Membuka Pintu Ketidakterbatasan
Ini lagi-lagi seputar pandemi Covid-19 yang di satu sisi menciptakan keterbatasan sosial bagi seniman. Di sisi lain permenungan dan kreasi selama masa pandemi membuka ruang yang tidak berbatas dalam berkarya.
Ini lagi-lagi seputar pandemi Covid-19 yang di satu sisi menciptakan keterbatasan sosial bagi seniman. Di sisi lain permenungan dan kreasi selama masa pandemi membuka ruang yang tidak berbatas dalam berkarya. Inilah yang diselami pelukis Hanafi (60).
Untuk menandai jejak zaman di masa pandemi Covid-19 dan bertepatan dengan ulang tahun ke-60, Hanafi menggelar pameran karya-karya terbarunya. Pameran itu bertajuk ”60 Tahun dalam Studio Hanafi” di Galeri Kertas yang menyatu dengan tempat tinggal Hanafi di Depok, Jawa Barat.
Pameran berlangsung 5 Juli-5 Agustus 2020. Hanafi menampilkan 65 lukisan di atas kertas yang dikerjakan selama empat bulan terakhir di studio baru, studio di atas meja makan.
Di ruang pamer ditampilkan pula mural di dinding berukuran tidak kurang dari 600 cm x 250 cm. Citra yang ditampilkan berupa lukisan potret diri Vincent Willem van Gogh (1853-1890).
Menurut Hanafi, Van Gogh salah satu figur pelukis yang mengalami keterbatasan sosial. Namun, di situlah justru Van Gogh menemukan kunci untuk membuka pintu ketidakterbatasan melalui lukisan-lukisannya.
Citra di dalam mural diri itu menyerupai lukisan Van Gogh tentang potret dirinya yang dikerjakan pada September 1889, yang kini berada di Musée d’Orsay, Paris, Perancis. Jika dihitung dari tahun kelahiran Van Gogh pada 1853, potret diri itu dibuat pada saat Van Gogh menginjak 36 tahun.
Itu kurang dari setahun sebelum Van Gogh meninggal pada 29 Juli 1890. Van Gogh menembakkan sepucuk revolver ke dadanya sendiri. Tidak terselamatkan, dua hari berselang kemudian Van Gogh meninggal.
”Ini lukisan potret diri Van Gogh yang lain ketika masih berusia 25 tahun. Di bawahnya saya melukis potret diri Van Gogh yang sama, tetapi tanpa raut muka karena terdampak Covid-19,” ujar Hanafi ketika ditemui di Galeri Kertas, Jumat (10/7/2020).
Tanggal kelahiran Van Gogh 30 Maret kini diperingati sebagai Hari Bipolar. Beberapa ahli kejiwaan menganalisis Van Gogh mengalami bipolar. Ini sebuah gangguan jiwa sekaligus keterbatasan bagi banyak orang. Tetapi, dari Van Gogh kita bisa belajar cara mengubah keterbatasan menjadi kunci pembuka pintu ketidakterbatasan.
Hanafi menempatkan Van Gogh dan dirinya untuk memantik semangat di tengah pandemi Covid-19. Ia mengibaratkan dirinya sebagai petani yang harus tetap bekerja mencangkul di sawah meski di tengah pandemi.
Hanafi membuat personifikasi agar hidup terus bergulir tiada henti meski di tengah pandemi. Di dalam karya-karya lukisan yang dibuat di buku sketsa berukuran 14 cm x 28 cm, personifikasi itu diwujudkan sebagai roller.
Roller serupa penggilas berbentuk tabung berbahan semacam karet. Peranti ini biasa digunakan Hanafi untuk melukis dengan corak abstrak di bidang kanvas yang luas.
”Lukisan pada bagian tabung roller ada yang saya gantikan dengan benda lain, seperti jagung bakar. Ini sebuah personifikasi diri saya untuk terus berusaha lepas dari keterbatasan akibat pandemi Covid-19 untuk terus bergulir, terus berkarya,” ujar Hanafi.
Pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 5 Juli 1960, ini merasakan keterasingan akan ketiadaan pelukis di tempat asalnya itu. Pada 1979 Hanafi menamatkan pendidikan seni rupa di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta.
Dialog seni
Pameran 60 Tahun dalam Studio Hanafi dibuka secara virtual di kanal Youtube dan Facebook, Minggu (5/7/2020). Sebuah diskusi seni digelar dengan narasumber Agung Hujatnikajenong sebagai kurator seni rupa dan akademisi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB); Tommy Christomy, ahli semiotika dan akademisi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI); serta Hanafi.
Heru Joni Putra memandu jalannya diskusi seni ini. Tommy mencuplik sebuah karya lukisan Hanafi yang menggambarkan antrean mobil berselubung lembar plastik biru. Mobil-mobil itu seperti hendak menuju sebuah latar industrial yang diwujudkan bangunan dinding tinggi seperti cerobong besar.
”Ini sebuah lukisan yang membuka ruang tidak terbatas, bukan sekadar Covid-19. Di situ ada aspek semiotika berupa dikotomi,” ujar Tommy, yang menggemari lukisan Hanafi terutama ketika menampilkan warna hijau yang khas.
Tommy menyorot mobil-mobil berselimut plastik seperti tak mau tunduk untuk dikotori serpihan yang diterbangkan asap dari cerobong-cerobong industri. Ada bentuk kesombongan manusia untuk selalu menghindar dari dampak buruk yang ditimbulkannya sendiri.
Karya lukisan berupa roller dan sehelai kain perempuan menarik hati Tommy. Di situ ada tulisan, Jaga Stamina Kreativitas Anda! Ini sebuah perpaduan visual antara teks dan goresan garis. Teks menjadi jangkar yang membuat tafsir tidak bergerak ke mana-mana.
Menurut Tommy, Hanafi melalui karya-karya yang ditampilkan di dalam pameran kali ini ingin memberi gairah optimisme meski ada keterbatasan.
Agung Hujatnikajenong memaparkan pilihan pameran Hanafi yang digelar secara fisik di tengah merebaknya pameran seni rupa virtual atau dalam jaringan (daring) internet kala pandemi. Menurut dia, pameran lukisan secara fisik memiliki perbedaan kekuatan dibandingkan dengan pameran secara daring.
Dari aspek keterjangkauan, pameran daring akan mengungguli pameran secara fisik. Pameran daring bisa dinikmati melalui jaringan internet oleh siapa pun dan dari mana pun. Di sinilah keterbatasan sebuah pameran fisik. Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan adanya protokol kesehatan untuk mengurangi risiko penularan wabah ini.
”Di dalam medan seni rupa, ada derajat simbolik mengenai ruang pameran fisik ini. Seperti ketika karya lukisan dipajang di toko kerajinan, tentu akan lebih inferior dengan lukisan yang dipajang di sebuah museum,” ujar Agung.
Ia berpendapat pameran daring belum bisa lepas sepenuhnya dari pameran di ruang nyata. Di antara pameran daring dan pameran fisik sebaiknya saling melengkapi.
Medan seni rupa melalui pameran secara fisik tidak sepenuhnya bisa tergantikan dengan pameran daring. Salah satu alasan yang mengemuka dari sifat atau karakter manusia itu sendiri sebagai ”binatang sosial”.
”Sebagai ’binatang sosial’, manusia itu lebih suka bertemu di ruang pameran secara fisik. Pameran fisik hanyalah perantara dari kebutuhan interaksi manusia,” imbuh Agung.
Di sini, Hanafi tidak ikut menceburkan diri ke dalam euforia pameran virtual di masa pandemi. Kebutuhan interaksi manusia di sebuah ruang pamer lukisan tetaplah penting.