Perspektif Keadilan Penerimaan Peserta Didik Baru
Pemerintah pusat dan daerah semestinya lebih serius mengatasi kesenjangan akses dan mutu pendidikan. Selain meningkatkan daya tampung, mengubah sekolah status sekolah swasta menjadi negeri, juga melakukan subsidi SPP.
Penerapan jalur zonasi merupakan sebuah perubahan besar dalam penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri. Selama puluhan tahun, prestasi akademis merupakan kriteria utam dalam PPDB di SMP/sederajat dan SMA/sederajat. Kriteria ini tampaknya telah dianggap lazim dan adil oleh masyarakat. Anak-anak dengan prestasi akademis tinggi dipandang paling layak diterima di sekolah negeri, terlebih sekolah negeri yang dianggap favorit.
Kesenjangan berdasarkan status sosial ekonomi
Secara umum, partisipasi pendidikan berdasarkan status ekonomi rumah tangga (RT) di setiap jenjang pendidikan kian membaik. Namun, semakin tinggi jenjang pendidikan, kian menurun partisipasi pendidikan penduduk dengan status ekonomi RT lebih rendah dengan kesenjangan kian lebar antara RT dengan status ekonomi terendah dan tertinggi.
Pada 2019, Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah menengah mulai dari status ekonomi RT terendah (Kuintil 1) hingga tertinggi (Kuintil 5) adalah 71,35, 80,41, 85,69, 89,53, dan 92,72 persen (BPS, 2019). Perbedaan APK antara status ekonomi RT terendah dan tertinggi 21,37 persen.
Di jenjang pendidikan tinggi, APK penduduk 19-23 tahun Kuintil I hingga Kuintil 5: 11,44, 16,34, 21,88, 29,83, dan 62,14 persen. Perbedaan APK pendidikan tinggi penduduk status ekonomi RT tertinggi dan terendah 50,7 persen.
Kian rendahnya partisipasi pendidikan penduduk dengan status ekonomi RT lebih rendah di jenjang pendidikan lebih tinggi tak dapat dijelaskan hanya dengan satu faktor. Meski demikian, sistem seleksi ke jenjang pendidikan lebih tinggi yang lebih menekankan prestasi akademis tampaknya berkontribusi terhadap kesenjangan ini. Berbagai penelitian menunjukkan keterkaitan erat status sosial ekonomi dan indikator prestasi akademis.
Hasil Program Asesmen Siswa Internasional (Programme for International Student Assessment/PISA) 2018 menunjukkan siswa dari keluarga yang lebih berada cenderung memperoleh skor membaca lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dari keluarga kurang mampu. Untuk Indonesia, siswa dari kelompok sosial ekonomi 25 persen terendah memperoleh skor rata-rata 350 dalam membaca, sementara siswa dari kelompok sosial ekonomi 25 persen tertinggi 402.
Skor rata-rata kelompok sosial ekonomi 25 persen terendah dan 25 persen tertinggi di DKI 378 dan 465, dan di DIY 388 dan 460. Meski demikian, ada 13,7 persen siswa Indonesia masuk kategori ulet (resilient) sehingga tetap mampu mencapai skor tinggi meski dari keluarga kurang mampu.
Ketika prestasi akademis dijadikan kriteria utama seleksi masuk ke sekolah negeri, calon peserta didik dengan status sosial ekonomi lebih tinggi memiliki peluang lebih besar diterima, termasuk di sekolah favorit. Selanjutnya, siswa dari sekolah favorit inilah yang akhirnya memiliki kesempatan lebih besar diterima di PTN.
Jalur PPDB
Pasal 2 Ayat (1) Permendikbud No 44/2019 menyatakan perubahan besar dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) dilakukan berdasar prinsip nondiskriminatif, obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. PPDB 2020 dilakukan melalui empat jalur: zonasi (minimal 50 persen), afirmasi (minimal 15 persen), perpindahan tugas orangtua/wali (maksimal 5 persen), dan sisanya jalur prestasi. Keberadaan beragam jalur PPDB tampaknya dimaksudkan lebih memberi keadilan bagi siswa dari beragam latar belakang.
PPDB berdasarkan kedekatan antara tempat tinggal dan sekolah merupakan salah satu sistem yang diterapkan di banyak negara di dunia, terutama jenjang pendidikan dasar. Apabila sistem ini diterapkan di lingkungan yang relatif beragam, komposisi siswa yang diterima kemungkinan beragam juga, misalnya dari aspek kecerdasan, usia, status sosial ekonomi. Keragaman tak tercapai apabila lingkungan cenderung homogen.
Kriteria jarak juga berpotensi merugikan calon peserta didik yang lokasi rumahnya lebih jauh dari sekolah mana pun di zona yang ditetapkan.
Kelemahan lain sistem zonasi berdasarkan jarak: ketika mutu mayoritas sekolah yang berada di suatu zona kurang baik, siswa tak memiliki pilihan lain. Ada kemungkinan muncul upaya-upaya memanipulasi tempat tinggal agar dapat diterima di sekolah yang diinginkan sehingga merugikan calon peserta didik yang betul-betul tinggal di lingkungan sekitar sekolah itu.
Dai, Liu, Liao, dan Cai (2019) melakukan pemodelan untuk mengoptimalkan kesetaraan spasial atas kesempatan pendidikan dalam PPDB di distrik Shijingshan, Beijing. Mereka membandingkan antara menerima siswa secara random dalam zona yang ditetapkan dan berdasarkan jarak terdekat.
Kelemahan lain sistem zonasi berdasarkan jarak: ketika mutu mayoritas sekolah yang berada di suatu zona kurang baik, siswa tak memiliki pilihan lain.
DKI menggunakan pendekatan berbeda dalam PPDB 2020 untuk seleksi masuk SMP dan SMA. Apabila pendaftar melebihi daya tampung, seleksi melalui jalur afirmasi dan zonasi berdasarkan usia tertua ke usia termuda sebagaimana tercantum pada Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI No 501/2020.
Sementara Pasal 25 Ayat (1) Permendikbud No 44/2019 menyatakan, ”Seleksi calon peserta didik baru kelas VII (tujuh) SMP dan kelas X (sepuluh) SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan” karena prinsipnya ”mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah” seperti tercantum di Pasal 16 Ayat (2).
Akibatnya, calon peserta didik yang berusia lebih muda berpeluang dirugikan secara tak proporsional, baik melalui jalur afirmasi maupun zonasi, meski tempat tinggal mereka lebih dekat ke sekolah.
Sebagai gambaran, usia terendah yang diterima di SMA 8 melalui jalur afirmasi untuk peminatan IPA adalah 15 tahun 7 bulan 27 hari, tertinggi 17 tahun 6 bulan 26 hari dengan rata-rata 15 tahun 9 bulan 11 hari, sementara melalui jalur zonasi usia terendah 15 tahun 8 bulan 3 hari, tertinggi 17 tahun 1 bulan 27 hari dengan rata-rata 15 tahun 9 bulan 28 hari.
Pendidikan bermutu untuk semua
Walaupun PPDB telah mengakomodasi beragam jalur seleksi, protes dan kekecewaan masih terus bermunculan karena merasa ada ketidakadilan. Setiap kriteria yang digunakan memang berpotensi menguntungkan salah satu kelompok dan merugikan kelompok lain. Meski demikian, upaya untuk meminimalkan ini harus terus dilakukan dan dievaluasi untuk mengurangi ketidakadilan.
Perubahan kriteria semestinya disosialisasikan lebih awal. Masalah dan kendala PPDB berawal dari terbatasnya daya tampung sekolah negeri dibandingkan lulusan dari jenjang sebelumnya dan kesenjangan mutu sekolah. Setiap orangtua tentu ingin pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya sebagaimana dijamin UU Sisdiknas Pasal 5 Ayat (1): ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Pemerintah pusat dan daerah semestinya lebih serius mengatasi kesenjangan akses dan mutu pendidikan. Membangun sekolah negeri baru tentu tak dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Beberapa alternatif gagasan yang muncul dari masyarakat, antara lain meningkatkan daya tampung di setiap sekolah dengan menambah jumlah siswa yang diterima per kelas, mengubah status sekolah swasta yang memungkinkan dan bersedia jadi sekolah negeri, berkolaborasi dengan sekolah swasta menampung siswa yang belum diterima di sekolah negeri melalui berbagai mekanisme, misalnya subsidi SPP.
Pemerintah pusat dan daerah semestinya lebih serius mengatasi kesenjangan akses dan mutu pendidikan.
Subsidi SPP perlu diperluas tak hanya bagi para penerima KJP/KIP, tetapi juga kelompok masyarakat lain yang membutuhkan, terlebih di tengah pandemi Covid-19 saat tak sedikit masyarakat mengalami penurunan kemampuan ekonomi.
Kesenjangan mutu antarsekolah, baik negeri maupun swasta, semestinya segera diatasi. Beragam pendidikan alternatif yang berkembang di masyarakat perlu didukung. Pemerintah pusat dan daerah sepatutnya memenuhi hak warga negara sebagaimana amanah Pasal 11 Ayat (1) yang menegaskan bahwa ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Elin Driana
Dosen Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta