Kondisi iklim dinilai menguntungkan Indonesia untuk memacu produksi sejumlah komoditas pertanian. Hujan yang masih turun di musim kemarau berpotensi mendongkrak luas tanam tahun ini.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi sejumlah komoditas pertanian Indonesia berpeluang meningkat di tengah kemarau yang cenderung basah tahun ini. Hujan akan membantu petani meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas lahannya.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), 58,5 persen wilayah Indonesia telah memasuki kemarau pada akhir Juni 2020, lalu bakal meluas pada Juli dan memuncak di Agustus 2020. Mayoritas wilayah diperkirakan mengalami kemarau basah, tetapi 30 persen wilayah bakal lebih kering.
Publikasi ASEAN Specialised Meteorological Centre, di laman resminya, senada dengan prakiraan tersebut. Organisasi ini memperkirakan, mayoritas pulau-pulau besar Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Papua, Kalimantan, dan Sulawesi, berpotensi mengalami curah hujan di atas normal selama Juli-September 2020.
Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) Kementerian Pertanian Harmanto, saat dihubungi Jumat (10/7/2020), mengatakan, fenomena solar minimum di mana aktivitas Matahari mencapai siklus bintik matahari minimum menekan potensi terjadinya El Nino yang menyebabkan kekeringan.
Oleh karena kemarau basah, luas penanaman sejumlah komoditas pertanian di Indonesia, seperti padi dan jagung, berpotensi meningkat 20-30 persen. Selain padi dan jagung, perkebunan kakao dan kelapa sawit diuntungkan oleh kemarau basah.
Akan tetapi, tanaman-tanaman hortikultura, seperti cabai dan bawang merah, mesti mendapatkan perhatian khusus agar terhindar dari curah hujan secara langsung. Kemarau basah juga dapat menyulitkan pemanfaatan lahan rawa pasang-surut yang akan ditanami padi. Curah hujan yang timbul membuat lahan rawa tak surut, tetapi tergenang air.
Profesor Meteorologi dan Klimatologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Edvin Aldrian menyatakan, Indonesia pernah mengalami dampak solar minimum sebelumnya, terakhir terjadi sekitar tahun 2010 dengan kondisi kemarau basah. Fenomena solar minimum memiliki rentang siklus 10-14 tahun.
Serangan wereng
Kemarau basah, menurut Edvin, dapat membuat intensitas penanaman dan panen meningkat dari semula dua kali menjadi tiga kali dalam setahun karena kelembaban udara dan tanah tergolong tinggi. Namun, belajar dari kemarau basah tahun 2010, pemerintah perlu mewaspadai potensi serangan hama wereng dan tikus.
Menurut catatan Kompas, organisme pengganggu tanaman menyerang 473.529 hektar tanaman padi di Indonesia selama Januari-September 2010, 118.380 hektar di antaranya diserang wereng batang coklat. Areal terserang wereng itu relatif luas jika dibandingkan dengan periode sama 2009 yang hanya 23.351 hektar atau rata serangan wereng kurun 2004-2008 yang hanya 31.305 hektar.
Di sisi pascapanen, kata Edvin, pengelolaan dan pengolahan stok perlu menjadi perhatian. ”Jangan sampai, produksi (pertanian) yang meningkat tidak dibarengi dengan pengelolaan dan pengolahan yang baik sehingga petani malah membuang hasil panennya atau mendapatkan harga yang rendah,” ujarnya.
Dengan pengelolaan yang baik, potensi peningkatan produksi pangan membawa Indonesia keluar dari ancaman krisis pangan. Sebelumnya, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan negara anggota untuk menjaga ketersediaan pangan. Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Selasa (5/5/2020), juga memberikan perhatian khusus peringatan FAO soal kemungkinan krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani), Guntur Subagja, tanpa kemarau basah, Indonesia berpotensi mengalami defisit beras 1,5 juta-2 juta ton pada semester II-2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Januari-Mei 2020, produksi padi nasional 25,56 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka itu lebih rendah dibandingkan produksi pada periode sama tahun 2019 yang mencapai 28,15 juta ton GKG atau tahun 2018 yang mencapai 30,7 juta ton GKG. Faktor cuaca dinilai turut memicu penurunan tersebut.
”Oleh sebab itu, kemarau basah ini menjadi anugerah bagi Indonesia, terutama dalam menjaga stok pangan selama pandemi Covid-19. Apabila pemerintah dan petani memanfaatkan momentum kemarau basah ini, potensi terjadinya defisit bisa diatasi," kata Guntur.
Berdasarkan situasi tahun-tahun sebelumnya, produksi padi semester I berkontribusi sekitar 60 persen terhadap produksi total setahun. Sementara hasil panen semester II memiliki andil 40 persen. Dengan adanya kemarau basah pada tahun ini, kata Guntur, kontribusi produksi pada semester-I dan II masing-masing mencapai 50 persen.
Petani biasanya membiarkan lahannya bera atau beralih ke komoditas yang tahan kering pada musim kemarau. Namun, jika air cukup tersedia untuk mengairi lahannya, mereka akan menanam padi lagi. ”Pemerintah pusat dan daerah mesti aktif membantu petani mengoptimalkan produksi musim ini,” ujarnya.