Kompas, 28 Juni 2020, menyajikan hasil ”survei pendahuluan” Litbang Kompas tentang respons masyarakat terhadap tatanan normal baru. Disimpulkan, ada ketidaksiapan dari kelompok kelas menengah yang seharusnya di garda terdepan perubahan (sosial).
Kelompok yang ditengarai ”gamang” ini berciri-ciri berpendidikan tinggi, usia 41 tahun ke atas, status karyawan plus pensiunan. Mereka cenderung ”pesimistis” terhadap tatanan normal baru, tetapi bersikap positif terhadap upaya pemerintah menangani pandemi.
Ini berbeda dengan kelompok masyarakat atas dan bawah (termasuk yang berpendidikan rendah, muda usia, dan tak bekerja) yang optimistis: lebih siap menerima tatanan baru, lebih menekankan aspek ekonomi daripada proteksi, melihat peluang ”bergerak bebas”, ”mandiri”, dan berani (atau nekat?), dan ”cinta kerumunan”.
Dinyatakan pula bahwa wajah Indonesia akan sangat ditentukan oleh dua kekuatan ini: kalangan optimistis yang sudah mulai bergerak (dalam pengertian apa?) dan kebijakan jitu pemerintah mendorong yang ”pesimistis”.
Konklusi semacam itu dapat menyesatkan. Masyarakat kelas menengah adalah ”garda terdepan” perubahan perilaku sosial karena secara obyektif mereka ”lebih terdidik”, berusia ”matang”, dan lebih bisa ”menerima” aturan.
Mengapa survei itu justru menganggapnya sebagai potensi ”menghambat” gerak perubahan. Benarkah?
Bukankah kegamangan yang berarti ”tak siap” menempuh risiko meningkatnya penyebaran Covid-19 serta percaya kepada pemerintah justru sesuatu yang realistis, menunjukkan kepedulian pada kepentingan bersama, bertindak hati-hati berdasarkan kalkulasi risiko, sekaligus mendukung upaya pemerintah? Mengapa dalam survei ini justru dianggap penghambat? Ada yang janggal!
Kalaupun ada sepercik rasa bimbang—mengamati gejolak perilaku sosial di berbagai media—hal itu mungkin erat sangkutannya dengan pertanyaan mendasar. Bisakah kita bergerak bersama sebagai suatu kesatuan masyarakat yang menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya, seperti saat memperjuangkan kemerdekaan?
Saya menantikan laporan hasil survei seutuhnya, tentunya disertai dengan penjelasan yang secara konseptual dan operasional dapat dipahami berbagai pihak.
Zainoel B Biran
Psikolog Sosial; Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Mendesak
Mohon maaf, saya merasa aneh. Wabah Covid-19 belum berakhir, mengapa kita tidak berkonsentrasi mengatasi?
Soal ideologi dan politik sebaiknya singkirkan dulu. Misalnya, tunda dulu pembahasan RUU HIP dan RUU Cipta Kerja. Terkait wabah Covid-19, banyak yang mendesak diselesaikan, termasuk fungsi DPR dalam hal legislasi.
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana belum menyentuh pandemi seperti yang kita hadapi saat ini, masih terfokus pada bencana konvensional, seperti gempa, tsunami, dan longsor.
Ketika menjadi anggota Lembaga Pengkajian MPR tahun lalu, saya ingatkan agar kajian atas UU Penanggulangan Bencana dilakukan.
Lantas di mana Badan Pencarian dan Pertolongan yang dibentuk atas dasar UU Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan?
Sejalan dengan itu, perlu kembali dipikirkan RUU Keadaan Bahaya dan menempatkan Presiden seperti diamanatkan Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UU semacam ini belum ada.
Sesungguhnya keadaan semacam itulah yang menyebabkan Presiden mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian diundangkan DPR menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.
Wabah Covid-19 ini menyangkut semua aspek kehidupan. Karena itu, semua komponen bangsa perlu mengkaji dan merumuskan langkah-langkah yang harus diambil.
Baharuddin Aritonang
Bendungan Hilir, Jakarta