Hak asal-usul adat telah digunakan dalam sebuah produk hukum, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ini ruang dan jalan menuju pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat adat di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini masih banyak konflik yang membuat masyarakat adat tersingkirkan dan tidak mendapatkan hak atau kewenangan yang sesuai. Adanya hak asal-usul masyarakat adat dapat digunakan sebagai jalan menuju pemenuhan hak-hak konstitusional untuk menempatkan masyarakat adat sebagai warga negara yang bermartabat.
Hal tersebut disampaikan pengajar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Ricardo Simarmata, dalam diskusi daring bertajuk ”Telaah Hak Asal Usul Masyarakat Adat” yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sabtu (11/7/2020).
Ricardo dalam paparannya menyampaikan, hak asal-usul adat telah digunakan dalam sebuah produk hukum, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam UU tersebut dijelaskan, hak asal-usul dan adat istiadat desa adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam Pasal 103 juga diatur kewenangan desa adat berdasarkan hak asal-usulnya. Kewenangan itu meliputi pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan, kepengurusan ulayat, pelestarian nilai sosial budaya, penyelesaian sengketa, penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban, hingga pengembangan kehidupan hukum adat.
Aturan yang telah tertuang dalam UU Desa tersebut menegaskan bahwa hak asal-usul dapat digunakan sebagai argumen untuk melakukan klaim atas hak masyarakat adat. Kegunaan lainnya adalah sebagai alat untuk membedakan masyarakat adat dengan kelompok masyarakat lain sekaligus menentukan keanggotaan.
Kendati telah tertuang dalam UU Desa, Ricardo menilai masih terdapat catatan kritis terkait hak asal-usul ini. Pemaknaan hak asal-usul dengan menonjolkan isu keaslian dianggap tidak akan digunakan secara produktif oleh masyarakat adat. Sebaliknya, hal ini justru berpotensi berkembang menjadi konsumsi politik.
”Klaim sebagai yang asli tidak didukung oleh fakta sejarah dan sosiologis. Ini membenarkan pernyataan ahli hukum adat, Ter Haar, bahwa di masa depan masyarakat adat akan lebih diikat karena teritori, bukan lagi karena genealogis,” ungkapnya.
Selain itu, rumusan pengertian hak asal-usul sampai saat ini juga dinilai belum matang. Hal ini berbeda dibandingkan dengan istilah lainnya yang sudah jelas pegertiannya, seperti masyarakat adat, hukum adat, wilayah adat, atau lembaga adat. Menurut Ricardo, masyarakat masih bingung terkait perbedaan hak asal-usul adat dengan hak untuk menyelenggarakan otonomi, hak tradisional, maupun hak kewarganegaraan.
Deputi 2 urusan Politik dan Hukum AMAN Erasmus Cahyadi menyatakan, hak asal-usul seharusnya mencakup tentang sejumlah hal, mulai dari hak untuk menyelenggarakan otonomi hingga hak menjalankan tradisi. Segala kepastian terkait aturan ini juga penting ditegaskan dalam Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2020.
”Gagasan dasar dari RUU Masyarakat Adat ini di awal adalah agar undang-undang ini menyediakan suatu prosedur yang sederhana dalam pelaksanaan mandat konstitusi. Tetapi tetap mengedepankan penghormatan dan perlindungan masyarakat adat beserta hak asal usulnya,” katanya.
Selain itu, diharapkan RUU Masyarakat Adat dapat mengatasi ketimpangan di dalam internal masyarakat adat. Sebab, pada kenyataannya dalam masyarakat adat, terdapat ketimpangan yang menyangkut kelas, tokoh, hingga jender.