Pandemi Covid-19 di Jawa Timur tidak membuat masyarakat berhenti mencemari lingkungan, khususnya Sungai Brantas.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·7 menit baca
Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi warga, tetapi secara tidak langsung juga menambah beban lingkungan. Sejumlah produk sekali pakai untuk mencegah penularan Covid-19, seperti masker, sarung tangan, dan alat pelindung diri, rata-rata mengandung bahan mikroplastik. Jika hanya ditimbun dan dibuang begitu saja, untuk mengurainya secara alami perlu lebih dari separuh milenium atau 500 tahun.
Hingga saat ini, sebagian masyarakat masih gemar menimbun atau membuang sampah di sungai, di antaranya Sungai Brantas di Jawa Timur. Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang di Jatim, serta terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Sungai Brantas membentang sejauh 320 kilometer dari Sumberbrantas di Batu, bercabang di Mojokerto menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong yang bermuara di Selat Madura. Kali Surabaya bercabang di Wonokromo, Surabaya, menjadi Kalimas yang bermuara di Pelabuhan Tanjung Perak dan Kali Jagir yang bermuara di Wonorejo. Kali Porong bermuara di Porong, Sidoarjo.
Sungai Brantas menopang pasokan air untuk 300.000 hektar sawah sehingga menjadi tulang punggung Jatim sebagai lumbung pangan nasional. Selain itu, Sungai Brantas menjadi pendukung kehidupan 20 juta jiwa atau separuh dari populasi provinsi bermotto ”Jer Basuki Mawa Beya” itu.
Menyadari pentingnya Brantas bagi kehidupan Jatim, kalangan pegiat dan peneliti lingkungan membuat riset bahaya pencemaran sungai oleh sampah yang mengandung plastik dan mikroplastik. Penelitian terhadap sampel air Sungai Brantas dan percabangannya telah dilaksanakan secara konsisten bertahun-tahun.
Yang terkini, pegiat pelestarian hidup dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) meneliti sampel air Sungai Brantas di wilayah Kediri, Jombang, dan Mojokerto, Sabtu (11/7/2020). Beberapa hari sebelumnya, tim peneliti Ecoton juga memeriksa kandungan mikroplastik pada sampel air di wilayah Kalimas, Surabaya, yakni Joyoboyo, Monumen Kapal Selam, dan Jembatan Petekan atau sebelum Pelabuhan Rakyat Kalimas.
Tim peneliti Ecoton saat mengambil sampel air di beberapa lokasi di Sungai Brantas, Kali Surabaya, dan Kalimas juga memungut sampah-sampah plastik. Sampah plastik yang banyak ditemukan di sungai ialah kemasan serbuk minuman (kopi, kental manis, perisa), kemasan makanan ringan, dan popok sekali pakai. Juga ditemukan sarung tangan karet dan plastik, masker sekali pakai, bahkan pakaian dari kain atau plastik.
Tim peneliti meyakini sampah, terutama masker, sarung tangan, dan pakaian dari karet atau plastik itu habis dipakai dalam kaitan penanganan wabah Covid-19. Apakah yang memakainya masyarakat atau petugas, belum bisa dipastikan.
Sampah-sampah seperti itu amat sulit terurai. Serpihannya jika berukuran kurang dari 5 mm disebut mikroplastik. Partikel inilah yang sangat mudah masuk dicerna biota sungai hingga manusia. Sifatnya yang mengikat polutan dan zat kimia berbahaya bagi kesehatan manusia.
Sampah terlihat saat peneliti dari Ecoton mengambil sampel air Sungai Kalimas di Taman Petekan Riverside, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (8/7/2020). Pengambilan sampel air untuk meneliti kandungan mikroplastik dan uji kualitas air dari Sungai Kalimas. Dari hasil penelitian diketahui Sungai Kalimas tercemar oleh limbah mikroplastik dan klorin. Dari penelitian sepekan terakhir, semakin ke hilir atau ke arah Surabaya dan Sidoarjo, kandungan mikroplastik dalam sampel air kian pekat. Kandungan senyawa cemaran atau polutan jenis lainnya juga kian banyak. Kawasan hilir bukan sekadar menanggung beban sedimentasi atau pendangkalan akibat material endapan bergerak dari hulu, melainkan seluruh sampah dan senyawa polutan.
”Kami ingin terus mengingatkan bahaya pencemaran bagi kehidupan di masa depan,” ujar Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi.
Dari penelitian diketahui kandungan mikroplastik dalam air Sungai Brantas di Kediri mencapai 26 partikel dalam 100 liter air. Di Jombang 33 partikel dalam 100 liter air, sedangkan di Mojokerto 44 partikel dalam 100 liter air.
”Mikroplastik yang banyak ditemukan dalam sampel penelitian ini adalah filamen atau serpihan kantong keresek dan botol plastik air minum sekali pakai,” ujar Kurnia Rahmawati, anggota tim peneliti Ecoton sekaligus mahasiswa Biologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Selain itu, peneliti juga menemukan cemaran logam berat dari kandungan ion atau materi padat terlarut atau total dissolved solid (TDS). Di Kediri, TDS-nya 2.100 ppm (partikel per sejuta), di Jombang 2.000 ppm, dan di Mojokerto 2.300 ppm. Menurut standar kesehatan internasional, TDS air sungai seharusnya tidak boleh melebihi 500 ppm.
”TDS tinggi terkait dengan kondisi saat ini musim kemarau, debir air dari hulu berkurang tetapi pembuangan polutan bertambah,” ujar Kurnia.
Tercemar
Kondisi pencemaran sungai di Surabaya lebih parah. Dalam penelitian terkini, Kamis (9/7/2020) di Kalimas wilayah Petekan, kandungan klorin mencapai 0,2 ppm. Klorin merupakan bahan utama disinfektan, cairan pembersih lantai, dan pemutih pakaian. Kandungan klorin pada April di wilayah yang sama 0,1 ppm.
”Pencemaran klorin bertambah seiring peningkatan pemakaian produk di rumah tangga lalu dibuang ke sungai atau menjadi limbah domestik,” kata Eka Chlara Budiarti, peneliti kimia Ecoton.
Pada masa wabah, penggunaan produk sanitizer dipastikan meningkat terkait keinginan publik untuk melindungi diri dari penularan virus korona. Penggunaan produk sanitizer juga sebagai konsekuensi penerapan protokol kesehatan dalam konteks perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Dalam 1 liter air dari Kalimas, kandungan mikroplastiknya 2,9 partikel. Jumlah ini amat tinggi dan patut dicemaskan. Angka TDS mencapai 3.100 ppm. Kandungan oksigen terlarut atau dissolved oxygen 1,68 ppm atau jauh di bawah standar air kelas 2 yang minimal 4 ppm.
”Pertumbuhan optimum ikan dalam air memerlukan kandungan oksigen terlarut minimal 2,6 ppm, sedangkan di Kalimas ini hanya 1,68 ppm sehingga bisa disimpulkan tidak layak untuk kehidupan biota,” ujar Eka Chlara.
Jika air tidak layak untuk kehidupan biota karena pencemarannya yang tinggi, secara logika tidak layak juga bagi konsumsi manusia. Meski tidak dikonsumsi, pemakaian air tercemar untuk kebutuhan mencuci dan mandi juga tidak sepatutnya sehingga tetap berisiko bagi kesehatan makhluk hidup.
Ancaman
Dari sejumlah literatur, mikroplastik setidaknya mengandung tiga bahaya. Pertama, kandungan zat kimia karena berasal dari plastik yang pembuatannya dicampur dengan bahan tambahan antara lain phthalate atau pelentur dan pelembut serta bisphenol A atau pengeras. Inilah senyawa pengganggu hormon sehingga berpotensi mengganggu sistem hormonal, bahkan kekebalan tubuh.
Pencemaran klorin bertambah seiring peningkatan pemakaian produk di rumah tangga lalu dibuang ke sungai atau menjadi limbah domestik.
Kedua, mikroplastik mengikat polutan berbahaya. Karakteristik kimia mikroplastik adalah ikatan terbuka sehingga dapat mengikat senyawa dalam perairan, yakni logam berat, pestisida, dan detergen. Ketiga, karakter sebelumnya juga berarti menjadi media bagi kehidupan bakteri patogen atau penginfeksi yang jika masuk ke tubuh akan mengganggu kesehatan.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, penanganan komprehensif terhadap Sungai Brantas diwujudkan dalam Konsorsium Brantas yang mencakup komitmen pembuatan dan pelaksanaan program pengelolaan secara berkelanjutan daerah aliran sungai tersebut.
Konsorsium Brantas dideklarasikan Maret 2019 dan terdiri dari unsur pemerintah, swasta, lembaga independen, kampus, dan konsultan. Unsur pemerintah adalah Balai Besar Wilayah Sungai Brantas dan Dinas Lingkungan Hidup Jatim. Mewakili swasta adalah Perusahaan Umum Jasa Tirta I dan laboratorium independen PT Water Laboratory Nusantara (WLN) Indonesia. Selain itu, Ecoton dari perwakilan masyarakat, dan konsultan Tauw BV serta Technology University of Delft (TUD) Civil Engineering and Geosciences Water Resources dari Belanda.
Emil mengatakan, program diwujudkan dalam Adopsi Sungai Brantas selama lima tahun ke depan yang didanai melalui hibah dari Sustainable Water Fund oleh Kementerian Perekonomian Belanda. Konsorsium Brantas menjadi pelaksana program dengan peran berbeda tetapi saling mendukung.
Konsorsium diminta mengembangkan aksi inovatif untuk pemulihan sungai dari kerusakan dan pencemaran, memperkuat kerja sama masyarakat, pemerintah, dan industri dalam pengelolaan Sungai Brantas, mengadopsi pengalaman Belanda dalam pengelolaan kualitas air, serta membuat perlindungan kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial, dan kesetaraan jender dalam pengelolaan kualitas air untuk kehidupan.
Jenis sampah plastik yang mencemari Kalimas, Surabaya, dari hasil penelitian terhadap sampel air oleh tim peneliti Ecoton, Juli 2020. ”Brantas penting bagi kehidupan Jawa Timur,” kata Emil.
Adapun, waktu pelaksanaan program konsorsium selama enam tahun, yakni Mei 2018-April 2024. Setahun pertama merupakan masa persiapan dan pematangan program. Lima tahun selanjutnya adalah pemantauan kualitas air, forum industri bersih, penguatan kelembagaan masyarakat, terutama Relawan Jaga Kali atau Komunitas Peduli Sungai, dan diseminasi hasil kegiatan.
”Diharapkan terbangun sistem dan mekanisme untuk pemantauan dan pemanfaatan sumber daya air Sungai Brantas yang ramah dan berkelanjutan,” kata Emil.
Brantas penting bagi kehidupan Jawa Timur.
Emil sangat mengharapkan peran serta publik mendukung pemerintah dan multipihak dalam penanganan pencemaran Sungai Brantas. Warga tidak boleh lagi membuang sampah ke sungai. Dalam masa pandemi ini, sampah sebaiknya pada tempatnya dan biarkan mekanisme penanganan sampah oleh pemerintah bekerja.
Emil juga akan mendorong para bupati dan wali kota menyediakan tempat-tempat sampah komunal di tepi sungai. Semoga cara ini mengetuk masyarakat untuk tidak sembarangan membuang sampah ke sungai tetapi ke tempat yang sediakan.