Ekosistem sungai di wilayah Bungo, Jambi, kian hancur akibat masifnya tambang emas liar. Butuh keseriusan aparat penegak hukum mengatasinya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
MUARO BUNGO, KOMPAS — Tambang emas liar berlangsung masif di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Maraknya aktivitas itu terus merusak ekosistem sungai pada lima sungai primer beserta 50-an anak sungainya, mulai dari hulu ke hilir.
Aktivitas itu, antara lain, didapati menyebar di hulu Sungai Pelepat, Senamat, Batangbungo, Batangtebo, dan Batangjujuhan. Di Pelepat, aktivitas tambang tak hanya dilakukan dengan memanfaatkan mesin dompeng, tetapi juga dengan alat berat.
Ketua Lembaga Adat Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Datuk Picak mengatakan, kehadiran 27 alat berat mengeruk emas di sepanjang aliran Sungai Pelepat dan anak-anak sungainya meresahkan masyarakat. ”Kami kaget karena air sungai tiba-tiba berwarna keruh,” katanya, Rabu (8/7/2020).
Datuk Picak melanjutkan masuknya alat-alat berat mengeruk emas di sepanjang aliran hulu sungai telah menimbulkan keresahan masyarakat. Masyarakat pun membentuk satuan tugas penolakan tambang liar.
Terlepas dari itu, masyarakat mendesak aparat penegak hukum mengusut para pemodal di balik masuknya alat-alat berat tersebut. ”Kalau kami sendiri tidak akan mungkin menghentikannya karena di dalamnya ada oknum aparat yang bermain,” katanya.
Di dalamnya ada oknum aparat yang bermain. (Datuk Picak)
Bupati Bungo Mashuri mengaku khawatir akan kerusakan alam yang timbul akibat maraknya tambang liar itu. ”Kerusakannya luar biasa. Semua sendi kehidupan masyarakat jadi terganggu dibuatnya,” ujar Mashuri.
Ia pun sempat mendatangi lokasi pada pertengahan Juni lalu bersama Komandan Distrik Militer Bungo Tebo Letnan Kolonel Widi Rahman. Didapati ada dua alat berat di antaranya. ”Langsung kami bakar (alat-alat berat itu) di lokasi,” katanya.
Aktivitas tambang liar itu berada dalam konsesi hutan tanaman industri PT Mugitriman International. Menurut Mashuri, ia sudah melayangkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mengevaluasi izin perusahaan karena diduga terlibat dalam aktivitas liar tersebut.
Juru Bicara PT Mugitriman International, Risky, mengatakan, pihaknya sempat berupaya menghadang operator yang hendak membawa masuk alat beratnya ke dalam konsesi perusahaan itu. ”Namun, petugas kami malah diintimidasi para petambang liar,” katanya.
Uji lab
Hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bungo tahun 2019 menunjukkan, kadar kekeruhan air melampaui ambang batas pada seluruh sungai primer di Bungo. Kekeruhan melampaui ambang batas terpantau di Batang Bungo, Batang Tebo, Batang Jujuhan, Batang Senamat, dan Pelepat.
Dari sampel yang diambil pada 15 lokasi, kadar kekeruhan tinggi terpantau pada seluruhnya di atas 25 Nephelometric Turbidity Unit (NTU). Angkanya beragam bahkan hingga di atas 100 NTU.
Pada wilayah hilir sungai, kekeruhan air tampak semakin pekat. Kompas pun mendapati aktivitas tambang liar marak di tepi-tepi sungai. Tak hanya di pinggiran kota, tambang bahkan berlangsung di Kecamatan Pasar Bungo yang merupakan pusat kota. Selain itu, tambang liar juga berlangsung di kawasan Bandara Bungo.
Ketua Forum Peduli Hijau Bungo Hasan Ibrahim mengatakan, masifnya aktivitas tambang emas liar telah merusak menghancurkan berbagai sendiri kehidupan masyarakat. Selain kehilangan pasokan air bersih yang bersumber dari sungai, masyarakat juga kehilangan sumber pangan, yakni ikan.
”Bahkan sekarang ini masyarakat tidak bisa lagi memasang keramba apung karena ikan-ikan pasti mati tak mampu bertahan dengan kondisi sungai yang tercemar,” jelasnya.
Ia mendorong pemerintah serius memberikan solusi. Selain penegakan hukum, perlu ada alternatif ekonomi bagi masyarakat kecil. Mereka selama ini dimanfaatkan para pemodal untuk menjadi buruh di lokasi tambang liar. ”Ketika ada razia, para buruh inilah yang ditangkap. Mereka menjadi korban,” katanya.