Lebih dari 5.000 Warga Terdampak Banjir di Kalimantan Selatan
›
Lebih dari 5.000 Warga...
Iklan
Lebih dari 5.000 Warga Terdampak Banjir di Kalimantan Selatan
Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan tak hanya dipicu tingginya intensitas hujan. Kerusakan lingkungan, terutama akibat pertambangan dan perkebunan skala besar, turut memicu dan memperparah banjir.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
PELAIHARI, KOMPAS — Intensitas hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir mengakibatkan wilayah tiga kabupaten di Kalimantan Selatan dilanda banjir. Kerusakan lingkungan, terutama akibat pertambangan dan perkebunan skala besar, kian memperparah banjir. Lebih dari 5.000 warga terdampak banjir.
Sejak Sabtu (11/7/2020), banjir melanda wilayah Kecamatan Pelaihari, Batu Ampar, dan Bajuin di Kabupaten Tanah Laut. Banjir juga melanda wilayah Kecamatan Satui di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kecamatan Sampanahan di Kabupaten Kotabaru. Tiga kabupaten tersebut merupakan daerah pertambangan dan perkebunan di Kalimantan Selatan.
Kepala Subbidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalsel Saefuddin Dinarja yang berada di Pelaihari, Tanah Laut, Minggu (12/7/2020), mengatakan, banjir terparah terjadi di Tanah Laut. Banjir mengakibatkan 1.349 rumah terendam air dan 5.112 warga terdampak.
”Ketinggian muka air banjir di sejumlah tempat mencapai 1 meter. Namun, kondisi air kini sudah berangsur-angsur surut. Sekarang, kami fokus pada penanganan pascabanjir di Tanah Laut,” kata Dinarja saat dihubungi dari Banjarmasin, Minggu.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Tanah Laut Muhammad Kusri mengatakan, warga terdampak banjir sudah kembali ke rumah masing-masing dan mulai membersihkan rumah. Sehari sebelumnya, sejumlah warga memilih mengungsi ke rumah keluarganya.
”Untuk penanganan pascabanjir, kami mendirikan posko dapur umum untuk warga terdampak banjir. Posko dapur umum disiapkan untuk tiga hari, mulai Minggu sampai dengan Selasa,” ujarnya.
Banjir di Tanah Laut dipicu oleh luapan air Sungai Tabanio dan sejumlah sungai lainnya. Banjir tak hanya merendam rumah warga, tetapi juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur, seperti jembatan runtuh di Pelaihari, serta jalan terkikis dan putus di Bajuin. Banjir di Pelaihari kali ini lebih parah ketimbang banjir besar pada 2004 atau 16 tahun lalu. ”Tim kami masih melakukan pendataan di lapangan,” kata Kusri.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati dalam rilisnya menyampaikan, wilayah Tanah Laut memiliki potensi bahaya banjir dengan kategori sedang hingga tinggi berdasarkan analisis dari InaRISK, portal hasil kajian risiko BNPB.
Luas bahaya akibat banjir di Tanah Laut mencakup 137.000 hektar di 11 kecamatan. Dari sisi risiko, 38 persen penduduk atau sekitar 123.172 jiwa yang tinggal di semua kecamatan yang ada di Tanah Laut tersebut berpotensi terdampak banjir.
Banjir di Pelaihari kali ini lebih parah ketimbang banjir besar pada 2004 atau 16 tahun lalu.
”Masyarakat diimbau untuk terus waspada dan siap siaga dalam menghadapi potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan banjir bandang. Hujan dengan intensitas tinggi dan berlangsung cukup lama bisa jadi salah satu indikator dalam menyikapi kesiapsiagaan,” katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono, Kalsel dengan luas wilayah 3,7 juta hektar memang sudah darurat ruang dan bencana ekologis karena separuh ruang wilayahnya dibebani dengan perizinan tambang (33 persen) dan perkebunan kelapa sawit (17 persen). ”Kondisi itu menimbulkan sejumlah dampak. Salah satunya adalah banjir,” katanya.