Aceh Desak Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
›
Aceh Desak Pembahasan RUU...
Iklan
Aceh Desak Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Di Aceh, kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tiga tahun mencapai 1.038 kasus dan terhadap perempuan ada 182 kasus. Dewan Perwakilan Rakyat didesak untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Serikat Inong (Perempuan) Aceh mendesak Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Regulasi itu sangat dibutuhkan karena Aceh darurat kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.
Presiden Serikat Inong (Perempuan) Aceh Agustina, Sabtu (11/7/2020), mengatakan sangat diperlukan payung hukum yang kuat untuk melindungi anak dan perempuan. Kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Provinsi Aceh selama 2017-2019 mencapai 1.220 kasus. Tingginya kasus menunjukkan perlindungan terhadap anak dan perempuan masih lemah.
Agustina menilai DPR tidak memiliki kepekaan terhadap kondisi anak dan perempuan di Indonesia sehingga mereka mengeluarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. ”DPR tidak boleh menutup mana terhadap fakta di lapangan. Bukan hanya di Aceh, di provinsi lain kasus kekerasan seksual juga masih tinggi,” kata Agustina.
Di Aceh, kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tiga tahun (2017-2019) mencapai 1.038 kasus dan terhadap perempuan mencapai 182 kasus. Kasusnya beragam seperti sodomi, inses, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Anak paling banyak menjadi korban karena mereka lemah, tidak mampu melindungi diri sendiri.
Agustina mengatakan, negara seharusnya melindungi anak dan perempuan melalui regulasi yang kuat dan memihak kepada korban. Selama ini, para korban tidak mendapatkan keadilan hukum. Setelah menjadi korban, mereka dikucilkan oleh lingkungan dan tidak mendapatkan pemulihan psikologis.
”Korban dan keluarga mendapatkan stigma buruk dari masyarakat. Padahal, mereka korban. Ada kasus di Aceh, korban pemerkosaan dipaksa meninggalkan kampungnya karena dianggap aib,” ujarnya.
Negara seharusnya melindungi anak dan perempuan melalui regulasi yang kuat dan memihak kepada korban.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh Eva Khoviva menuturkan, sudah empat tahun RUU PKS tidak dibahas oleh DPR. Padahal, UU tersebut menjadi jawaban terhadap upaya perlindungan korban.
Eva mengatakan, RUU PKS bukan hanya terkait persoalan hukum, melainkan juga erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi perempuan dan anak. ”Dengan memprioritaskan RUU PKS, memperjelas pemihakan negara kepada korban,” kata Eva.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh Nevi Ariani mengatakan, perlindungan anak dan perempuan butuh komitmen kuat kepala daerah melalui kebijakan dan dukungan anggaran. ”Komitmen kuat kepala daerah sangat penting, tetapi sekarang belum semua daerah memiliki komitmen itu,” kata Nevi.
Nevi menambahkan, komitmen kepala daerah terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak harus diwujudkan dengan alokasi anggaran yang besar dan kebijakan yang pro anak. Saat ini, baru empat daerah yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten/kota ayak anak, yakni Banda Aceh, Bireuen, Nagan Raya, dan Aceh Besar.
Nevi mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak di Aceh masih tinggi, tetapi sedikit yang terungkap. ”Jika diibaratkan fenomena gunung es, kasus-kasus tersebut hanyalah permukaan semata. Tidak tertutup kemungkinan kasus yang tidak terdeteksi justru lebih banyak,” kata Nevi.