Perkuat Desa untuk Atasi Konflik Satwa Lindung di Aceh
›
Perkuat Desa untuk Atasi...
Iklan
Perkuat Desa untuk Atasi Konflik Satwa Lindung di Aceh
Pelibatan pemerintahan desa, terutama desa sekitar hutan, dalam upaya memitigasi konflik satwa harus diperkuat untuk mengurangi konflik satwa-manusia yang terus terjadi.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerintahan desa di Aceh belum berperan besar menangani konflik satwa lindung dan menjaga hutan di kawasan mereka. Padahal, pemerintahan desa merupakan perpanjangan tangan pemerintahan di atasnya. Pelibatan pemerintahan desa dalam upaya memitigasi konflik satwa harus diperkuat.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ”Harimau Sumatera, Raja Hutan Terusir dari Rimba” yang digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Sabtu, 11 Juli 2020. Diskusi ini didukung oleh Lembaga Galang Suar Keadilan (LGSK), Flora Fauna Internasional, dan Flora Fauna Aceh.
Pembicara dalam diskusi itu Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Direktur Flora Fauna Aceh Dewa Gumay, Ketua Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala Drh Wahdi Azmi, dan Kasubdit IV Tindak Pidana Tertentu Ditkrimsus Polda Aceh Ajun Komisaris Besar Muliadi.
Wahdi Azmi menuturkan, seharusnya desa menjadi benteng pertama mencegah konflik satwa lindung di kawasan mereka. Menurut Wahdi, pemerintahan desa berkewajiban melindungi kawasan hutan dan satwa di daerah mereka.
”Mustahil pemerintah desa tidak tahu ada ilegal logging di kawasan desa. Seharusnya kepala desa lebih peduli,” kata Wahdi.
Wahdi menilai, pelibatan pemerintah desa masih minim dalam upaya membangun mitigasi konflik sehingga tingkat kesadaran warga melindungi satwa masih rendah. Wahdi mencontohkan kasus kematian lima ekor gajah sumatera di Kabupaten Aceh Jaya pada 1 Januari 2020 tidak mungkin tidak diketahui oleh aparatur desa. Hingga kini belum terungkap siapa dalang pembunuhan gajah itu.
Gajah-gajah itu mati diduga karena tersengat kabel listrik tegangan tinggi yang dipasangi warga di areal perkebunan sawit. Tiga pasang gading gajah tidak ditemukan di areal penemuan bangkai. ”Tidak mungkin aparat desa tidak tahu pemasangan kabel listrik di sana,” kata Wahdi.
Wahdi menyarankan pembentukan tim terpadu pencegahan konflik satwa di tingkat desa dengan melibatkan semua unsur di desa. Jika desa tidak punya kepedulian terhadap satwa lindung, hal itu membuka ruang masuknya pemburu dan pelaku perdagangan satwa lindung.
Pelibatan aparatur desa sebagai tim mitigasi konflik satwa efektif menurunkan eskalasi konflik.
Pelibatan aparatur desa sebagai tim mitigasi konflik satwa efektif menurunkan eskalasi konflik. Misalnya di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tamiang, terdapat tim penanganan konflik gajah. Tim ini dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala desa. Tugas utama tim ini menghalau satwa liar agar tidak masuk ke kawasan permukiman dan mengawasi kawasan hutan agar tidak terjadi pembalakan liar.
Pada awal Februari 2020, Kompas mewawancarai Ketua Tim Penanganan Konflik Satwa Desa Karang Ampar Muslim. Pengakuan Muslim sejak tim itu dibentuk 2018, konflik satwa menurun. Anggota tim menerapkan sistem piket mengawasi pergerakan gajah agar tidak masuk dalam kawasan permukiman.
Eskalasi konflik
Agus Arianto menuturkan, sepanjang semester pertama 2020 terjadi 18 kasus konflik harimau, sama dengan jumlah kasus pada tahun 2019. Diprediksi konflik harimau masih akan terjadi karena dalam beberapa hari ini di kawasan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, harimau berkeliaran di kawasan perkebunan warga.
Adapun populasi harimau sumatera di Aceh saat ini diperkirakan sekitar 200 ekor berada di Kawasan Ekosistem Leuser dan Ulu Masen. Namun, data itu telah lama tidak diperbarui.
Pada 2016 hingga 2020 jumlah kasus konflik harimau di Aceh 55 kali. Daerah paling banyak terjadi konflik harimau adalah di Kabupaten Aceh Selatan. Dampak konflik di Aceh Selatan, satu ekor harimau betina mati diduga diracun.
Agus menjelaskan, ada beberapa faktor pemicu konflik satwa seperti pembukaan kawasan hutan, perubahan fungsi lahan, perburuan, dan pola perkebunan tradisional yang tidak mempertimbangkan satwa lindung. ”Kami melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat agar mencegah terjadinya konflik secara mandiri,” kata Agus.
Agus menilai, para pihak telah bekerja maksimal dalam upaya perlindungan satwa liar. Namun, sinergisitas belum terbangun dengan baik. Oleh sebab itu, Agus mengajak para pihak untuk saling terkoneksi bekerja terkait perlindungan satwa.
Direktur Flora Fauna Aceh Dewa Gumay menuturkan, penanggulangan konflik satwa harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari penataan kawasan hingga penindakan hukum. Penindakan hukum yang lemah tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku.
Dewa menilai, belum semua aparat kepolisian memiliki semangat yang sama dalam mengungkap kasus kejahatan satwa liar dan konservasi. Dewa menyebutkan masih ada kasus yang tuntas diungkap seperti kasus kematian lima ekor gajah di Aceh, kematian satu ekor harimau di Aceh Selatan, dan kematian gajah di Pidie Jaya.
”Ini menjadi preseden buruk dalam kasus penindakan hukum kejahatan perburuan dan perdagangan gelap satwa liar,” kata Dewa.
Kepala Sub-Direktorat IV Tindak Pidana Tertentu Kriminal Khusus Polda Aceh Ajun Komisaris Besar Muliadi menuturkan, jajaran kepolisian memiliki semangat kuat menindak pelaku kejahatan satwa liar dan konservasi. Bulan lalu, empat tersangka perdagangan kulit harimau ditangkap di Aceh Timur.
Namun, kasus kematian lima ekor gajah di Aceh Jaya masih ditangani Polres Aceh Jaya. Sementara kematian satu ekor harimau di Aceh Selatan ditangani Polres Aceh Jaya. ”Kami masih memantau perkembangan. Jika perlu, kasus itu ditarik ke Polda Aceh,” kata Mulyadi.
Mulyadi mengajak semua pihak untuk terlibat mengawasi proses hukum dalam kasus kejahatan satwa liar. Pengawasan yang dilakukan oleh publik akan memengaruhi tingkat vonis terhadap terdakwa.