Kita Harus Merasa Malu
Setiap hari kita membaca atau mendengarkan berita mengenai kekerasan seksual, dilakukan oleh orang yang memang sudah dianggap kriminal ataupun oleh orang yang dikenal alim, bahkan pemuka agama.
Setiap hari kita membaca atau mendengarkan berita mengenai kekerasan seksual, dilakukan oleh orang yang memang sudah dianggap kriminal ataupun oleh orang yang dikenal alim, bahkan pemuka agama. Perempuan segala usia dan anak laki-laki rentan mengalaminya.
Namun, ternyata masih amat minim pemahaman kita mengenai hal tersebut, apalagi kepedulian dan komitmen untuk menanggulangi dan mencegahnya.
Dengan pengetahuan dan kepedulian yang minim itu, banyak yang merasa mengerti dan memiliki otoritas untuk berbicara. Entah karena ia wakil rakyat, pejabat publik, pemimpin agama, orang terkenal, bergelar doktor atau profesor, atau posisi-posisi tinggi lainnya. Laki-laki dan perempuan sama saja. Mereka berbicara dengan penuh kepercayaan diri. Hal ini makin mengacaukan pemahaman masyarakat mengenai kekerasan seksual serta makin menyulitkan penanganan dan pencegahannya.
Lelucon
Sesungguhnya pemahaman mengenai kekerasan seksual dimulai dari pemahaman mengenai hal-hal sederhana tentang apa yang pantas dan tidak. Kita harus memahami tentang cara menghormati diri sendiri dan orang lain. Kita harus paham cara memperlakukan orang lain, bukan sebagai obyek, melainkan sebagai sesama dan terhormat.
Salah satu tanda minim pengetahuan dan minim penghormatan diri adalah menjadikan isu yang sangat sensitif terkait seksualitas sebagai lelucon. Ini misalnya, terlihat dari tindakan menertawakan ”janda tua” yang memang sudah tidak menarik secara seksual bagi banyak orang.
Jangan lupa, janda tua itu adalah ibu, guru, dan nenek kita. Mereka orang telah berkorban melahirkan dan membesarkan kita. Mereka sesepuh kita. Sangat wajar jika publik, khususnya yang mengerti dan peka memahami isu, menjadi sangat marah dengan sikap yang melecehkan mereka. Apakah di otak orang yang mengucapkannya hanya ada bayangan mengenai seks? Apakah tubuh perempuan terkait hal yang seksi saja?
Pernyataan seorang pejabat tinggi beberapa bulan lalu mengumpamakan Covid-19 seperti istri yang harus dikuasai, tetapi gagal dikuasai. Perumpamaan ini sangat mengherankan dan sama sekali tidak mengandung kebenaran apa pun. Covid-19 itu amat buruk, negatif, memorakporandakan kehidupan ekonomi serta kehidupan sosial dan psikologis kita, dan pandemi harus dihentikan.
Istri disamakan dengan Covid-19? Istri harus dikuasai? Ini menunjukkan kualitas berpikir orang yang mengucapkannya.
Meremehkan kejadian
Persoalan seksualitas itu amat kompleks dan melibatkan banyak dimensi dan aspek. Bagaimana budaya menempatkan peran laki-laki dan perempuan, bagaimana masyarakat menetapkan standar ganda seksualitas, hingga bagaimana stigma dilekatkan kepada korban.
Cukup banyak orang berpandangan bahwa laki-laki wajar berhubungan seksual sebelum atau di luar perkawinan, sementara perempuan harus menjaga kesucian. Di sisi lain, perempuan juga dituntut tampil menjadi obyek tatapan yang menarik (harus berdandan) dan menyenangkan pasangan. Posisi perempuan serba salah, menjadi lebih rentan sebagai korban, sekaligus rentan disalahkan.
Sikap meremehkan atau menyepelekan seriusnya kejadian menunjukkan ketidaktahuan mengenai kompleksitas persoalan. Saya sangat terkejut saat menemukan diskusi di sebuah grup sangat terpelajar di kalangan perguruan tinggi. Seorang berpendidikan sangat tinggi mengatakan istilah ”kekerasan seksual” tidak tepat. Menurut dia, lebih baik menggunakan istilah, misalnya, peraturan mengenai ”hubungan harmonis” atau ”hubungan biologis” agar lebih diterima oleh masyarakat.
Pernyataan demikian menunjukkan ketidakpahaman dan sikap menyepelekan masalah. Hal ini sangat melukai hati penyintas dan pendamping korban. Kekerasan seksual adalah kekerasan seksual. Ketika seorang anak atau remaja perempuan dipaksa atau dibujuk rayu untuk berhubungan seksual oleh ayah, wali, atau gurunya. Ketika pegawai perempuan ditekan sehingga tidak berani melawan kehendak majikan atau pacar. Ketika anak laki-laki tidak berani berbicara karena yang menyuruhnya melakukan tindakan-tindakan seksual adalah pembimbing rohaninya.
Menyalahkan korban
Kekerasan seksual berdampak serius bagi orang yang mengalami dalam berbagai bentuknya, dari sisi fisik, sosial, dan psikologis, bahkan mungkin spiritual. Berbagai penelitian di luar negeri dan di dalam negeri serta pengalaman para pendamping telah mencatatkan hal itu.
Terlebih lagi, membiarkan kekerasan seksual terjadi tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga pada masyarakat sekitar. Yang berisiko menjadi korban akan waswas karena kehilangan rasa aman dan kebebasannya terbatasi. Yang berpotensi sebagai pelaku akan memperoleh pemelajaran bahwa kekerasan seksual itu boleh saja dilakukan sehingga akan bertindak tanpa kendali. Sementara masyarakat umum akan kehilangan sensitivitas dan enggan untuk peduli.
Satu tanda lain lagi mengenai minimnya pengetahuan dan kepedulian adalah mudahnya kita menyederhanakan masalah dengan berkomentar yang menyalahkan korban. Komentar seperti ”dia anak- anak, tapi tubuhnya sudah seksi”, ”salah sendiri kenapa keluar malam”, ”dia bukan perempuan baik-baik karena sudah biasa berhubungan seksual”, ”dia yang menggoda”, ”itu sudah berkali-kali, berarti bukan kekerasan dong”. Ini menunjukkan kegagalan untuk dapat berempati pada situasi korban.
Ada banyak lagi selain hal di atas yang menunjukkan minimnya pemahaman, kepedulian, dan komitmen. Oleh karena itu, di tengah demikian banyaknya kasus kekerasan seksual, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dapat dengan mudah terlempar dari prioritas pembahasan di DPR.
What a shame. Barangkali para wakil rakyat, para petinggi, dan kita semua harus banyak belajar untuk merasa malu atas pengetahuan dan kepedulian sangat terbatas, atas lelucon yang kurang cerdas dan mempermalukan diri sendiri, atas kesombongan dan perasaan memiliki otoritas.
Belajar diam dan lebih banyak mendengar jika itu bukan isu yang menjadi kompetensi kita. Belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan empati. Belajar bersikap menghormati serta berhati-hati dan merendahkan hati ketika berbicara.