli pidana. KPK sebelumnya juga telah melakukan supervisi, di antaranya memfasilitasi saksi-saksi dan ikut pada gelar perkara hasil penyelidikan tersebut.
Penyerahan perkara juga pernah dilakukan KPK kepada Aparat Pengawasan Inter Pemerintah. Hal tersebut dilakukan saat KPK melakukan tangkap tangan bersama Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) terhadap oknum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kasus ini diserahkan kepada Bawas MA untuk ditindaklanjuti.