Penanganan pandemi membutuhkan langkah taktis yang cepat namun juga tepat. Strategi komunikasi risiko agar tak diabaikan untuk mendapatkan dukungan masyarakat demi mempercepat penghentian penularan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kasus Covid-19 di Indonesia terus membesar, namun aktivitas masyarakat telah kembali seperti biasa dan sebagian belum mengikuti protokol kesehatan. Belajar dari penanganan wabah flu burung, pemerintah disarankan memperbaiki komunikasi risiko dan pada saat yang sama memberikan insentif ekonomi secara tepat sasaran.
Laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kasus terkonfirmasi positif di Indonesia menjadi 72.347 setelah ada penambahan sebanyak 1.611 orang pada Jumat (10/7/2020). Sedangkan jumlah korban jiwa sebanyak 3.469 dengan penambahan 52 orang.
Menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, lima provinsi dengan kasus positif terbanyak secara kumulatif adalah Jawa Timur 15.730 kasus, DKI Jakarta 13.739, Sulawesi Selatan 6.620, Jawa Tengah 5.303, dan Jawa Barat 4.951. Jakarta mendapat tambahan kasus harian sebanyak 260 orang, disusul Jawa Timur 246, Sulawesi Utara 134, Sulawesi Selatan 132, Sumatera Utara 112, Jawa Barat 105, dan Jawa Tengah 100.
Jumlah total orang dalam pemantauan (ODP) juga terus meningkat, yaitu 38.705 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) 13.882 orang. Data dari Rumah Sakit Online, jumlah total korban jiwa di Indonesia terkait Covid-19, termasuk yang meninggal dalam status PDP dan ODP, telah mencapai 14.469 orang. Jumlah total korban ini, rata-rata empat kali lipat dari yang meninggal dengan status positif Covid-19 yang diumumkan tiap harinya.
Belajar dari penanganan wabah flu burung sebelumnya, pemerintah disarankan meningkatkan komunikasi risiko, selain juga pemberian insentif ekonomi yang tepat sasaran. Ini disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Pengendalian Flu Burung Pandemi Influenza (Komnas FBPI) 2005-2009 Bayu Krisnamurthi, dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19.
Menurut Bayu, dalam penanganan penyakit flu burung, pemerintah saat itu mengambil langkah cepat dengan membentuk Komnas FBPI dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyo intens memonitornya. "Srategi kita saat itu menangani penyakitnya, sama porsinya dengan menangani dampak sosial-ekonominya dan komunikasi publiknya di bawah kendali langsung otoritas tertinggi," kata dia.
Sekalipun jumlah kasus flu burung saat itu jauh lebih kecil, dibandingkan Covid-19, namun tingkat kematiannya sangat tinggi. Secara global, menurut Bayu, tingkat kematiannya 60 persen dan di Indonesia 80 persen.
Seluruh dunia saat iu korbannya 1.000 orang, di Indonesia 200 orang, terakhir tahun 2010 satu orang korban
"Seluruh dunia saat iu korbannya 1.000 orang, di Indonesia 200 orang, terakhir tahun 2010 satu orang korban," kata dia.
Menurut Bayu, keberadaan saintis untuk membantu penanganan wabah sangat penting untuk menanangi wabah baru agar kebijakan yang dibuat berdasarkan data dan pengetahuan. "Sangat penting kebijakannnya disampaikan melalui komunikasi intensif dengan tujuan mengajak masyarakat siaga," kata dia.
Terkait pendekatan saintifik ini, menurut epidemiolog senior yang juga mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan 2004-2009 I Nyoman Kandun, pemerintah harus terbuka untuk berkolaborasi. "Saat itu, kita bekerjasama dengan laboratorium di Hongkong yang jadi pembanding untuk pemeriksaan," kata dia.
Penyakit menular tidak mengenal wilayah secara administratif
Menurut dia, kerjasama lintas sektor, lintasprogram bahkan lintasnegara sangat penting sekali. "Penyakit menular tidak mengenal wilayah secara administratif," ujar Nyoman.
Dia mencontohkan, sinergisitas pusat dan daerah dalam penanganan flu burung. "Saat itu misalnya Gubernur DKI Sutiyoso mengeluarkan aturan tegas, tidak boleh ada ternak ayam di wilayah Jakarta. Juga, wilayah Jembrana di-lockdown, dan dijalankan dengan baik. Intinya, pada komunikasi risiko juga," kata dia.
Insentif Ekonomi
Bayu menambahkan, dalam mengatasi wabah yang memiliki dampak ekonomi sangat besar, pemberian insentif yang tepat sasaran juga sangat penting. "Misalnya, begitu ada kluster baru Covid-19 di pasar di Bogor, tim komunikasi harus datang bersama tim kesehatan. Saat itu pula, bantuan sosial harus dilakukan di sana. Jadi, kesadaran tentang bahaya, harus diikuti dengan solusi ekonominya," kata dia.
Terkait hal ini, survei yang dilakukan Social Resilience Lab, Nanyang Technological University (NTU) bekerjasama dengan Laporcovid19.org di Jakarta juga menemukan, tekanan ekonomi menjadi masalah dominan yang menyebabkan masyarakat mengabaikan risiko Covid-19. Berdasarkan survei yang diikuti 206.550 responden ini, mayoritas menyatakan ekonominya terdampak dari level cukup besar 33 persen, besar 17 persen, hingga sangat besar 26 persen.
Mereka juga menyatakan sebagian besar responden sangat butuh bantuan sosial, yaitu 31 persen cukup besar, 22 persen besar, dan 26 persen sangat besar. Dengan besarnya tekanan ekonomi ini, ada 11 persen yang mengaku rela tertular, dan 23 persen menjawab mungkin, asal penghasilan tidak terganggu.