”We are the Weather” dan Upaya Menyelamatkan Bumi dengan Mengurangi Konsumsi Daging
Industri peternakan juga berdampak terhadap perubahan iklim. Melalui buku ini, pembaca diajak untuk mengurangi konsumsi daging sebagai upaya menekan perubahan iklim.
Buku ini berisi fakta-fakta dampak dari industri peternakan terhadap perubahan iklim. Dengan penjelasan dari berbagai kajian, penulis mengajak pembaca untuk mengurangi konsumsi daging sebagai upaya menekan perubahan iklim.
”Kita tidak dapat menyelamatkan Bumi kecuali kita benar-benar secara signifikan mengurangi konsumsi daging.” Inilah imbauan sekaligus inti buku terbaru dari Jonathan Safran Foer.
Imbauan yang sekaligus ajakan tersebut berlandaskan atas kepedulian Foer yang merupakan seorang novelis ketika mengetahui betapa berdampaknya industri peternakan pada perubahan iklim. Penemuan tersebut membuka mata pembaca bahwa konsumsi daging menjadi salah satu penentu kondisi Bumi ini.
Sementara selama ini isu perubahan iklim jarang sekali dikaitkan dengan industri peternakan. Isu perubahan iklim sering kali dibahas hanya dengan mengaitkan penggunaan transportasi, mesin-mesin industri, atau peralatan rumah tangga modern. Hal-hal tersebut mungkin sudah diketahui hampir seluruh umat manusia di dunia.
Masyarakat, pemerintah, dan industri telah berusaha melakukan beragam upaya untuk mencegahnya. Ada yang menyarankan untuk menggunakan panel surya, naik sepeda untuk bepergian, membeli makanan organik, atau mengurangi penggunaan pembungkus barang. Berdasarkan sebuah kajian pada 2017, mendaur ulang barang dan menanam pohon menjadi pilihan individu yang paling sering dilakukan untuk melawan perubahan iklim.
Berbagai upaya tersebut tidak berdampak besar terhadap pencegahan perubahan iklim. Mengutip pendapat Direktur Riset Project Drawdown, dari semua upaya tersebut tidak ada aktivitas sehari-hari individu yang berkontribusi signifikan untuk mencegah perubahan iklim.
Foer dalam bukunya We are the Weather: Saving the Planet Begins at Breakfast ini menawarkan solusi yang berbeda dan mungkin sedikit aneh. Saran yang diberikan menyangkut kesenangan pribadi hampir setiap masyarakat, yaitu konsumsi daging. Namun, Foer memastikan bahwa upaya ini dapat lebih efektif dibandingkan cara-cara lain yang selama ini dikampanyekan.
Perkembangan peternakan
Foer berpendapat bahwa informasi tentang perubahan iklim sering kali didasarkan pada informasi yang belum lengkap. Contohnya, dalam pembahasan perubahan iklim fokus perhatian kita hanya diarahkan pada penggunaan bahan bakar fosil yang tidak memberikan gambaran penuh tentang krisis yang dialami Bumi. Sementara penyebab lain yang lebih esensial, yaitu pengembangan industri peternakan untuk kebutuhan konsumsi daging masyarakat, tidak disadari.
Beranjak dari kerisauan itu, dalam bab dua, Foer memberikan gambaran menyeluruh tentang siklus hubungan aktivitas manusia di industri peternakan dengan perubahan iklim. Industri peternakan yang dimaksud adalah usaha peternakan dalam ukuran besar yang dilakukan di dalam ruangan. Usaha peternakan ini berbeda dengan peternakan konvensional pada umumnya yang dilakukan di luar ruangan dan masih mempertahankan keberlanjutan lingkungan.
Industri peternakan semakin berkembang sejak pertama kali ditemukan pada 1960-an. Industri ini meningkat pesat dalam periode 1950 hingga 1970-an. Jumlah ternak ayam pada periode yang sama meningkat dua kali lipat.
Peningkatan produksi tersebut mengikuti konsumsi daging yang semakin meningkat. Masyarakat mengonsumsi sekitar 65 miliar ayam setiap tahun. Di Amerika Serikat, konsumsi protein hewani dua kali lipat lebih banyak dibandingkan yang disarankan. Pada 2018, lebih dari 99 persen hewan yang dikonsumsi di AS merupakan produk dari industri peternakan.
Dampak
Dari berbagai kajian, Foer menunjukkan bahwa perkembangan industri peternakan dan konsumsi daging berdampak setidaknya pada dua hal, yaitu gas rumah kaca (green house gases/GHG) dan peningkatan deforestasi.
Menurut perkiraan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), peternakan berkontribusi atas 7,52 miliar ton emisi CO2e per tahun atau 14,5 persen dari total emisi global setahun. Sementara, pada kajian berbeda, Worldwatch Institute memperkirakan 32,56 miliar ton emisi CO2e per tahun (51 persen emisi global setahun) disebabkan oleh aktivitas peternakan.
Hal lain yang lebih penting adalah peternakan menyumbang cukup banyak nitrous oksida dan metana. Sebanyak 37 persen emisi metana antropogenik dan 65 persen emisi nitrous oksida antropogenik disebabkan karena peternakan.
Kedua gas tersebut adalah urutan kedua dan ketiga kandungan yang paling umum ditemukan pada gas rumah kaca. Senyawa ini lebih berbahaya dibandingkan CO2 dalam jangka pendek. Atas dasar inilah, pengurangan konsumsi daging dapat diupayakan untuk mengurangi emisi gas nitrous oksida dan metana.
Dengan berkembangnya peternakan, dibutuhkan lebih banyak lahan untuk sumber pangan ternak. Untuk memenuhi kebutuhan ini, dilakukan pembukaan lahan hutan dengan deforestasi. Setidaknya hingga saat ini, 80 persen deforestasi terjadi untuk membuka lahan untuk menanam tanaman pakan ternak.
Hal tersebut mengancam wilayah yang memiliki hutan hujan tropis seperti Brasil. Sekitar 91 persen deforestasi Amazon terjadi karena dipergunakan untuk aktivitas peternakan.
Realistis
Data dan fakta tersebut disajikan untuk memberikan informasi kepada pembaca bukunya meskipun Foer tahu informasi ini belum tentu dipercayai dan bisa jadi berakhir menjadi pengetahuan saja. Namun, ia juga meyakini informasi ini dapat mengubah pikiran untuk memutuskan tindakan yang tepat.
Ia menegaskan bahwa buku ini bukan buku penjelasan perubahan iklim dan bukan perlawanan terhadap produk olahan hewani. Buku ini merupakan eksplorasi dari keputusan yang dapat manusia buat untuk menyelesaikan krisis planet ini.
Pengurangan konsumsi daging dapat mengurangi emisi gas nitrous oksida dan metana yang banyak diguakan di industri peternakan.
Melalui eksplorasi tersebut, Foer juga bersikap realistis. Ia tidak memungkiri bahwa mengurangi konsumsi daging, apalagi menjadi vegetarian sulit dilakukan. Pada akhir bab satu, Foer menuliskan pergolakan batinnya untuk mengurangi konsumsi daging dan menjadi vegetarian kembali.
Ia mengakui bahwa sepanjang penulisan dan promosi buku nonfiksi pertamanya, yaitu Eating Animals, makanan berbahan daging seperti burger masih sering ia konsumsi. Padahal buku tersebut berisi tentang argumentasi terancamnya kesejahteraan hewan dan lingkungan karena industri pengolahan produk hewani. Ia mengakui bahwa keinginannya untuk mengonsumsi keju dan telur lebih besar dibandingkan komitmennya mencegah kejahatan terhadap hewan dan kerusakan lingkungan.
Kejujuran atas pergumulannya ini menunjukkan bahwa Foer sadar akan kesulitan manusia untuk mengurangi konsumsi produk olahan hewani. Tak hanya dalam konsumsi hewani, Foer menuliskan kebiasaan sikap, pikiran, dan tindakan manusia dalam beberapa kisah kejadian di masa lampau sebagai argumennya untuk memberikan pilihan kepada pembacanya atas keputusan yang dapat diambil.
Misalnya, ia berpendapat bahwa seseorang yang mengetahui sesuatu tidak lebih baik dibanding yang tidak mengetahui hal itu. Seseorang yang mengetahui tentang perubahan iklim belum tentu mengambil percaya dan mengambil tindakan tepat untuk mencegah hal tersebut.
Foer mengambil gambaran sikap alamiah manusia tersebut dari kisah Jan Karski seorang pemuda dari Polandia yang melakukan perjalanan ke Amerika untuk memberi tahu pemimpin dunia tentang apa yang dilakukan Jerman (Nazi).
Banyaknya kisah perenungan tersebut menuntut pembaca untuk tekun membaca buku ini. Pembaca tidak akan langsung menemukan maksud buku ini tanpa membaca keseluruhan buku. Tujuan penulisan buku baru ditemukan setelah pada halaman 64.
Tidak seperti buku nonfiksi pada umumnya, Foer memang sengaja menyatakan tujuan penulisan buku pada pertengahan buku karena ia mencegah penolakan pembaca atas argumennya tentang konsumsi daging. Pembicaraan tentang produk olahan daging dapat membuat orang merasa terusik dan terganggu.
Tindakan kolektif
Buku ini tidak bertujuan untuk memberikan harapan bagi upaya meredam kerusakan Bumi. Sebab faktanya, Bumi sudah rusak.
Foer tidak menyembunyikan fakta-fakta tentang kondisi Bumi yang kritis. Ia memberikan argumen yang seimbang, tidak hanya berupa ujaran optimistis, tetapi juga realistis.
Foer mengatakan bahwa menahan kenaikan suhu Bumi maksimal 2 derajat celsius sesuai dengan Kesepakatan Paris 2015 merupakan skenario terbaik dari dampak kerusakan Bumi yang dapat terjadi. Jika berhasil mencapai target itu pun, permukaan air laut naik 1,6 kaki, sebanyak 400 juta orang akan kekurangan air bersih, serta 99 persen terumbu karang akan rusak. Artinya, hampir tidak mungkin menyelamatkan Bumi yang sebenarnya sudah rusak.
Atas dasar itu, ia mengingatkan bahwa tidak ada waktu lagi untuk membiarkan Bumi bertambah rusak. ”Perubahan iklim bukanlah teka-teki puzzle gambar di atas meja kopi yang dapat dikembalikan ketika jadwal mengizinkan dan jika sedang terinspirasi. Itu adalah rumah yang terbakar. Semakin lama kita gagal untuk merawatnya, semakin sulit kita menjaganya”.
Sekali lagi, Foer berpendapat bahwa solusinya adalah mengurangi konsumsi daging dapat membawa perubahan besar yang berdampak mengurangi potensi kerusakan Bumi. Hal tersebut dapat terlaksana apabila dilakukan secara kolektif yang dimulai dari individu dan didukung oleh kebijakan struktural.
Ketika satu orang memilih untuk tidak mengonsumsi daging pada sarapan atau makan siangnya, kebiasaan tersebut akan dilihat oleh rekan yang makan bersama dengannya. Kemudian rekannya dapat meniru kebiasaannya dan lama-lama akan dilakukan pula oleh kelompok yang lebih besar.
Bukan tidak mungkin, kebiasaan ini akan menyebar dan menjadi kebiasaan baru seluruh masyarakat. Namun, tindakan kolektif ini dapat terjadi juga karena dukungan dari kebijakan struktural.
Pada akhir bukunya, Foer menyimpulkan isi bukunya dalam pesan untuk anak-anaknya. Bumi tidak lagi sama, Bumi tidak lagi nyaman sebagai tempat tinggal. Namun, itulah yang harus dihadapi dengan pengorbanan pribadi dan upaya bersama antarindividu.
Seperti judul buku ini, menyelamatkan Bumi dimulai dari pilihan makanan kita saat sarapan. Maukah kita mulai mengurangi konsumsi daging? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kata ”Big Data” tentang Dunia Kita