Melihat Presiden-Wapres di Mata Uang
Uang bukan sekadar alat tukar dan pembayaran, melainkan juga alat perjuangan, alat untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta sebagai penanda kemajuan.
Uang bukan sekadar alat tukar dan pembayaran, melainkan juga alat perjuangan, alat untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta sebagai penanda kemajuan. Tak heran jika Oeang Republik Indonesia pun dipasangi wajah Proklamator Kemerdekaan RI sejak revolusi hingga sekarang ini.
Indonesia, sebagai negara berdaulat sejak 17 Agustus 1945, hingga kini sudah menerbitkan beragam edisi mata uang Republik Indonesia. Selain sebagai penanda masa serta alat tukar dan pembayaran, uang juga berfungsi sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa; dari awal merdeka sampai berkembang dan maju seperti sekarang. Gambar wajah beberapa presiden dan wakil presiden, mulai dari Soekarno hingga Soeharto, selain Wapres Mohammad Hatta, Hamengku Buwono IX, dan Boediono, pernah menghiasi mata uang RI.
Salah satu tokoh yang paling banyak tampil dalam mata Oeang Republik Indonesia (ORI) sejak kemerdekaan Republik Indonesia adalah Presiden pertama RI Soekarno. Gambar Soekarno dengan pemandangan alam Indonesia di sampingnya mulai ada pada ORI emisi 1945 hingga 1950, yaitu masa Demokrasi Terpimpin, untuk pecahan 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah.
Pada emisi 2016, yang ikut dirilis Presiden Joko Widodo di gedung Bank Indonesia, Jakarta, 19 Desember 2016, Soekarno-Hatta menjadi wajah di mata uang pecahan terbesar, yaitu Rp 100.000. BI memilih menempatkan dua proklamator itu sebagai model di bagian depan. Sementara di bagian belakangnya tampak penari Topeng Betawi beraksi berlatar belakang Raja Ampat dan bunga Anggrek Bulan.
”Setiap lembaran rupiah adalah wujud kedaulatan kita sebagai negara bahwa kita tidak bertransaksi dengan mata uang negara lain,” kata Jokowi yang merilis uang baru itu dan mengapresiasi 11 desain uang emisi 2016. Di emisi itu, disematkan gambar pahlawan, seperti Perdana Menteri Djuanda, Sam Ratulangi, dan TB Simatupang, di bagian depan uang serta gambar penari tradisional di belakang uang.
Putera sulung Soekarno, Guntur Soekarnoputra, menilai pemasangan wajah ayahnya bersama Hatta, di muka mata uang sejak revolusi sampai kini sebagai sesuatu yang wajar. ”Foto bapak itu tentunya akan menggugah sikap perjuangan dan persatuan siapa pun warga negara Indonesia saat menggunakan uang itu sebagai alat pembayaran,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu (11/7/2020).
Meski foto Soekarno banyak di pasang di ORI, Guntur mengatakan, ”Bapak itu Presiden yang tak punya duit, kecuali gajinya tok yang tak besar. Apalagi, waktu sakit di Wisma Yaso, Bapak sama sekali tak punya duit untuk beli obat,” tutur Guntur.
ORI Perjuangan
Soal lika-liku wajah presiden dan wapres bisa muncul di mata uang, Jumat (10/7), dibahas dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Museum Kepresidenan Balai Kirti, Istana Bogor, Jawa Barat. Diskusi yang dipandu Harry Trisatya Wahyu dari Museum Kepresidenan Istana Bogor menghadirkan pendiri Museum Uang Sumatera Saparudin Barus, Kurator Museum BI Winarni D Soewarno, Dewan Pembina Ikatan Pemandu Museum Indonesia Berthold Sinaulan, dan engraver atau pengukir pelat uang Mujirun. Mereka berbagi kisah mengenai Presiden dan Wapres RI yang wajahnya ada di mata uang RI.
Kendati emisi pertama bertahun 1945, kenyataannya ORI mulai terbit pada 30 Oktober 1946 sehingga tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional. ORI emisi pertama ini ditandatangani Menteri Keuangan pertama RI AA Maramis.
ORI edisi pertama ini, dalam ”Sejarah ORI” di portal Kemenkeu, disebutkan dikerjakan di Jakarta pada Januari 1946. Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan dihentikan dan dipindah ke daerah-daerah, seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo. Waktu itu, ibu kota negara pun dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta, termasuk Presiden Soekarno dan Wapres Hatta.
Pada 1947, terbit seri kedua dan ketiga ORI. Seri kedua ditandatangani Menkeu Sjarifuddin Prawiranegara dan diterbitkan di Yogyakarta pada 1 Januari 1947. Seri ketiga ORI dicetak pada 26 Juli 1947 dan ditandatangani lagi oleh Maramis.
Pada 1947, terjadi agresi militer pertama. Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia. Karena itu, distribusi uang menjadi sulit. Pencetakan uang pun, kata Saparudin, dilakukan berpindah-pindah. Awalnya, seri kedua dan ketiga ORI ini akan dicetak di Surabaya, tetapi kemudian dipindah lagi ke Kendalpayak, Malang. Akhirnya Kanten, Ponorogo, dinilai lebih aman untuk mencetak uang.
Bukan hanya pencetakannya, distribusi uang juga menjadi hal rumit. Sebab, Belanda juga berusaha mengedarkan mata uangnya untuk menunjukkan seolah-olah Indonesia masih dijajah. Tak hanya mengedarkan mata uangnya, Berthold menjelaskan, Belanda sempat berusaha memalsukan ORI sehingga terjadi inflasi. Namun, hal ini berhasil diketahui dan dicegah.
Karena mengedarkan uang sangat sulit, Pemerintah RI pun mengizinkan daerah mencetak ORI atau disebut ORI Perjuangan. Beberapa daerah mencetak ORI dengan wajah Soekarno, seperti ORIDA Pematang Siantar yang dicetak 31 Maret 1947, ORIDA Bukit Tinggi yang terbit 17 Agustus 1947, dan ORIDA Atjeh Koetaradja yang terbit 15 Januari 1948. Menurut Saparudin, ORIDA jadi bukti melawan blokade ekonomi Belanda. Apalagi, gambar wajah Soekarno yang karismatik sekaligus jadi ikon pemersatu saat itu.
Saat itu, Pemerintah Indonesia juga menunjukkan diri, sebagai negara berdaulat, Indonesia tak hanya menyiapkan alat tukar yang sah, tetapi juga membuat prangko Indonesia. Ketika belum ada prangko Indonesia, ada prangko dari zaman Hindia Belanda dan pendudukan Jepang. Untuk itu, prangko dicetak tindih dengan tulisan ”Rep Indonesia” atau dicap ORI. Cap ORI menunjukkan pembelian perangko harus dengan uang ORI. ”Karena itu, saya menyebutnya berjuang dengan uang dan berperang dengan prangko,” ujar Berthold.
Tiga tanda tangan
Seperti disinggung sebelumnya, pada masa kontemporer ini, sosok Soekarno kembali tampil bersama Hatta sebagai Proklamator RI di pecahan Rp 100.000 mulai edisi polimer (1999). Menurut Berthold, edisi uang itu sangat menarik.
Sebab, terdapat tanda tangan Presiden Jokowi dan dua tanda tangan sosok yang pernah menjabat wakil presiden RI. Di edisi itu, gambar Soekarno-Hatta dilatari naskah Proklamasi lengkap dengan tanda tangan Soekarno-Hatta juga tanda tangani Boediono sebagai Gubernur BI, yang kemudian menjadi Wapres RI periode 2009-2014.
Setelah edisi 1999 ditarik pada 29 Desember 2004, BI menerbitkan pecahan Rp 100.000 masih bergambar Soekarno-Hatta pada 2004, 2014, dan 2016. Beberapa perbaikan, seperti penguatan pengaman, menurut Winarni, dilakukan.
Wajah presiden RI yang pernah tampil di mata uang RI lainnya adalah Soeharto. Uang pecahan 50.000 rupiah polimer terbitan 1993 ini menunjukkan kemajuan pembangunan di Indonesia. Gambar Soeharto tersenyum atau dikenal sebagai ”The Smiling General” menghiasi bagian depan uang, sedangkan bagian belakangnya pesawat lepas landas.
Mujirun, yang mengukir pelat wajah Soeharto itu, dipilih langsung oleh Presiden Soeharto saat kompetisi membuat gambar utama di mata uang itu. Karya Mujirun selanjutnya menghiasi sekitar 13 pecahan mata uang Indonesia.
Wapres yang tampil di mata uang Indonesia selain Bung Hatta adalah Sultan Hamengku Buwono IX dan Boediono. Sultan Hamengku Buwono IX digambarkan karena ketokohannya di Gerakan Pramuka. Di uang kertas pecahan 10.000 rupiah tahun emisi 1992 dengan penerbitan antara 1992-1998, gambar Sultan HB IX ini dilatari perkemahan Pramuka. Sultan HB IX memang dikukuhkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia 1988 di Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Dili, Provinsi Timor Timur, yang saat itu masih bagian dari Republik Indonesia.
Untuk penentuan desain dan tokoh di mata uang, menurut Winarni, BI memang tak sembarangan, tetapi bekerja sama dengan pemerintah. Bagi Plt Kepala Museum Kepresidenan Balai Kirti Yudi Wahyudin, mata uang tak hanya jadi indikator peradaban dan penanda masa, tetapi juga simbol sosial, budaya, politik. Banyak hal bisa dilihat dan diamati, mulai dari mata uang, sejarah kepahlawanan, perjuangan, hingga persatuan.