Setelah penangkapan Maria Lumowa, RUU Perampasan Aset bisa menjadi solusi agar keuangan negara tetap bisa dipulihkan meski buron korupsi kabur atau meninggal. Untuk itu, regulasinya harus dibahas kembali.
Oleh
Nikolaus Herbowo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset bisa menjadi solusi agar pemulihan keuangan negara tetap bisa dilakukan meski buron korupsi melarikan diri atau meninggal. Untuk itu, regulasi yang pernah diinisiasi hampir 17 tahun lalu mendesak untuk dibahas agar aparat penegak hukum tidak hanya mengejar hukuman badan, tetapi juga asetnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, di Jakarta, Sabtu (11/7/2020), mengatakan, aparat tidak boleh berhenti pada penangkapan Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobol Bank BNI senilai Rp 1,2 triliun. Pasalnya, masih ada puluhan buron lain melenggang bebas, di dalam dan luar negeri.
Dengan puluhan buron korupsi itu, penegak hukum harus berpikir progresif untuk bisa mengejar dan merampas asetnya. Cara tersebut diyakini bisa membatasi ruang gerak para buron.
Dari data ICW, sejauh ini masih ada 40 buron yang belum ditangkap, antara lain Eddy Tansil, Joko Tjandra, Honggo Wendratmo, Anton Tantular, Hendro Wiyanto, dan Harun Masiku.
Dengan puluhan buron korupsi itu, penegak hukum harus berpikir progresif untuk bisa mengejar dan merampas asetnya. Cara tersebut diyakini bisa membatasi ruang gerak para buron.
Oleh karena itu, kata Kurnia, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menjadi urgen. Kehadiran RUU itu akan mempercepat pemulihan kerugian negara tanpa harus menghadirkan pelaku kejahatan.
”Jadi, tak peduli orang itu ada di mana, sepanjang penegak hukum yakin berdasarkan alat bukti bahwa suatu aset tercemar atau diduga dari hasil kejahatan, penegak hukum bisa merampasnya, tentu dengan mekanisme peradilan khusus,” tuturnya.
Pola pemidanaan ini, lanjut Kurnia, harus menjadi pegangan penegak hukum. Sebab, filosofi kejahatan korupsi adalah kejahatan keuangan. Karena itu, fokusnya tak cukup pidana badan, tetapi juga pemulihan kerugian negara.
Belum optimal
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyatakan, berdasarkan hasil pemantauan PPATK, upaya penyelamatan aset masih belum optimal karena perampasan terhadap hasil kejahatan tak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya. Kendala lain, aset itu masih dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka yang masih buron atau terdakwa yang meninggal dunia.
Dian sependapat RUU Perampasan Aset harus segera dibahas dan disahkan DPR serta pemerintah. Pasalnya, RUU tersebut akan mengatasi keterbatasan regulasi di Indonesia dalam upaya penyelamatan aset yang merupakan hasil tindak pidana, apalagi jika pelakunya buron.
Dengan RUU Perampasan Aset, lanjut Dian, penegak hukum tidak usah membuktikan tindak pidana pelaku kejahatan, tetapi langsung mengarah pada tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Upaya asset recovery ini harus menjadi prioritas kita. Makanya, semua penyidikan dan penuntutan pidana, khususnya korupsi, harus selalu disertai penyidikan dan penuntutan tindakan pencucian uang.
”Upaya asset recovery ini harus menjadi prioritas kita. Makanya, semua penyidikan dan penuntutan pidana, khususnya korupsi, harus selalu disertai penyidikan dan penuntutan tindakan pencucian uang,” papar Dian lagi.
Saat ini, status RUU Perampasan Aset masih di Kementerian Hukum dan HAM selaku pemrakarsa. Penyusunan RUU Perampasan Aset sebelumnya diinisiasi pertama oleh PPATK sejak 2003 dengan mengadopsi ketentuan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture negara-negara common law.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mendukung RUU Perampasan Aset menjadi prioritas agar pemulihan kerugian negara bisa lebih dimaksimalkan.