Di tengah meningkatnya ketegangan AS-China, Beijing mengirim pesan perlunya mengaktifkan seluruh saluran dialog guna memulihkan hubungan dua negara. Mungkinkah hal itu terjadi?
Oleh
Mh Samsul Hadi
·3 menit baca
Pesan tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam pidatonya pada Forum Media Think Tank AS-China di Beijing, Kamis (9/7/2020). Dalam pidatonya, ia mengakui adanya ”tantangan paling serius” saat ini dalam relasi AS-China sejak kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada 1979. Perlu langkah bersama, kata Wang, mengeksplorasi cara agar kedua negara hidup berdampingan secara damai dan lebih banyak melepas ”energi yang positif”.
”Saya ingin menekankan lagi di sini bahwa China tidak pernah ingin menantang atau menggantikan AS, atau ingin konfrontasi penuh dengan AS,” ujar Wang.
Di kalangan pengamat internasional, retorika tersebut bukanlah hal baru. Namun, melihat persaingan AS-China saat ini, apakah benar ungkapan tersebut menggambarkan keinginan Beijing hidup berdampingan bersama AS? Pada September 2019, Wang pernah mengungkapkan hal senada, ”China tidak akan mengulangi praktik lama sebuah negara menjadi kekuatan hegemoni.”
Meski sudah berulang kali disampaikan, retorika Beijing itu terus menjadi topik pembahasan hangat dan menarik di tengah makin menurunnya pengaruh AS di dunia. Selasa (7/7/2020), PBB dan Departemen Luar Negeri AS mengumumkan Washington telah memasukkan pemberitahuan resmi akan keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 6 Juli 2021.
”Sudah bisa diduga bahwa China akan berusaha mengisi kekosongan ini,” kata Juergen Hardt, jubir Kanselir Jerman Angela Merkel, mengomentari pengumuman tersebut.
Keputusan AS keluar dari WHO menambah panjang forum multilateral yang mereka tinggalkan. Sebelumnya, Washington telah meninggalkan kesepakatan iklim Paris, perjanjian nuklir Iran, pakta perdagangan Trans-Pasifik, UNESCO, dan Dewan HAM PBB. Di bawah pemerintahan Donald Trump, AS juga lebih sering komplain serta mengkritik pada mitranya di Eropa, NATO, dan Asia Timur.
Dengan mundurnya AS dari berbagai forum internasional, apakah dalam tahun-tahun ke depan China bakal tampil sebagai pemimpin baru dunia? Andai benar saat ini terjadi pergeseran atau peralihan kekuatan—sebutlah dari AS ke China—apakah dinamika yang terjadi bisa mengarah pada ”jebakan Thucydides”? Istilah yang diangkat Graham Allison (Foreign Affairs, September/Oktober 2017) itu merujuk pada Thucydides, sejarawan Yunani kuno, yang menyebut perang tak terelakkan saat Athena bangkit mendobrak dominasi Sparta, lebih dari 2.400 tahun silam.
Sejak ketegangan AS-China meningkat seiring dengan kebangkitan China dalam 40 tahun terakhir, gambaran buruk ”jebakan Thucydides” itu tidak terjadi. Meski demikian, rivalitas dan persaingan AS-China itu berlangsung di berbagai bidang: perang dagang, Laut China Selatan, isu Taiwan, militer, teknologi, serta belakangan terkait pandemi Covid-19 dan isu Hong Kong.
Tanpa konflik terbuka
Ketegangan di Laut China Selatan (LCS), awal Juli ini, meningkat saat China menggelar latihan militer selama lima hari di dekat Kepulauan Parasel, sementara AS juga melakukan hal serupa dengan mengerahkan dua kapal induknya, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan. Seperti biasa, kedua negara saling tuding dan saling menyalahkan soal siapa pemicu ketegangan. Tak ada laporan insiden bentrokan, seperti yang kerap terjadi antara China dan Vietnam atau Filipina di kawasan itu.
Kepala Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Shafiah Muhibat mengatakan, meski terlibat persaingan keras dan sulitnya memprediksi situasi di LCS, AS dan China tak akan mau konflik terbuka. Kedua negara sudah menghitung risiko dan dampaknya terlalu besar bagi mereka jika rivalitas mereka berujung perang.
China sendiri, kata Shafiah, juga tidak ingin menggantikan peran AS sebagai kekuatan super (superpower) atau penguasa dunia. ”Yang dilakukan China adalah merevisi tatanan lama ciptaan negara-negara Barat setelah Perang Dunia II. Dalam hal ini, China lebih sebagai kekuatan revisionis dengan ambisi merevisi, bukan menguasai (dunia),” ujar Shafiah.
Ketua Centre for Chinese Studies-Indonesia serta Associate Fellow The Habibie Center dan EastWest Institute, New York, Rene L Pattiradjawane juga berpandangan serupa. ”Dari sejarahnya, mereka (China) tidak mengenal kolonialisasi. Yang menjadi masalah, China klaim wilayah secara perlahan-lahan,” ujar Rene, seperti dalam sengketa LCS.
Ia melukiskan ketegangan AS dan China saat ini seperti ”saling menggertak”. Ia juga tidak melihat ketegangan mereka saat ini mengarah pada perang dingin baru mengingat tak ada latar belakang ideologis dalam rivalitas AS-China. AS dan Barat khawatir pada kebangkitan China melalui model pembangunan ekonomi secara masif dalam 30 tahun terakhir.
Profesor dan Dekan Institut Hubungan Internasional pada Universitas Tsinghua di Beijing Yan Xuetong menyebutkan, dalam beberapa waktu ke depan bipolaritas AS-China tidak akan digerakkan oleh masalah ideologi atau konflik eksistensial terkait bentuk dasar tata dunia. ”(Bipolaritas AS-China) lebih pada persaingan merebut pasar konsumen dan keunggulan teknologi, dengan memainkan perbedaan-perbedaan dalam norma dan aturan yang mengatur perdagangan, investasi, lapangan kerja, nilai tukar mata uang, dan kekayaan intelektual,” tulis Yan di Foreign Affairs, Januari-Februari 2019.
Bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan, salah satu perhatian terkait ketegangan AS dan China adalah rivalitas kedua di kawasan Asia Pasifik. PM Singapura Lee Hsien Loong menyebut, konfrontasi kedua negara di kawasan ini benar-benar membahayakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang dinikmati Asia.
Melalui uraian panjang lebar dalam tulisan yang dimuat Foreign Affairs edisi Juli/Agustus 2020, ia mengingatkan pilihan mendasar yang harus dipertimbangkan AS dan China: apakah memilih jalan konfrontasi dengan melihat pihak lain sebagai ancaman ataukah kerja sama dan kompetisi yang sehat? ”Jika Washington berusaha menahan kebangkitan China atau Beijing berupaya membangun ruang pengaruh eksklusif di Asia, mereka memulai arah konfrontasi yang akan berlangsung selama puluhan tahun dan menempatkan era (kemajuan) Asia dalam bahaya,” kata Lee.
Dalam konteks ini, kerap dipandang sebagai bagian dari strategi China menghindari provokasi terhadap AS, pesan yang dikirim Beijing melalui Wang Yi, Kamis lalu, menarik untuk dikaji lebih jauh.