Imajinasi baru menyambut new normal untuk memperbaiki kualitas sekolah harus dilaksanakan dengan cara, teknis, dan indikator baru. Hal ini butuh dukungan fasilitas dan standar tertulis dari pemerintah agar menjadi acuan.
Oleh
Budy Sugandi
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 di dunia belum ada tanda-tanda berakhir dalam waktu dekat. Hitungan para ahli, vaksin baru bisa ditemukan paling cepat sekitar 17 bulan ke depan. Apesnya, di Indonesia kurva yang diharapkan masih jauh panggang dari api, kurva belum melandai. Bahkan dalam beberapa hari terakhir tambahan data kasus positif baru virus korona lebih dari 1.000 kasus per hari.
Meskipun virus korona belum berakhir, beberapa sekolah di beberapa negara, seperti China, Norwegia, Denmark, dan Selandia Baru, sudah dibuka sehingga siswa bisa kembali belajar di sekolah bersama guru dan bertemu teman-temannya. Saya bisa membayangkan kebahagiaan mereka setelah masa belajar di rumah yang cukup lama.
Meskipun tidak berangkat ke sekolah menjadi waktu yang menyenangkan, masa jeda yang lama tanpa bertemu dan bermain bersama teman pasti terasa membosankan. Situasi ini sama dengan apa yang ditulis Sherry Turkle di dalam bukunya yang berjudul Alone Together (2011) disebut sebagai kehilangan keintiman dan kesendirian.
Standar kesehatan sekolah di China
Cepat atau lambat seluruh siswa akan kembali masuk ke sekolah. Pada saat itulah new normal di sekolah hadir.
Pada awalnya istilah new normal pertama kali dikenalkan oleh Roger McNamee, seorang investor teknologi. Setelah krisis keuangan 2007-2008 dan setelah resesi global 2008-2012, dia mengkritisi pebisnis yang masih terbawa dengan suasana masa lalu dan takut menghadapi perubahan, terutama jika terjadi resesi.
Cepat atau lambat seluruh siswa akan kembali masuk ke sekolah.
Maka untuk menghindari ketakutan itu, dia memperkenalkan istilah new normal, memasuki cara baru. Kini istilah dalam dunia ekonomi dan bisnis itu akrab dalam menggambarkan kehidupan di masa Covid-19.
China, yang menjadi episentrum awal Covid-19, sudah mulai membuka kembali sekolah dengan protokol kesehatan yang ketat. Pagi hari di depan sekolah sudah ada guru yang bertugas untuk mengganti masker yang dipakai dengan yang baru, mengecek suhu tubuh, pakaian disemprot dengan disinfektan, dan diarahkan mencuci tangan secara rutin 1 hingga 2 jam sekali.
Di kelas dan kafetaria meja diberi jarak lebih dari 1 meter. Bahkan untuk sekolah di kota Wuhan, yang jadi titik nol penyebaran virus, meja siswa diganti yang baru dan terdapat partisi plastik untuk menghindari droplet di antara siswa.
Kolaborasi antarsekolah
Sudah menjadi rahasia umum bahwa gap kualitas antarsekolah di Indonesia sangatlah jungklang. Untuk mengurangi gap tersebut, perlu dibuat sistem kolaboratif. Sekolah yang memiliki kualitas pengajar dan laboratorium yang baik perlu berbagi dengan sekolah-sekolah yang kualitasnya di bawah.
Kebiasaan guru dan siswa menggunakan teknologi di masa pandemi ini sedikit banyak akan membantu untuk saling berbagi (sharing of knowledge). Sekolah bukan lagi sekadar bangunan, melainkan lebih dari itu sekolah harus mampu menjadi pusat dalam menciptakan anak-anak cerdas dan berakhlak. Salah satu indikasinya ialah mau berbagi pengetahuan.
Seperti semboyan bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani (di depan seorang pendidik harus memberi teladan yang baik, di tengah guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan).
Jadi, tidak boleh ada monopoli dalam pendidikan. Semua elemen harus saling mendukung dan mengisi. Guru bisa berbagi antarsekolah dan siswa bisa belajar lintas guru dengan bantuan teknologi.
Guru bisa berbagi antarsekolah dan siswa bisa belajar lintas guru dengan bantuan teknologi.
Revolusi pendidikan
Tentu ada nilai postif di balik wabah atau kita biasa menyebutnya sebagai blessing in disguise. Guru dan siswa yang awalnya terbiasa dengan proses pembelajaran konvensional, baik dengan metode ceramah maupun penggunaan papan tulis dan spidol/kapur tulis, kini akrab dengan pembelajaran daring. Gawai (gadget) tidak sekadar berfungsi sebagai media mengirim pesan dan bersosial media, tetapi lebih dari itu telepon genggam benar-benar berfungsi sebagai ”smart”-phone.
Hal ini menjadi angin segar bagi pendidikan kita dalam rangka menghadapi era revolusi industi 4.0. Mendikbud Nadiem Makarim sebagai salah satu ikon pemimpin muda yang akrab dengan dunia teknologi harus menjadikan ini sebagai momentum dalam menakhodai pendidikan kita melakukan revolusi pendidikan konvensional ke pendidikan era 4.0 yang berbasis digital.
Di kelas, guru tidak hanya mengejar untuk menyelesaikan pelajaran, tetapi lebih dari itu, harus mampu membuat siswa tertarik untuk memahami, menghidupkan daya imajinasi hingga berpikir kritis. Tidak sedikit siswa yang membenci pelajaran tertentu bukan karena ketidakmampuan siswa, melainkan faktor guru pengajarnya. Metode dalam menyampaikan materi yang monoton dan penggunaan teknologi oleh guru ini harus terus diasah.
Pasalnya, tren pendidikan new normal ini mengalami disrupsi, mulai dari high speed menjadi high quality economic development. Artinya, bukan seberapa banyak jumlah sekolah yang dimiliki, melainkan seberapa berkualitas sekolah tersebut sehingga mampu menciptakan lulusan yang memiliki kecepatan, kompetensi, dan mampu mengoptimalkan minat bakatnya.
Untuk melaksanakan revolusi pendidikan, sekolah harus melakukan setidaknya empat gebrakan. Pertama, mengoptimalkan peran teknologi dalam proses pembelajaran. Ketika lulus siswa harus sudah khatam dengan big data, internet of things (IoT), artificial intelligence (AI), dan memiliki keahlian sesuai minatnya.
Kedua, fokus kuantitas diganti ke arah kualitas. Ketiga, dari government sponsored menjadi gabungan antara government dan non-government sponsored. Yang keempat, dari sistem pendidikan yang sifatnya umum dirombak menjadi sistem pendidikan berbasis kreativitas, inovatif, dan berkarakter. Dengan diterapkannya empat gebrakan ini, semoga pendidikan kita benar-benar bangkit. Setara dengan pendidikan di negara-negara maju.
Akhirnya, imajinasi baru dalam menyambut new normal untuk memperbaiki kualitas sekolah harus dilaksanakan dengan cara, teknis, dan indikator baru juga. Semua ini butuh dukungan fasilitas dan standar tertulis dari pemerintah dalam hal ini Kemendikbud agar sekolah punya acuan dalam pelaksanaannya.
Tanpa ini semua, kesehatan siswa akan terancam, terutama bagi sekolah-sekolah di daerah. Kita berharap wabah Covid-19 ini banar-benar menjadi blessing dalam mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia secara eksponensial. Semoga!
Budy Sugandi
Kandidat PhD Jurusan Education Leadership and Management, Southwest University China; Wakil Katib Syuriah PCI NU Tiongkok;