Pembuka Jendela Budaya
Kecintaan Nicholas Molodysky (28) terhadap Indonesia diungkapkan lewat kuliner. Ia menulis buku, mengunggah video memasak, dan mempelajari budaya untuk melestarikan hidangan Nusantara.
Kecintaan Nicholas Molodysky (28) terhadap Indonesia diungkapkan lewat kuliner. Ia menulis buku, mengunggah video memasak, dan mempelajari budaya untuk melestarikan hidangan Nusantara. Tak sekadar soal rasa, warga Australia yang doyan petai itu juga hendak memperkaya khazanah pengetahuan khalayaknya.
Tawa Nicholas yang akrab disapa Nick itu berderai-derai sewaktu bercerita soal kuliner Indonesia. Lewat tatap muka secara daring, suasana saat ”bertamu” ke apartemen Nick di Sydney, Australia, tetap terasa hangat. Ia didampingi istrinya, Karina Santoso (28).
”Ini dapur aku. Sederhana, sih. Kompornya ada empat perapian. Yang dua rusak,” ujarnya sambil tergelak, Kamis (9/7/2020). Di dapur itulah ia senantiasa berkreasi. Nick memasak hidangan Indonesia, memvideokan, dan mengunggahnya di internet.
Nick selalu bertutur antusias ketika menggoreng, merebus, atau memanggang. Ia seperti mengobrol dengan wajah ekspresif dan intonasinya bagai bernada sehingga tak monoton. Instagram Nick sudah diikuti 148.000 warga net. Ia juga punya akun Youtube dengan 87.700 pelanggan.
Dapur itu mungil saja, tetapi ratusan masakan Tanah Air sudah dikreasikan untuk dibuat konten media sosial. Ia memasak tipat kuah ayam, mi karet, putu mayang bihun, hingga petai telur kecap. ”Masakan kesukaanku? Semua yang pakai petai. Antioksidannya tinggi. Kalau enggak suka, berarti salah masak. Sini, aku masakin. Pasti suka. Aku doyan petai,” ujarnya antusias.
Di apartemennya, Nick selalu menyimpan petai. Jika petai habis, ia kesal. Nick sesekali membuat masakan dengan petai, tetapi tak memberi tahu mereka yang mencicipinya. ”Enggak kenapa- kenapa. Mungkin besok pas ke toilet baru bermasalah,” katanya seraya tertawa.
Ia lantas menunjukkan isi kulkasnya. Terlihat bumbu- bumbu khas Nusantara, seperti jahe, kecap, keluak, dan kapur sirih. ”Ada crock-pot (semacam kuali) buat bikin kimci dan tapai ketan. Direndam buat fermentasi. Kalau ngulek di sini,” ucapnya seraya memperlihatkan cobek batu.
Setiap tahun
Oven hingga mesin pembuat mi juga tampak di dapur Nick. Hanya 5 kilometer dari apartemennya, ia sudah bisa mencari bahan-bahan masakan di pasar swalayan Indonesia. Kecintaan Nick diungkapkan pula dengan kunjungannya ke Indonesia setiap tahun.
Ia sudah mengunjungi sekitar 15 kota, mulai dari Medan hingga Jayapura. Nick tak sekadar mencicipi makanan khas, tetapi juga pergi ke pasar tradisional, pecinan, sampai membuat langsung hidangan lokal. ”Aku masak papeda di rumah teman di Jayapura. Ikan diambil di belakang. Langsung dari Danau Sentani,” katanya.
Nick malah lebih suka makan di rumah warga sambil mengamati langsung kehidupan domestik. Ia bisa menggali kultur setempat. ”Sebagian makanan di Indonesia itu dibuat karena perhelatan, kesehatan, dan ritual. Jadi, aku lebih mendalami budayanya,” ucapnya.
Ia selalu tertarik dengan penganan tradisional. Pengalamannya mencicipi aneka kudapan Nusantara dihimpun dalam buku Aneka Jajanan Pasar Klasik & Variannya yang diterbitkan Demedia Pustaka tahun 2018. Ia kerap tidak menggunakan bahasa formal.
Cerita seru
Pemaparan Nick pun terasa rileks untuk disimak, seperti tercantum dalam deskripsi tentang kue pepe. ”Kue ini sangat terkenal di kalangan Tionghoa juga karena ”lengketnya” melambangkan kekuatan pasangan suami-istri saat pernikahan. Saya, mah, suka memakannya sambil ngopi aja...!”
Buku keduanya, Kuliner Khas Tionghoa di Indonesia, diterbitkan PT Visimedia Pustaka tahun 2019. Nick menyiapkan karya itu selama 1,5 tahun. Ia berkeliling Jakarta, bercakap-cakap dengan warga Tionghoa di Indonesia, termasuk belajar budayanya sampai mengunjungi China dan Taiwan.
Di Taiwan, masyarakat sangat bangga dengan kebudayaannya yang masih kuat. Nick menghimpun cerita-cerita seru dari penjual makanan. ”Aku enggak mau bukunya terlalu akademis. Lebih pengin bagaimana sehari-hari dan penyesuaiannya dengan lidah setempat waktu makanan tiba di Indonesia,” katanya.
Nick membingkai informasi budaya yang belum diketahui sebagian masyarakat dengan uraian dan resep. Ia umpamanya memaparkan ronde, sajian asal China yang sudah beradaptasi dan menjadi makanan yang sangat umum di Indonesia. Onde- onde dan bakso pun sebenarnya berasal dari negeri itu.
”Aku tertarik mendalami karena kuliner itu jendela budaya. Kalau mau ditelusuri contohnya, di balik sejumlah jajanan pasar, ada perayaan- perayaan,” katanya. Nick ingin membuka jendela itu. Bukan sekadar mengulas sedap atau tidaknya makanan.
Sakit perut
Ketertarikan Nick pada kuliner Indonesia berawal saat guru privatnya yang mengajar bahasa Indonesia datang membawa pempek. ”Aku masih kelas sebelas tahun 2009. Ini makanan, kok, kenyal banget, terus bau ikan gitu, tapi enak,” kata Nick yang fasih berbahasa Indonesia itu.
Sebelumnya, Nick mengambil pelajaran wajib bahasa Indonesia dua tahun hingga kelas enam. Makanan Nusantara ia cicipi pertama kali sewaktu duduk di kelas lima. ”Di dalam kelas masak kerupuk. Sekelas bau minyak goreng seminggu. Bikin gado-gado, pahit. Habis, ada yang gosong,” katanya.
Nick terus menekuni bahasa Indonesia dengan mengambil pelajaran pilihan. Lawatan perdananya ke Indonesia ia nikmati tahun 2006. Nick mengikuti ibunya yang mengurus pekerjaan di Jakarta. ”Aku makan ayam dan tempe penyet di ulekan gede. Pertama kali aku makan sepedas itu. Bikin sakit perut beberapa hari tetapi tetap nikmatin, ha-ha-ha,” kenangnya.
Nick mengagumi Indonesia lantaran kebudayaannya yang sangat bervariasi. Meski di daerah-daerah yang berdekatan, bahasa, kebiasaan, bahkan makanan bisa berbeda. ”Suku Sunda, Cirebon, Jawa, itu berdekatan, tetapi beda. Unik dan menarik,” ucapnya.
Minat terhadap bahasa Indonesia pula yang mengantar ia mempersunting Karina, warga Jakarta. Awalnya, mereka adalah teman pertukaran bahasa lewat internet tahun 2009. Saat itu, Karina tengah kuliah di Guangzhou, China. Mereka menjalin hubungan yang lebih serius selama tiga tahun hingga berlanjut ke jenjang penikahan tahun 2015. Biduk rumah tangga mereka penuh senda gurau.
”Lo nembak (menyatakan cinta) gue tahun berapa?” tanya Nick. ”Hah, gue? Lo ngaco,” jawab Karina. ”Ih, lo pura-pura. Karina nembak gue,” timpal Nick. ”Fitnah. Fitnah,” kata Karina yang ditanggapi oleh Nick dengan tergelak-gelak. Pasangan yang hobi kuliner itu tidak
ingin mengubah kebiasaannya mengatakan gue dan lo sejak pacaran.
Buah hati mereka, Zoe Molodysky (3), juga sangat menggemari masakan Indonesia, terutama bakso. Ia sudah lancar berbahasa Indonesia. Kadang- kadang, perempuan yang akrab disapa Zoey itu bercanda serupa orangtuanya meski ia tetap diingatkan. ”Kata Zoey, ’lo ngapain Dad (Pa)?’ Tetapi, dia ngerti, itu lagi iseng. Zoey tahu kalau ngomong sama omanya, pakai aku,” kata Nick.
Ah, Nick memang membangun keluarga yang hangat dan kaya rasa, serupa olahan kuliner Nusantara.
Nicholas Molodysky
Tempat, tanggal lahir: Sydney, Australia, 4 Juni 1992
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Kajian Indonesia Universitas Sydney, New South Wales, Australia 2011-2013
- S-2 Jurusan Humas Universitas Sydney, New South Wales, Australia 2013-2014
Istri: Karina Santoso (28)
Anak: Zoe Molodysky (3)