Mbah Lindu dan Gudeg Yogya Berbumbu Rindu
Dunia kuliner berkabung. Mbah Lindu, penjual gudeg legendaris di Yogyakarta, telah berpulang, Minggu (12/7/2020) petang. Perempuan yang telah berjualan sejak 1930-an ini setia merawat cita rasa gudeg khas Yogyakarta.
Dunia kuliner berkabung. Biyem Setyo Utomo, atau yang lebih tenar dengan nama Mbah Lindu, salah satu penjual gudeg legendaris di Yogyakarta, berpulang. Berjualan sebelum zaman penjajahan Jepang, Mbah Lindu mengembuskan napas terakhir dalam usia sekitar 100 tahun, Minggu (12/7/2020) petang.
Nama Mbah Lindu tak asing bagi pemburu gudeg klasik hingga wisatawan fanatik penjelajah Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia setia berjualan gudeg di sebuah poskamling di Jalan Sosrowijayan, Kecamatan Gedongtengen, salah satu kantong turisme di Kota Yogyakarta bagian selatan. Puluhan tahun, ia merawat warisan kuliner ikon daerah.
”Kabar meninggalnya Mbah Lindu membuat saya kaget. Setiap liburan ke Yogya, Gudeg Mbah Lindu adalah tempat jujugan kami sekeluarga. Walau tempatnya kecil, kami sekeluarga makan sambil berdiri, tapi justru sensasi kebersahajaan itu yang buat selalu kangen,” tutur Dani Nuswantoro (38), karyawan swasta perusahaan otomotif di Jakarta Utara, menanggapi kabar meninggalnya Mbah Lindu.
Kuliah di Yogyakarta selama lima tahun pada 2000-2005, Dani mengaku sudah menjadi pelanggan tetap Gudeg Mbah Lindu sejak masih menjadi mahasiswa. Dani mengenang, ia dan kawan-kawannya rela bangun pagi, lalu beramai-ramai naik motor dari daerah Pringwulung, Kabupaten Sleman, menuju Sosrowijayan.
”Takut kehabisan karena Mbah Lindu hanya buka pukul 05.00-10.00. Kadang pukul 09.00 juga sudah habis,” kenang Dani.
Lapak Mbah Lindu hanya menyediakan kursi kayu berukuran 1,5 meter tanpa meja. Namun, setiap hari, gudegnya tak pernah sisa. Selain warga yang mengonsunsi untuk sarapan, banyak pembeli memborong gudegnya untuk dibungkus sebagai oleh-oleh.
Yenny Kusumaningrum (35), warga Minomartani, Sleman, yang bekerja di Denpasar, Bali, mengaku, salah satu hal yang selalu membuatnya merindukan Yogyakarta adalah gudeg Mbah Lindu. Baginya, menyantap gudeg beralas pincuk (daun pisang dijepit lidi) dengan tangan, seolah mengantarnya memasuki kapsul waktu menuju masa kecil.
”Dulu, setiap pagi, saya diantar bapak naik motor ke sekolah. Lalu, mampir dulu sarapan di warung, entah soto atau gudeg. Ibu jarang sempat masak karena juga bekerja. Nah, suasana makan di warung Mbah Lindu membawa saya ke memori itu,” tutur Yenny bernostalgia.
Menyantap gudeg beralas pincuk (daun pisang dijepit lidi) dengan tangan, seolah mengantarnya memasuki kapsul waktu menuju masa kecil.
Mbah Lindu pun terus berusaha mempertahankan resepnya. Meski sudah lanjut usia, dia masih meracik bumbu dan mengolah gudeg dengan tangannya sendiri.
Dalam sebuah video yang diunggah akun lumixindonesia di kanal Youtube, pakar kuliner Tanah Air, William Wongso, mengapresiasi sosok Mbah Lindu sebagai penjual gudeg tertua di Yogyakarta. Dalam video tersebut, Mbah Lindu mengaku telah ikut berjualan gudeg sejak umur 13 tahun pada 1930-an. ”Listrik belum ada. Pesawat juga belum ada. Dulu ada orang jaga (penjajah) minta nasi gudeg, kalau enggak dikasih, mbah (saya) dikejar,” ucap Mbah Lindu.
Produktif
William Wongso bercerita, melalui racikan tangan Mbah Lindu inilah, orang-orang luar negeri yang semula menganggap gudeg yang disajikan langsung dengan tangan itu kurang higienis, justru malah suka dan ketagihan. ”Setahu saya, di dunia ini, tidak ada (orang) yang masih hidup (setua Mbah Lindu), memasak sendiri, dan jualan makanan sendiri seperti Mbah Lindu,” ucapnya di video yang diunggah 25 Oktober 2017 tersebut.
William bahkan mengaku miris, di umurnya yang lebih dari 90 tahun, Mbah Lindu masih bekerja memasang sendiri kayu bakar dan menghadang panas dari perapian. William memaknainya sebagai spirit seorang ibu yang terus ingin berkarya tanpa merepotkan orang lain.
”Mbah ora kepengen ngrepoti anak putu (saya tidak ingin merepotkan anak dan cucu,” ucap Mbah Lindu di video tersebut.
William pun mengutarakan kekhawatirannya, gudeg Mbah Lindu tidak ada yang meneruskan. ”Banyak kan, makanan-makanan itu habis karena enggak ada penerusnya.”
Namun, William Wongso boleh berbesar hati. Berkisar 3-4 tahun terakhir, Ratiyah (54), anak ketiga Mbah Lindu, telah banyak mengambil alih peran ibunya yang kian sepuh. Diakuinya, kondisi kesehatan Mbah Lindu telah cenderung menurun dalam kurun waktu tersebut.
Meski demikian, Mbah Lindu tetap saja tidak mau berhenti bekerja. Di usia senjanya, ia masih sering ikut membantu memasak gudeg di rumah. Entah itu mengupas telur atau membersihkan cabai untuk bahan memasak sayur berbahan dasar nangka itu.
”Beliau memang seorang ibu yang luar biasa. Semangatnya tinggi. Semangat bekerja ibu sangat menginspirasi kami,” kata Ratiyah, ditemui di rumah duka di daerah Klebengan, Desa Caturtunggal, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu malam.
Beliau memang seorang ibu yang luar biasa. Semangatnya tinggi. Semangat bekerja ibu sangat menginspirasi kami.
Terkait sakit Mbah Lindu, Ratiyah mengatakan, almarhumah tidak ada sakit tertentu. ”Ini memang karena sudah sepuh, usianya hampir 100 tahun,” ucapnya.
Namun, Ratiyah menceritakan, ibunya memang sempat terjatuh sewaktu akan memasuki rumah, awal Juni lalu. Saat itu, almarhumah juga dibawa ke rumah sakit. Namun, ia hanya dirawat selama dua hari. Dokter memperbolehkannya pulang karena Mbah Lindu juga tak merasa sakit sehingga dapat dilakukan rawat jalan.
”Menurut rencana, almarhumah akan dimakamkan Senin (13/7/2020), di makam Klebengan,” kata Ratiyah.
Baca juga: Tantangan Gudeg Hadapi Pasar Milenial
Dari cerita Mbah Lindu, Ratiyah menuturkan, sebelum diantar-jemput anaknya dengan mobil bak terbuka untuk berjualan di Sosrowijayan, puluhan tahun lamanya Mbah Lindu berjalan kaki. Ia berjalan tanpa alas kaki dan menempuh jarak lebih dari 5 kilometer agar bisa menjajakan dagangannya itu di wilayah Sosrowijayan.
Saat itu, pagi buta, Mbah Lindu berangkat bersama teman-teman satu kampungnya sesama penjual gudeg. Obor merupakan alat penerangannya menembus gelapnya jalan. ”Dari pembelinya membayar dengan uang sen sampai sekarang rupiah,” ucap Ratiyah.
Ia menambahkan, belakangan, kebanyakan pembeli di warung Mbah Lindu justru wisatawan dari luar kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Apabila sedang ramai, ia bisa menjual hingga 100 porsi gudeg. Satu porsi gudeg dijual Rp 15.000-Rp 30.000, tergantung lauknya.
Baca juga: Berjualan Gudeg dengan Alat Pelindung Diri
Turun-temurun
Keahlian memasak gudeg diwariskan secara turun-temurun di keluarga Mbah Lindu. Mbah Lindu merupakan generasi ketiga yang menjadi penjual gudeg di keluarganya. Ilmu mengolah makanan berbahan utama buah nangka itu terus berlanjut ke generasi berikutnya.
Kini, sedikitnya ada 20 orang dari anggota keluarga besar yang mengikuti jejak Mbah Lindu. Mereka terdiri dari anak dan cucu penjual gudeg legendaris tersebut.
Kami ikut bantu masak sejak kecil. Jadi, takaran-takarannya seolah kami sudah di luar kepala. Jadi, bisa dijamin cita rasanya sama.
”Disadari atau tidak, kami ini bisa masak gudeg. Sebab, kami tumbuh bersama gudeg. Kami ikut bantu masak sejak kecil. Jadi, takaran-takarannya seolah kami sudah di luar kepala. Jadi, bisa dijamin cita rasanya sama,” kata Lahono (63), putra kedua Mbah Lindu.
Hal serupa disampaikan keponakan Mbah Lindu, Mudiati (62). Ia menyatakan, resep memasak gudeg itu dipelajari sejak masih remaja. Bagi dia, sudah sewajarnya jika gudeg buatan keturunan Mbah Lindu memiliki cita rasa yang sama.
Baca juga: Soimah Kangen Gudeg Manggar
Gudeg Mbah Lindu termasuk dalam kategori gudeg basah. Biasanya, makanan tradisional tersebut disajikan dengan bubur atau nasi putih. Adapun lauk pendamping gudeg berupa potongan atau suwiran ayam, telur, tahu, atau tempe.
Ciri khas dari gudeg basah ini adalah rasanya yang cenderung gurih. Tidak sekadar manis. Adanya tambahan sambal krecek yang dimasak dengan santan juga kian menggugah selera lewat cita rasa pedas.
Walaupun sudah berjualan lebih dari 70 tahun, rasa gudeg buatan Mbah Lindu tetap terjaga. Ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi memasak yang masih tradisional. Bahan bakar yang digunakan berupa kayu bakar. Tungkunya juga berupa tungku batu. Dapur tempat memasak dagangan itu persis berada di sebelah kamar Mbah Lindu yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
”Gudeg memang paling enak dimasak menggunakan kayu bakar. Kematangan dan rasa yang diperoleh bisa pas begitu,” ujar Ratiyah.
Dalam rubrik Dapur Kita di harian Kompas, Minggu (24/6/2016), pengasuh rubrik Julie Sutardjana (97) atau dikenal dengan nama pena Nyonya Rumah, membagikan resep membuat gudeg khas Yogya.
Untuk sajian gudeg, bahan-bahan yang dibutuhkan 0,5 kg nangka muda, dikupas dan dibuang atinya, air kelapa dari 2 butir kelapa, air kulit bawang (kulit bawang merah, agak banyak, direbus dan disaring), serta santan cair.
Pelengkap nasi gudeg yakni opor ayam dan tahu, sambal goreng kacang tolo dan krecek, telur manis, tempe bacem, dan areh.
Sementara bumbu yang digerus yakni 6 bawang merah, 3 siung bawang putih, sendok teh bubuk ketumbar, 3 butir kemiri, 1 sendok teh terasi, 100 gram gula jawa, 2 iris lengkuas (memarkan), 3 lembar daun salam, serta 1-2 blok kaldu ayam.
Cara membuatnya, nangka muda dipotong-potong, rebus dengan air kelapa dan kulit bawang merah, bumbu-bumbu yang sudah digerus, laos, salam, gula jawa, dan kaldu blok. Didihkan, lalu kecilkan apinya, panci tetap tertutup, masak sampai kuahnya hampir habis, lalu tambahkan santan cair, didihkan pula, masak seterusnya dengan api kecil sampai kuahnya berkurang, angkat.
Sementara pelengkap nasi gudeg yakni opor ayam dan tahu, sambal goreng kacang tolo dan krecek, telur manis, tempe bacem, dan areh.
Riwayat gudeg
Tentu saja, setiap orang atau keluarga memiliki kekhasan dan otentisitas resep masing-masing. Bisa jadi, satu sajian gudeg Yogya akan beda cita rasanya dengan gudeg Yogya yang lain. Namun, secara umum, bahan-bahan dan cara memasaknya hampir sama.
Dalam buku Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa (2017), suntingan Murdijati Gardjito dan kawan-kawan, gudeg tercatat bermula sejak abad ke-16. Kala itu, prajurit Kerajaan Mataram harus membabat hutan untuk membangun Kotagede. Di hutan tersebut, pohon nangka dan kelapa berlimpah.
Karena banyaknya buah nangka muda (gori), kelapa, dan daun tangkil (melinjo), akhirnya mendorong para pekerja dan prajurit membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Untuk memenuhi makan para pekerja yang jumlahnya besar, nangka muda yang dimasak pun sangat banyak. Bahkan, untuk mengaduknya harus menggunakan alat menyerupai dayung perahu. Dari proses mengaduk atau dalam bahasa Jawa disebut hangudek ini, makanan ini disebut gudeg.
Kini, olahan gudeg bahkan semakin mudah dinikmati. Banyak pengusaha kuliner mengembangkan gudeg kalengan dengan tujuan agar makanan tersebut lebih awet. Terutama jika akan dikirim ke luar kota atau bahkan ke luar negeri dengan perjalanan selama berhari-hari.
Meski demikian, otentisitas gudeg Mbah Lindu tetap tak lekang oleh waktu. Bahkan, jejak gudeg Mbah Lindu kian dikenal luas setelah masuk dalam salah satu serial dokumenter berjudul Street Food Asia yang ditayangkan di layanan televisi berbayar Netflix, pada 2019.
Dalam serial tersebut, Mbah Lindu menyatakan masih ikut memasak gudeg yang dijualnya. Ia juga menegaskan, resep dan cita rasa gudegnya tak akan berubah meski sudah dimasak oleh penerusnya.
Ada satu hal lagi yang mungkin membuat orang penasaran, yakni tentang penamaan Mbah Lindu. Ratiyah berkisah, nama Lindu disematkan teman-teman Biyem sejak belia. "Dulu, ibu kalau diejek atau digoda teman-temannya enggak pernah marah. Istilah orang zaman dulu lunda-lundu. Cuek, diam saja. Beliau enggak menghiraukan," ucapnya.
Kini, Mbah Lindu telah beristirahat tenang. Namun, pengalaman mencecap rasa gurih, manis, legit, dan pedas dalam setiap suapan gudeg nangka dan suwir ayam akan mengabadi menjadi nostalgia tentang sebuah kota, Yogyakarta. Mbah Lindu, terima kasih, telah sudi berbagi cita rasa gudeg berbumbu rindu....