Ruang Baru Kolaborasi
Menembus sekat-sekat dan menjelajahi ruang-ruang baru kreativitas menjadi mantra tak terelakkan bagi para pelaku industri kreatif saat ini.
Menembus sekat-sekat dan menjelajahi ruang-ruang baru kreativitas menjadi mantra tak terelakkan bagi para pelaku industri kreatif saat ini. Eksplorasi kekayaan corak wastra Nusantara untuk diaplikasikan dalam produk bernuansa religius membuka banyak kemungkinan baru dalam industri ini.
Tidak terbayang di benak perancang mode Didiet Maulana sebelumnya untuk melihat keindahan motif tenun ikat terbentang di atas sajadah. Ikat Indonesia by Didiet Maulana menggandeng Lasouk, produsen sajadah asal Singapura, untuk berkolaborasi melahirkan sajadah bermotif tenun ikat.
Didiet bertemu para pendiri Lasouk tahun lalu. Dia terpikat dengan desain Lasouk yang simpel, tetapi elegan, dengan perspektif modern. Sementara Lasouk ingin mengeksplorasi motif Indonesia, seperti tenun dan batik, untuk produknya.
”Kolaborasi ini penting karena saya belum pernah bikin sebelumnya. Saya terkesan karena rupanya produk kolaborasi ini bisa merangkul banyak orang,” ujar Didiet saat peluncuran koleksi tersebut, Kamis (18/6/2020).
Salah satu pendiri Lasouk, Nadja Felgenheier, yang juga hadir dalam peluncuran tersebut, menuturkan, Lasouk berupaya menyuntikkan napas modern dalam desain tradisional yang selama ini melekat pada sajadah. Sajadah Lasouk dikenal sebagai produk yang cantik dan inovatif karena mengubah wajah sajadah klasik menjadi bercita rasa kontemporer. Tampilan visualnya menawan dan tetap fungsional.
Untuk koleksi sebelumnya, mereka mengaplikasikan corak khas Maroko dalam sajadah. Corak geometris Islami adalah ciri khas dalam sajadah tersebut. Garis-garis berpola geometris juga terdapat dalam motif tenun ikat khas Indonesia. ”Saya selalu menyukai pola geometris,” kata Felgenheier.
Tiga varian
Ada tiga varian sajadah yang ditawarkan dalam koleksi ini, yakni Andjani, Ghalia, dan Shabira. Ketiganya terinspirasi kekayaan alam dan budaya Indonesia.
Andjani dengan warna terakota menggambarkan kesuburan tanah Indonesia. Nuansanya hangat dengan aksen ragam hias menyerupai tumpal pada bagian tengah.
Ghalia mengilustrasikan keindahan negara kepulauan Indonesia dengan palet warna hijau kebiruan bernuansa sejuk. Warna coklat berpadu dengan garis-garis biru melambangkan pesona bahari. Detail berupa garis saling menyilang mirip bentuk ombak menegaskan cita rasa bahari dalam varian tersebut.
Shabira melukiskan langit senja Indonesia dengan sentuhan warna biru dan merah bernuansa syahdu. Aksen berupa sulur menjalar melambangkan keharmonisan dan persatuan.
Meskipun baru, bagi Didiet, mengolah sajadah lebih mudah karena tidak memerlukan ukuran khusus. Pasarnya pun besar, yakni untuk umat Muslim, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di luar negeri, terutama Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Dengan adanya banyak pola dalam tenun ikat, Didiet memilih pola yang aman, yang bermakna dekoratif, tidak menyimbolkan sesuatu. Warna juga dipilih sebagai representasi mood dan ambience yang menyenangkan.
”Menyenangkan juga menghadirkan pola Indonesia ke atas sajadah. Di tengah situasi seperti sekarang, kami ingin mengirimkan energi positif melalui motif wastra khas Indonesia,” kata Didiet.
Sajadah tersebut juga ramah bagi pengguna dan lingkungan. Didesain praktis, sajadah tersebut mudah dirawat, mudah dibawa, dan bisa dilipat sampai berukuran kecil. ”Saat ini kita didorong membawa barang-barang sendiri, termasuk sajadah,” imbuh Felgenheier.
Dia menjelaskan, sajadah ini dibuat dari material suede yang empuk di bagian atas dilengkapi karet antiselip di bagian bawah. Motif ikat dicetak dengan tinta berbahan dasar air.
”Kami pakai bahan ramah lingkungan, terurai secara alami. Kalau ditinggal begitu saja di hutan selama dua tahun, (material) akan terurai dengan mudah. Kami tidak memakai bahan plastik, tidak mencampurnya dengan bahan yang tidak natural,” papar Felgenheier.
Selain menyasar pasar Asia Tenggara dan Timur Tengah, Lasouk juga merambah pasar Australia dan sebagian Eropa. Menurut Felgenheier, selain untuk keperluan shalat, tak jarang ada konsumen membeli untuk keperluan meditasi dan dekorasi. ”Mereka menyukai motifnya,” lanjutnya.
Dua sisi
Kolaborasi mengeksplorasi kekayaan corak Nusantara juga ditawarkan jenama Katonvie yang menggandeng desainer Itang Yunasz lewat selendang segi empat yang dipakai untuk kerudung atau hijab. Koleksi bertajuk Selaksa Sarimbit Nusa yang diluncurkan pada Maret lalu tersebut berupa selendang dua sisi atau dupleks dengan hiasan motif tradisional dari Aceh hingga Papua.
CEO Katonvie, Anthony Lim, dalam siaran pers, menuturkan, teknologi cetak saring pada dua sisi bahan menghasilkan selendang kerudung dengan motif sama yang presisi dengan pilihan warna berbeda.
”Scarf dapat dikenakan pada kedua sisinya. Tidak ada sisi dalam atau sisi luar,” ujarnya.
Demi memperkaya ragam dan penampilan scarf untuk hijab, Katonvie berkolaborasi dengan Itang Yunasz. Tampilan selendang segi empat itu pun semakin modern.
”Saya melihat keunikan dan tawaran baru dalam memperkaya penampilan hijab, justru dengan memangkas jumlah lembar selendang hijab. Dengan kerudung bolak-balik, Katonvie dan Itang Yunasz sudah ikut menerapkan mode berkelanjutan,” ujar Itang.
Hijab tersebut menggunakan bahan viscose yang tebal, tetapi tetap nyaman dipakai. Dari delapan koleksi, empat di antaranya terinspirasi corak dan warna gaya Sumatera yang pekat dan glamor, seperti merah dan coklat. Empat lainnya terilhami tanah Jawa yang lembut, seperti hijau muda dan merah muda.
Motif berupa sulur menjalar terukir di tepi-tepi selendang, ditingkahi gambar bunga aneka bentuk. Ada pula beragam motif geometris yang memenuhi bidang selendang. Tampilannya kaya warna, mengedepankan kesan anggun dan kontemporer. Kekayaan warna memudahkan selendang hijab ini dipadupadankan dengan busana pemakainya.
Melalui kolaborasi ini, baik Didiet maupun Itang yakin bisa membawa nilai tambah bagi produk yang dihasilkan. Terlebih, motif khas Indonesia bisa mendapat panggung yang lebih luas di kancah internasional.