“Cessie” Bank Bali, Kelindan Politik dengan Ekonomi
Polah Joko S Tjandra telah menggegerkan publik sekaligus melecehkan negara. Buron sejak 2009 itu kabur sehari sebelum vonis dijatuhkan. Kini, dia kembali ke Indonesia dengan mudah, bahkan menyambangi gedung pengadilan.
Seiring dengan kembalinya Joko Tjandra, kasus hak tagih piutang atau cessie PT Bank Bali kembali mengemuka. Kasus yang terjadi pascakrisis moneter 1997-1998 juga menjadi skandal dalam dunia perbankan kala itu. Namun, apa sebenarnya cessie atau pengalihan tagihan piutang? Dan bagaimana cessie Bank Bali ini terjadi?
Cessie adalah sebuah produk hukum yang melandasi sebuah perjanjian pengalihan hak penagihan piutang dari sebuah perusahaan (A) ke perusahaan lain (B). Perjanjian semacam itu biasanya ditindaklanjuti dengan penyerahan dana sejumlah tagihan yang dialihkan perusahaan B ke perusahaan A tersebut.
Cessie berawal dari kebutuhan modal kerja di sebuah perusahaan karena macetnya tagihan piutang atau penerimaan. Untuk menjembatani, muncul bisnis anjak piutang (factoring) dengan balas jasa komisi yang didasari dengan cessie tersebut.
Cessie berawal dari kebutuhan modal kerja di sebuah perusahaan karena macetnya tagihan piutang atau penerimaan. Untuk menjembatani, muncul bisnis anjak piutang (factoring) dengan balas jasa komisi yang didasari dengan cessie tersebut.
Bank Bali dengan PT Era Giat Prima
Sekitar Agustus 1998, pemilik PT Era Giat Prima dan Bank Bali mengadakan kontak bisnis. PT Era Giat Prima dimiliki Joko S Tjandra (Tjan Kok Hui) selaku direktur dengan Setya Novanto sebagai direktur utamanya yang juga adalah Wakil Bendahara DPP Partai Golkar. Sementara Bank Bali dimiliki keluarga Ramli.
Mereka bernegosiasi soal pengalihan tagihan Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Rupanya BDNI tak mampu memenuhi kewajibannya ke Bank Bali. Malah BDNI kemudian ikut dilikuidasi. Ini tercatat dalam Kompas, 7 Agustus 1999.
Pada Januari 1998, pemerintah menyatakan, dana nasabah maupun pinjaman antar bank masuk dalam skema penjaminan pemerintah. Itu berarti Bank Bali tidak perlu khawatir piutangnya di BDNI lenyap karena berada dalam perjaminan pemerintah.
Namun, rupanya Bank Indonesia (BI) tidak segera membayarkan piutang Bank Bali tersebut. Sebab berdasarkan hasil verifikasi BI, tak ada satu pun dari 10 transaksi antara Bank Bali dan BDNI yang memenuhi syarat untuk dibayar.
Alasannya, transaksi antara BDNI dan Bank Bali terlambat didaftarkan serta terlambat diajukan. Piutang Bank Bali awalnya adalah transaksi forward yang tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin. Namun entah apa yang terjadi kemudian, transaksi itu berubah statusnya menjadi pinjaman antarbank.
Untuk menagih pinjaman antar bank itulah, Bank Bali dengan PT Era Giat Prima menandatangani cessie tanggal 11 Januari 1999.
Untuk menagih pinjaman antar bank itulah, Bank Bali dengan PT Era Giat Prima menandatangani cessie tanggal 11 Januari 1999. Bank Bali memberikan hak penagihan piutang kepada PT Era Giat Prima, hitam di atas putih, berupa cessie atau pengalihan hak penagihan kepada pihak ketiga.
Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli beralasan, pencairan dana penjaminan dari BI atas piutang Bank Bali terhadap BDNI sulit dilakukan. Oleh karena itu, cessie pun ditempuh dengan menggandeng PT Era Giat Prima.
Rudy Ramli beralasan, ”Kalau setiap hari dirongrong oleh ketidakpercayaan nasabah, siapa yang tahan Mas”. (Kompas, 6 Agustus, 1999)
Dalam proses, menurut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), beberapa dokumen terkait cessie tersebut tidak terungkap dalam laporan auditor Bank Bali. Namun, justru Standard Chartered Bank (SCB) yang mengungkapkan hal itu dalam laporan due diligence-nya pada 20 Juli 1999. SCB adalah investor asing yang waktu itu sepakat membeli 20 persen saham Bank Bali.
Dalam laporannya, SCB menemukan, antara lain, terjadinya tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank sebesar Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antar bank sebesar Rp 904 miliar. SCB juga menemukan adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen Bank Bali.
Setya Novanto mengatakan, proses transaksi jual beli penagihan Bank Bali merupakan proses investasi berisiko tinggi dan bisa dipertanggungjawabkan secara legal dan komersial. Setya Novanto pun menampik tudingan adanya kaitan perjanjian itu dengan Golkar (Kompas. 4 Agustus 1999).
Setya Novanto mengatakan, tagihan pokok dan bunga dana Bank Bali kepada BDNI sebesar Rp 1,277 triliun. ”Setelah diverifikasi BPPN dan Bank Indonesia, jumlah yang bisa ditagih Rp 904.642.428.369, karena dari 10 transaksi terdapat dua-tiga yang tidak memenuhi syarat sehingga yang dibayar hanya itu,” ujar Setya.
Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin mengaku tidak mengetahui adanya perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT Era Giat Prima. Syahril mengatakan, bagi BI pengurusan penjaminan pinjaman antarbank tidak memerlukan perantara.
”Namun, bisa saja bank mengalihkan piutangnya kepada pihak lain, dengan fee bergantung negosiasi. Di luar negeri juga begitu. Dalam proses sehari-hari, penjualan piutang dengan diskon itu normal-normal saja,” katanya (Kompas, 5 Agustus 1999).
Posisi PT Era Giat Prima pun dipertanyakan. Sebab, secara prosedural formal dan legal, pencairan tagihan perbankan memang tidak memerlukan peran pihak lain
Posisi PT Era Giat Prima pun dipertanyakan. Sebab, secara prosedural formal dan legal, pencairan tagihan perbankan memang tidak memerlukan peran pihak lain. Sementara Bank Indonesia, Departemen Keuangan atau Kementerian Keuangan, dan BPPN adalah lembaga pemerintah yang memiliki sistem tersendiri dalam pencairan dana.
Maka, apa yang terjadi antara Bank Bali dan PT Era Giat Prima? Saling mengikatkan diri pada perjanjian cessie atau debt collector. Jika itu cessie, apa peran EGP dalam pencairan itu karena sudah dikatakan dana itu cair sesuai prosedur dan tak memerlukan pihak ketiga. Atau, apakah EGP dan Bank Bali sedang memformalkan kegiatan debt collector lewat cessie?
Setya Novanto pun membantah perjanjian mereka itu sebagai perjanjian bernuansa debt collector, tetapi cessie. Namun, jika sesuai cessie yang lazim, hak tagihan dan transfernya sebenarnya langsung ke PT Era Giat Prima, bukan ke Bank Bali.
Dalam kasus Bank Bali, tagihan itu mengalir ke rekening Bank Bali di Bank Indonesia. Kalaupun ada yang mengalir ke PT Era Giat Prima, itu setelah tagihan Bank Bali cair, yakni sebagai fee. Itulah kerumitan lain yang muncul dari cessie itu (Kompas, 8 Agustus 1999).
Baca juga: Perbedaan Joko Tjandra dan Warga Biasa dalam Mengurus KTP-el
Proses hukum
Ahli hukum perbankan, Pradjoto, adalah pihak yang pertama membongkar indikasi politik uang dalam transaksi penagihan piutang Bank Bali. Bank Bali memiliki tagihan piutang terhadap tiga bank swasta, yakni BDNI, Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Bira, senilai Rp 3 triliun. Penagihan piutang tersebut melibatkan PT EGP dan diduga terdapat dukungan sejumlah pejabat tinggi negara.
Dalam wawancara dengan Kompas, Pradjoto mengaku dirinya dan keluarganya diteror dan diancam orang-orang tidak dikenal. Pradjoto mengatakan, beberapa pemuda berbadan kekar berjalan hilir mudik di depan rumahnya.
Singkat cerita, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mewajibkan Rudy Ramli, mantan Direktur Utama Bank Bali, dan PT Era Giat Prima (EGP) untuk mengembalikan dana yang telah mereka terima. Saat itu, sudah ada transfer dana Rp 904.642.428.369 dari Bank Indonesia ke Bank Bali dan sekitar Rp 798 miliar di antaranya telah mengalir keluar dari Bank Bali.
Kemudian, kasus tersebut bergulir menjadi kasus hukum. Dirut Bank Bali Rudy Ramli pun ditetapkan sebagai tersangka. Demikian pula Direktur PT Era Giat Prima Joko S Tjandra juga diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 Februari 2000.
Dakwaan jaksa tidak diterima majelis hakim dalam putusan sela. Majelis hakim memutuskan bahwa cessie bukan perbuatan pidana melainkan masalah perdata.
Namun, dakwaan jaksa tidak diterima majelis hakim dalam putusan sela. Majelis hakim memutuskan cessie bukan perbuatan pidana, melainkan masalah perdata.
Namun, pada Mei 2000, Joko S Tjandra kembali duduk di kursi terdakwa. Sebab jaksa Ridwan Moekiat mengajukan perlawanan (verset) ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Kemudian Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan, dakwaan jaksa Ridwan Moekiat dibenarkan dan pemeriksaan perkara Joko Tjandra dilanjutkan.
Meski demikian, Joko S Tjandra akhirnya dinyatakan lepas dari tuntutan hukum. Majelis hakim menyatakan, dakwaan jaksa bahwa Joko telah memengaruhi para pejabat otoritas moneter guna memperlancar pencairan klaim Bank Bali pada Bank Dagang Nasional Indonesia sama sekali tidak terbukti. Demikian pula, Joko juga dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung.
Baca juga: Negara Tak Boleh Kalah dari Koruptor
Namun, Kejaksaan Agung meyakini terdapat kekeliruan hakim dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dalam kasus pembayaran tagihan Bank Bali kepada Bank Dagang Nasional Indonesia. Kejaksaan Agung pun mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi Joko S Tjandra ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan PK atas putusan kasasi Syahril Sabirin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Akhirnya, pada 11 Juni 2009, MA dalam putusan PK-nya menyatakan, mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin dan Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko S Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama.
Namun, rupanya Joko telah kabur ke Papua Niugini dan kini menggegerkan Republik ini karena telah mengajukan permohonan peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanpa terendus aparat penegak hukum.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ninik Rahayu, mengatakan, masuknya Joko S Tjandra tanpa terendus aparat penegak hukum memperlihatkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia belum berjalan maksimal. Sebab, institusi penegak hukum dengan instansi yang terkait belum saling terhubung dengan baik.
Peristiwa tersebut diharapkan menjadi titik tolak bagi semua institusi terkait agar memperbaiki sistem dan berkoordinasi lebih intensif. ”Apalagi sekarang sudah berbentuk daring, mestinya sudah otomatis terhubung antara satu institusi dan institusi yang lain,” kata Ninik.
Masuknya Joko S Tjandra tanpa terendus aparat penegak hukum memperlihakan sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia belum berjalan maksimal. Sebab, institusi penegak hukum dengan instansi yang terkait belum saling terhubung dengan baik.
Kelindan politik dalam bisnis
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpandangan, jika dulu masyarakat hanya mengenal segitiga, yakni antara pengusaha, eksekutif, dan legislatif, kini hal sudah tidak jelas lagi bentuknya. Yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah cengkeraman oligarki yang menguasai dasar-dasar negara.
Kasus cessie Bank Bali, menurut Enny, adalah salah satu contoh saling berkelindannya kepentingan bisnis dengan kepentingan politik. Dan melihat beberapa kasus yang terjadi di badan usaha milik negara (BUMN) akhir-akhir ini, seperti Asuransi Jiwasraya, tidak menutup kemungkinan masuknya tangan politik di dalamnya.
”Nature dari politik itu kan kepentingan. Sementara bisnis kan butuh pertimbangan profesional. Kalau pertimbangan kepentingan masuk ke pertimbangan profesional, biasanya pertimbangan profesional akan kalah atau menyesuaikan,” kata Enny.
Menurut Enny, kasus Bank Bali kemungkinan besar akan terjadi lagi. Sebab, saat ini pebisnis yang menguasai ekonomi juga telah menguasai legislatif dan masuk ke pemerintahan, bahkan termasuk media massa. Pembuatan undang-undang yang tidak melibatkan diskursus publik menjadi contoh.
Kasus cessie Bank Bali terjadi 20 tahun lalu. Namun, pola serupa bisa berulang kembali. Bagaimana menurut Anda?
Baca juga: Tim Pemburu Koruptor Kembali Diwacanakan