Korona Memperdalam Krisis Pendidikan dan Memperluas Kesenjangan Pendidikan
›
Korona Memperdalam Krisis...
Iklan
Korona Memperdalam Krisis Pendidikan dan Memperluas Kesenjangan Pendidikan
Penutupan sekolah akibat Covid-19 akan mengakibatkan tingkat retensi rendah dan memperburuk hasil belajar. Ini akan menghambat sejumlah kemajuan dalam akses pendidikan yang selama ini pencapaiannya sangat lambat.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Penutupan sekolah akibat pandemi Covid-19 berdampak buruk pada hasil pembelajaran dan mengubah hidup jutaan anak di seluruh dunia. Tanpa upaya perbaikan, efek pandemi akan menambah hambatan yang dihadapi anak-anak miskin dalam menyelesaikan pendidikan mereka.
Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2020 yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 7 Juli 2020 menyebutkan, penutupan sekolah akan menghambat kemajuan yang telah dicapai dalam akses pendidikan. Padahal, meski ada kemajuan, peningkatan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara selama ini masih sangat lambat.
Sebelum pandemi, data global menunjukkan, angka putus sekolah telah turun dari 26 persen pada 2000 menjadi 19 persen pada 2010 serta menjadi 17 persen pada 2018. Jumlah anak putus sekolah pada 2018 sebanyak 258 juta anak. Korona bisa menghambat target penurunan angka putus sekolah menjadi 200 juta pada 2030.
Capaian penurunan angka putus sekolah di Indonesia sudah lebih baik. Data Badan Pusat Statistik berdasarkan Survei Ekonomi Nasional 2018 menunjukkan, 157.166 anak putus sekolah. Angka putus sekolah tingkat SD 0,51 persen. Sedangkan di SMP masih 1,67 persen dari target 1,07 persen dan di SMA masih 2,94 persen dari target 1,76 persen.
Penutupan sekolah di lebih dari 190 negara, termasuk di Indonesia, mengakibatkan sekitar 90 persen siswa atau sekitar 1,5 miliar siswa tidak dapat sekolah. Meski pembelajaran jarak jauh diterapkan di empat dari lima negara, sekitar 500 juta atau sekitar 33 persen anak tidak dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh karena kendala akses perangkat teknologi dan internet.
Kesenjangan digital membuat anak yang selama ini terpinggirkan akan semakin terpinggirkan. Di Eropa, misalnya, pada 2019 sekitar 13 persen rumah tangga belum memiliki akses internet dan 22 persen rumah tangga belum memiliki komputer. Sedangkan di Afrika, baru 18 persen rumah tangga memiliki akses internet dan baru 11 persen rumah tangga memiliki komputer.
Di Indonesia juga masih banyak siswa yang belum memiliki akses ke komputer dan internet. Berdasarkan data BPS 2019, baru 53,06 persen siswa usia 5-24 tahun yang dapat mengakses internet dan baru 23,5 persen siswa yang menggunakan komputer.
Sebagian besar siswa dan guru mengandalkan telepon genggam untuk pembelajaran daring.
Sebagian besar siswa dan guru mengandalkan telepon genggam untuk pembelajaran daring. Di tingkat SD, misalnya, survei Kemendikbud pada 3-8 April 2020 menunjukkan, dari 63,4 persen sekolah yang menyelenggarakan pembelajaran daring, 61,3 persen menggunakan telepon genggam dan hanya 34,3 persen yang menggunakan laptop atau komputer.
Sementara 30,6 persen SD menerapkan pembelajaran jarak jauh secara luring karena keterbatasan akses TIK dan internet. Total jumlah SD sebanyak 149.137. Dalam catatan Kompas bahkan sejumlah anak pembelajarannya terhenti karena faktor geografis.
Keberhasilan pembelajaran jarak jauh juga bergantung pada keterampilan para guru dan orangtua dalam menggunakan komputer. Di sekitar setengah dari 86 negara yang datanya tersedia di PBB, hanya kurang dari setengah populasi yang memiliki keterampilan komputer dasar, seperti menyalin file elektronik, apalagi keterampilan yang kompleks. Akibatnya, pembelajaran daring tidak bisa efektif.
Memperburuk hasil
Karena itu, kata Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Ekonomi dan Sosial PBB Liu Zhenmin, dalam laporan tersebut, penutupan sekolah yang berkepanjangan akan menyebabkan tingkat retensi (kemampuan mengingat materi) dan kelulusan lebih rendah serta memperburuk hasil belajar. Hal ini terutama terjadi pada siswa yang rentan dan kurang beruntung, termasuk dari keluarga miskin dan siswa penyandang cacat.
Satu indikator baru dalam SDGs untuk menggambarkan capaian pendidikan adalah tingkat kelulusan sekolah. Sebelum korona, secara global, angka lulus sekolah dasar meningkat dari 70 persen pada 2000 menjadi 85 persen pada 2019. Angka lulus sekolah menengah juga meningkat dari 49 persen pada 2000 menjadi 73 persen pada 2019.
Meski angka kelulusan meningkat, masih terdapat kesenjangan karena faktor ekonomi. Di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah, misalnya, tingkat kelulusan SD pada 2014-2018 sekitar 68,4 persen pada kelompok kuintil pengeluaran terbawah dan 94,5 persen pada kelompok kuintil pengeluaran teratas. Kesenjangan ini juga ditemui pada jenjang sekolah menengah.
Di Indonesia, pada 2018 tingkat kelulusan SD mencapai 96,75 persen, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata di negara berpendapatan menengah ke atas yang sebesar 94 persen. Namun, semakin tinggi jenjang pendidikan, tingkat kelulusan sekolah juga semakin rendah, yaitu untuk SMP 85,54 persen dan untuk SMA 56,25 persen.
Salah satu langkah penting menuju pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara adalah guru yang cukup terlatih. Berdasarkan data terbaru yang tersedia di PBB, 85 persen guru SD dan 86 persen guru sekolah menengah menerima pelatihan minimal yang dipersyaratkan. Guru yang terlatih semakin relevan dalam pembelajaran jarak jauh.
Krisis akibat pandemi ini juga memiliki efek buruk pada perkembangan sosial dan perilaku anak-anak. Karena banyak keluarga jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, anak-anak di keluarga miskin dan kurang beruntung berisiko lebih besar menjadi pekerja anak, juga menghadapi pernikahan anak dan perdagangan anak. Keuntungan global dalam mengurangi pekerja anak kemungkinan akan berbalik untuk pertama kalinya dalam 20 tahun ini.
Mengutip Anggi Afriansyah, peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, perlu kebijakan yang fleksibel dan berpihak kepada siswa yang marjinal. Dan, keputusan yang dibuat saat ini akan menentukan masa depan pendidikan, terutama masa depan anak-anak yang selama ini terpinggirkan.