Buronan Joko Tjandra Tak Pernah Gunakan Paspornya
Pihak Imigrasi menyebutkan, buronan Joko Tjandra tak pernah menggunakan paspornya. Begitu pula saat kabur sebelum putusan MA tahun 2009. Atas sengkarut kasus ini, Komisi III DPR akan memanggil seluruh instansi terkait.
JAKARTA, KOMPAS — Buronan kasus Bank Bali Joko Tjandra disebutkan tidak pernah menggunakan paspornya. Ini termasuk paspor barunya yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Utara, 23 Juni 2020. Pihak Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menduga Joko bisa masuk dan keluar melalui pintu pelintasan yang tak diawasi petugas imigrasi.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/7/2020) di Jakarta, mengungkapkan, terdapat sebuah surat jalan atas nama Joko Tjandra yang dikeluarkan oknum sebuah instansi. Penyebutan oknum sebuah instansi itu didasari ada kop surat, stempel lembaga, nomor surat jalan, dan pejabat yang menandatangani surat itu.
Dalam surat jalan tersebut tertulis, Joko Soegiarto Tjandra sebagai konsultan melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pontianak. Tanggal keberangkatan adalah 19 Juni 2020 dan kembali 22 Juni 2020. Angkutan yang dipakai adalah pesawat.
”Jika mengacu foto surat jalan tersebut, maka hampir dapat dipastikan Joko Tjandra masuk Indonesia melalui pintu Kalimantan, Pos Lintas Batas Negara Indonesia di Entikong, dari Kuala Lumpur, Malaysia,” ujar Boyamin.
Baca juga: Jaksa Agung Janji Tangkap Joko Tjandra
Ia menyampaikan, foto surat jalan itu belum dapat dipastikan keasliannya. Namun, ia memastikan, foto itu didapatkan dari informan yang kredibel.
”Saya berani mempertanggungjawabkan alurnya. Setidaknya, jika aparat Pemerintah Indonesia serius melacaknya, maka sudah mengerucut pintu masuknya adalah dari Malaysia dan bukan dari Papua Niugini,” kata Boyamin.
Saat dikonfirmasi mengenai hal itu, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting, seusai rapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senin, mengatakan, bisa saja Joko masuk melalui perbatasan Indonesia-Malaysia. Namun ia memastikan Joko tak masuk melalui pintu perlintasan yang dijaga oleh petugas imigrasi.
Menurut dia, panjang perbatasan Indonesia-Malaysia mencapai 2.019 kilometer. Di antaranya, ada pintu-pintu perlintasan tradisional yang digunakan masyarakat setempat, dan tidak diawasi oleh petugas imigrasi.
”Mungkin saja (dari Malaysia). Nanti, kami buktikan karena, kan, bisa saja Papua. Kita tak bisa berspekulasi tentang hal ini,” ujar Jhoni. Sama seperti perbatasan Indonesia-Malaysia, di sepanjang perbatasan Indonesia-Papua yang mencapai 800 kilometer juga ada pintu-pintu tradisional.
Paspor tak digunakan
Sementara itu, dalam rapat dengan Komisi III DPR, Jhoni mengatakan, Joko Tjandra membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara pada 22 Juni 2020. Petugas yang melayani Joko Tjandra tidak mengenali wajah buronan tersebut. Petugas imigrasi yang melayani Joko Tjandra disebutkannya masih berusia 20-23 tahun sehingga tidak mengetahui wajah buronan yang telah belasan tahun tidak diketahui keberadaannya itu.
Petugas lantas memproses permohonan pembuatan paspor itu karena seluruh persyaratan terpenuhi. Salah satunya, Joko memiliki dokumen KTP elektronik (KTP-el). Dokumen ini seperti diketahui diterbitkan oleh Kelurahan Grogol Selatan pada 8 Juni. Selain KTP-el, Joko juga menyertakan paspor lamanya, yang dibuat tahun 2007 dan berakhir tahun 2012.
Baca juga: Jejak Si Buron pada 8 Juni
Proses pembuatan paspor pun berjalan mulus karena Joko tak tercatat dalam sistem sebagai orang yang berstatus buronan.
Selanjutnya, sehari setelah kedatangan Joko untuk membuat paspor atau tanggal 23 Juni, paspor diterbitkan kantor imigrasi. Namun bukan Joko yang mengambilnya. Ia tidak menyebutkan pihak yang mengambil paspor itu. Jhoni hanya menjelaskan, pengambilan paspor dengan surat kuasa atas nama Joko.
Kemudian, setelah kepulangan Joko yang buronan banyak dipersoalkan, Jhoni menerima kiriman paspor Joko dalam amplop yang di bagian mukanya tertulis Anita Kolopaking, yaitu pengacara Joko. Dari paspor tersebut diketahui, Joko belum pernah menggunakannya.
Menurut Jhoni, Joko juga tidak menggunakan paspor lamanya saat keluar dari Indonesia beberapa hari sebelum putusan Mahkamah Agung memvonisnya bersalah, 11 Juni 2009.
Dengan dua fakta tersebut, berdasarkan hukum, seharusnya Joko ada di Indonesia. Jadi, secara de jure, dia masih di Indonesia. Tetapi, de facto, dia di mana, kami juga tidak tahu,” kata Jhoni.
Sekalipun Jhoni telah mendengarkan keterangan dari bawahannya mengenai cara Joko memperoleh paspor, penyelidikan tetap dilakukan untuk mencari tahu ada tidaknya penyimpangan kewenangan saat paspor diterbitkan.
”Tidak ada toleransi apa pun kalau diketahui ada petugas yang terlibat,” katanya.
Dalam rapat, mayoritas perwakilan fraksi di Komisi III DPR pun mengkritisi begitu mudahnya paspor diberikan bagi Joko Tjandra yang berstatus buronan.
”Bagaimana Kantor Imigrasi Jakarta Utara bisa mengeluarkan paspor (untuk Joko). Di mana letak proses kehati-hatian yang dilakukan jajaran imigrasi sebelum mengeluarkan paspor. Dia seorang buronan, terpidana, dan putusannya sudah inkrah,” kata Arsul Sani, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Benny K Harman dari Fraksi Partai Demokrat bahkan menengarai bebasnya Joko keluar-masuk Indonesia, bahkan membuat paspor, KTP-el, dan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas perkaranya, bagian dari skenario.
”Saya tetap pada kesimpulan bahwa pemerintah ini main cilukba. Mengapa saya katakan pemerintah main cilukba, karena jelas sekali sekali kronologi ini adalah sebuah skenario agar Pak Joko ini bisa masuk dengan aman, dan lolos dengan aman, dan meninggalkan Indonesia juga dengan aman,” ujarnya.
Baca juga: Tim Pemburu Koruptor Bisa Sia-sia
Kronologi yang dimaksudkan Benny, pada 5 Mei 2020, kepolisian melalui Divisi Hubungan Internasional mengirim surat penghapusan Interpol Red Notice kepada Ditjen Imigrasi. Pada 13 Mei 2020, kepolisian kembali mengrimkan surat yang meminta penghapusan nama Joko Tjandra dari Sistem Informasi Manajeman Keimigrasian.
Baru pada tanggal 27 Juni 2020, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyurati Ditjen Imigrasi dan meminta agar Joko dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO). Pada 3 Juli 2020, Kejagung juga berkirim surat meminta pencegahan Joko Tjandra ke luar negeri. Surat telah ditindaklanjuti oleh Ditjen Imigrasi, dan telah dikeluarkan surat pencegahan atas nama Joko Tjandra.
Dalam rentang 5 Mei hingga 27 Juni, Joko dapat mengurus KTP-el, paspor, dan mendaftarkan permohonan pengajukan kembali kasusnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Merujuk pada rangkaian peristiwa itu, lanjut Benny, ada kemungkinan mobilitas buronan itu keluar masuk wilayah Indonesia difasilitasi atau dikawal pihak-pihak tertentu.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Suding pun turut mengkritisi sikap Ditjen Imigrasi yang buru-buru mengeluarkan paspor baru untuk Joko tanpa berkoordinasi terlebih dulu dengan penegak hukum lainnya. Demikian pula dengan pencabutan status red notice oleh kepolisian, juga tidak dikonfirmasikan terlebih dulu kepada penegak hukum yang menangani kasus Joko, yakni Kejagung.
Panggil seluruh instansi
Taufik Basari dari Fraksi Nasdem yakin Joko tidak bekerja sendiri. Pelarian Joko dan mobilitasnya keluar masuk wilayah Indonesia diperkirakan melibatkan beberapa orang dengan kualifikasi tertentu, atau tidak tertutup kemungkinan dilakukan oleh mafia hukum.
“Jaringan ini harus dibongkar. Mereka bisa ada di mana-mana. Jaringan ini membantu keluarnya Joko Tjandra, tahun 2009 dan masuknya lagi ke Indonesia, termasuk untuk mengurus paspor. Bongkar siapa pun yang membantu Joko Tjandra, dan kami berharap ada pembersihan di tubuh imigrasi. Jangan sampai jaringan ini menguasai semua,” ujarnya.
Belum puas dengan penjelasan pihak Imigrasi, apalagi kasus ”melenggangnya” Joko Tjandra akibat kesalahan banyak instansi, Komisi III DPR dalam kesimpulan rapat memutuskan memanggil seluruh instansi terkait. Instansi dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejagung, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ketua Komisi III DPR Herman Hery mengatakan, pihaknya secepatnya akan memanggil ketiga instansi tersebut agar duduk perkara kasus Joko menjadi terang benderang sekaligus mencegah hal serupa terulang pada buronan lain di kemudian hari.