Rantai Rapuh Industri Makanan dan Minuman
Makanan dan minuman yang sejatinya prospektif dan tak bisa dipandang sebelah mata masih terus berhadapan dengan tantangan perbaikan di berbagai lini.
Industri makanan dan minuman terus berjibaku dengan lemahnya rantai bisnis, mulai dari ketersediaan bahan baku, teknologi, hingga sinergi antarskala perusahaan.
Berhadapan dengan berbagai tantangan, kinerja industri makanan dan minuman sebenarnya masih tetap meningkat, saat kinerja separuh industri pengolahan nonmigas lainnya menurun, awal tahun ini. Makanan dan minuman menjadi salah satu industri yang tetap tumbuh positif 3,94 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pada awal 2020, andil industri makanan dan minuman mencapai 6,52 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB). Kontribusi industri makanan dan minuman setara empat kali lipat lebih tinggi daripada empat industri lain yang mempunyai andil signifikan terhadap PDB. Selain makanan dan minuman, industri yang berkontribusi penting dalam perekonomian pada awal 2020 adalah industri kimia, farmasi, dan obat tradisional; industri alat angkutan; barang logam; serta industri tekstil dan pakaian jadi.
Kinerja industri makanan dan minuman yang terbilang mengesankan, tidak lepas dari dukungan pasar. Merujuk pemetaan Kementerian Perdagangan, Indonesia menjadi pasar terbesar konsumen industri ini di kawasan ASEAN, dengan pangsa mencapai 30 persen.
Sementara itu, dalam skala regional dan global, makanan dan minuman menjadi salah satu sektor industri yang sangat menjanjikan bagi Indonesia. Sumber daya pertanian Indonesia melimpah, tercatat di urutan ke-5 dunia dalam total volume produksi pertanian menurut pemetaan Kementerian Perdagangan.
Sayangnya, industri makanan dan minuman sejauh ini masih tumbuh dan berdiri di atas fondasi lemah. Kelemahan ini semakin nyata terlihat di tengah pandemi Covid-19.
Sebuah publikasi dari jasa konsultan ternama, Deloitte, mengatakan, Covid-19 akan membawa dampak jangka panjang pada industri makanan dan minuman. Ketiga hal tersebut adalah persoalan bahan baku, jaringan distribusi, dan harga komoditas. Tiga persoalan ini juga terjadi di Indonesia.
Baca juga: Makanan dan Minuman, Industri yang Bertahan Saat Pandemi
Bahan baku
Hal mendasar yang dihadapi oleh industri makanan dan minuman adalah persoalan ketersediaan bahan baku sebagai komponen utama beroperasinya sebuah industri. Selama ini, industri makanan dan minuman di Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor. Kemenperin mencatat, sekitar 70 persen bahan baku industri makanan-minuman berasal dari impor.
Menurut catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), impor bahan baku penolong makanan dan minuman untuk industri masih cukup meningkat dari tahun ke tahun. Tahun lalu, total impor tersebut mencapai 8,9 juta dollar AS, meningkat 0,63 persen dari 2018.
Bahkan, data termutakhir tahun ini, yakni Januari hingga Mei, impor tersebut mencapai 4,05 juta dollar AS. Meski di tengah pandemi, nilai tersebut meningkat 2,46 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Ketergantungan tersebut akan menjadi hambatan tersendiri di tengah pandemi yang belum diketahui kepastian berakhirnya. Pasalnya, pembatasan impor dilakukan demi mencegah penyebaran virus Covid-19. Seperti yang dilakukan pada Februari saat diketahui virus korona tengah merebak di China. Hal tersebut diantisipasi dengan membuka alternatif negara lain sebagai mitra impor.
Menurut catatan Kemendag, hingga Mei 2020, China masih menjadi mitra dagang utama untuk impor nonmigas Indonesia, hampir sepertiga dari total impor berasal dari China. Selain China, Jepang, Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat masuk lima besar untuk mitra dagang impor Indonesia.
Ketersediaan bahan baku industri makanan dan minuman menjadi semakin minim. Kekurangan bahan baku industri makanan dan minuman bukan hanya dialami oleh industri besar dan sedang, melainkan industri kecil menengah pun turut mengalami kekurangan bahan baku satu bulan setelah Covid-19 menginfeksi Indonesia (Siaran Pers Kemenperin, 11 April 2020).
Penting untuk dicatat, struktur industri makanan dan minuman adalah masih didominasi oleh usaha skala mikro dan kecil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018, industri mikro dan kecil produk makanan serta minuman mencapai 1,85 juta usaha, dari total 4,26 juta usaha mikro dan kecil industri pengolahan.
Pada tahun yang sama, seluruh industri skala sedang dan besar hanya tercatat 37.929 perusahaan. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 8.200 perusahaan yang bergerak di sektor makanan dan minuman.
Penurunan impor nonmigas ataupun impor bahan baku makanan dan minuman boleh jadi menjadi langkah baik untuk mengurangi ketergantungan impor. Persoalannya adalah negara masih belum mampu menyediakan bahan baku dari hasil produksi sendiri. Sebagai contoh, di level mikro/kecil saja masih ada 5.018 perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor.
Baca juga: Belenggu Bahan Baku di Industri Makanan dan Minuman
Teknologi dan sinergi
Bagian tak terpisahkan lainnya dari industri makanan dan minuman adalah kekuatan teknologi. Bagi industri makanan dan minuman, teknologi menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, industri makanan dan minuman menghasilkan produk yang memiliki masa pakai. Produk pangan dan minuman berkaitan langsung dengan risiko kesehatan sehingga teknologi pengolahan menjadi sebuah proses yang tak bisa diabaikan.
Dikutip dari Lembaga Supply Chain Indonesia, terdapat persyaratan akan produk pangan yang aman dikonsumsi yang dikenal dengan istilah keamanan pangan (food safety). Prinsip utama keamanan pangan tersebut adalah antisipasi pada kontaminasi fisik, seperti benda asing, kontaminasi kimia, dan lainnya sebelum produk sampai kepada konsumen. Di tengah pandemi ini, antisipasi kontaminasi menjadi sangat penting diperhatikan karena virus penyebab Covid-19 yang mampu bertahan lama pada sebuah permukaan.
Di sisi lain, industri makanan dan minuman juga perlu memaksimalkan penyimpanan dalam rantai dingin. Rantai dingin ini diperlukan untuk menjaga suhu agar produk tetap terjaga selama proses pengumpulan, pengolahan, hingga distribusi ke konsumen untuk beberapa produk tertentu.
Sementara itu, usaha skala mikro/kecil yang mendominasi industri makanan dan minuman masih berkutat pada keterbatasan teknologi. Dari total 1,85 juta perusahaan skala mikro/kecil di industri makanan dan minuman, hanya 138.996 usaha yang menggunakan internet.
Dari jumlah itu, 30.211 masih memanfaatkannya untuk membeli bahan baku. Sebanyak 1,79 juta usaha tidak memiliki sertifikat sebagai indikasi standar baku mutu produk.
Keterkaitan rantai usaha antara bisnis skala mikro/kecil dan menengah/besar juga masih terbilang lemah. Paling tidak, hal itu diindikasikan dari jumlah industri mikro/kecil yang dapat menjangkau pasar ekspor. Hanya ada 1.259 perusahaan dari total 1,85 juta unit usaha skala mikro/kecil yang mampu mencapai pasar ekspor.
Melihat berbagai tantangannya, industri makanan dan minuman harus mengatur strategi untuk berupaya menjaga ketersediaan bahan baku dan sinergi dari industri skala mikro hingga besar. Di sisi lain, pasokan dan harga bahan baku yang tidak menentu tentu berdampak pada keuangan perusahaan mengingat impor bahan baku berkaitan dengan perubahan nilai tukar mata uang.
Sebagai gambaran, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sepanjang Januari-Februari 2020 masih berada di bawah Rp 14.000 per dollar AS, kemudian menembus Rp 14.000 per dollar AS di awal hingga pertengahan Maret. Nilai tukar terus bergerak naik, menembus angka Rp 15.000 per dollar AS dan berlanjut hingga di atas Rp 16.000 sampai awal April 2020 dan hingga kini masih berada di atas Rp 14.000 per dollar AS.
Kendala bahan baku dibarengi juga dengan tantangan biaya tinggi penyediaan teknologi untuk memproduksi makanan dan minuman yang aman dikonsumsi demi keberterimaan pasar. Stabilitas pasokan dan harga bahan baku serta teknologi akan berujung pada persoalan baru pada sisi konsumen, mengingat pendapatan masyarakat di tengah pandemi ini juga relatif lebih rendah.
Perbaikan menyeluruh dari sektor hulu hingga hilir sudah menjadi keharusan demi mendukung kesinambungan industri makanan dan minuman. Dibutuhkan sinergi hampir semua sektor, dari sektor primer hingga tersier, untuk membuat industri tetap bertahan di tengah pandemi dan kian tumbuh ke depan.
(LITBANG KOMPAS)