Klausul jaminan perpanjangan operasi pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terus menuai kontroversi. Ada pendapat bahwa peran BUMN dan BUMD kian diabaikan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan mengkhawatirkan klausul tentang jaminan perpanjangan kontrak pertambangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Ada rencana untuk mengajukan uji formil dan uji materiil undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
UU No 3/2020 itu merupakan hasil perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hal itu mengemuka dalam webinar bertajuk ”Kedaulatan Negara di Sektor Pertambangan Pasca-terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020” yang berlangsung Senin (13/72020). Sebagai narasumber adalah Direktur Indonesia Mining Watch Budi Santoso, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon F Sembiring, dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, Ahmad Redi.
Jaminan pemerintah atas perpanjangan kontrak tambang diatur dalam Pasal 169A UU No 3/2020. Poin pertama pasal tersebut menyebutkan, kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian setelah memenuhi sejumlah persyaratan.
Menurut Redi, perpanjangan secara otomatis yang diberikan pemerintah terhadap pemegang KK dan PKP2B menunjukkan pemerintah tidak memprioritaskan badan usaha milik negara (BUMN) ataupun badan usaha milik daerah (BUMD). Hal itu bertolak belakang dengan semangat konstitusi yang mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
”Apalagi, dalam lima tahun ke depan ada tujuh pemegang PKP2B yang kontraknya segera berakhir. Beberapa di antaranya pemilik PKP2B tersebut adalah pejabat publik di pusat kekuasaan. Kesannya adalah UU No 3/2020 ini hanya untuk mengakomodasi kepentingan pemilik PKP2B tersebut dengan mengabaikan prioritas terhadap BUMN atau BUMD,” kata Redi.
Perpanjangan secara otomatis yang diberikan pemerintah terhadap pemegang KK dan PKP2B menunjukkan bahwa pemerintah tidak memprioritaskan BUMN ataupun BUMD.
Budi menambahkan, adanya klausul jaminan perpanjangan tersebut menunjukkan seolah-olah negara tak punya kendali atas pengelolaan sumber daya alamnya. Apalagi, klausul yang mengatur pemidanaan bagi pejabat yang menerbitkan izin pertambangan dan bertentangan dengan UU yang sebelumnya diatur dalam Pasal 165 UU No 4/2009 dihapus dalam UU No 3/2020. Hal ini berpotensi dapat menimbulkan praktik penyalahgunaan wewenang.
”Dihapuskannya pasal pemidanaan itu, seandainya nanti ada kesalahan dalam penerbitan izin, siapa yang mesti bertanggung jawab? Sangat disayangkan sekali pasal tersebut dihapuskan,” kata Budi.
Sementara itu, Simon berpendapat, selain banyak mengandung pasal kontroversial, tata kelola pertambangan di Indonesia bukan diakibatkan kekeliruan UU-nya sehingga harus direvisi. Masalah terletak pada pelaksanaan dan penegakan UU itu sendiri.
Ia juga menyebut, pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal pelaksanaan dan penegakan UU tersebut adalah pemerintah dan DPR. ”UU No 4/2009 itu belum dilaksanakan dengan konsisten. Di situlah letak permasalahannya. UU-nya sendiri tidak bermasalah sehingga seharusnya tak perlu direvisi,” ujar Simon.
Pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal pelaksanaan dan penegakan UU tersebut adalah pemerintah dan DPR.
UU No 3/2020 disahkan pada 10 Juni 2020. Sejumlah hal signifikan yang berubah adalah pengambilalihan wewenang perizinan pertambangan yang semula ada di tangan pemerintah provinsi ditarik ke pemerintah pusat. Namun, dalam UU ini mengatur pemberian sanksi pidana dan denda kepada perusahaan yang tidak mereklamasi lahan bekas tambang dengan pidana paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan, tentang jaminan perpanjangan operasi, pemerintah tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan penuh kehati-hatian.
Perpanjangan operasi, kendati tak menempuh mekanisme lelang, tetap memperhatikan syarat-syarat tata kelola tambang yang baik, kewajiban fiskal, maupun kewajiban pascatambang. Salah satu syarat tersebut tak dipenuhi, maka perpanjangan operasi tidak akan diberikan.
”Kita lihat saja nanti aturan turunannya (dari UU No 3/2020) seperti apa,” kata Irwandy dalam sebuah diskusi pada 24 Februari 2020 di Jakarta.