Lee Hsien Loong kecewa dengan kinerja rombongan para pemimpin baru Singapura di pemilu 2020. Hasil pemilu juga berpeluang mendorong Singapura kembali mengetatkan izin bagi pekerja asing.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Hasil pemilu Singapura pekan lalu memicu debat lanjutan untuk setidaknya tiga isu, yakni penerimaan warga atas generasi baru calon pemimpin negara itu, rasialisme, dan keberadaan pekerja asing. Perdebatan itu mengiringi upaya Singapura menangani dampak pandemi Covid-19.
Partai Aksi Rakyat (PAP), yang berkuasa di Singapura sejak negara itu berdiri pada 1959, menghadapi pemilu 10 Juli 2020 dengan kepercayaan diri tinggi. Hingga 20 politisi senior PAP, termasuk mantan Perdana Menteri Singapura Goh Chock Tong, tidak dicalonkan lagi.
Mereka digantikan oleh politisi lebih muda, termasuk Heng Swee Keat dan Ng Chee Meng. Heng, Wakil PM Singapura sejak 2018 dan mantan sekretaris pribadi Lee Kuan Yew yang puluhan tahun memimpin Singapura, menang tipis di Pantai Timur. Sementara Ng, ketua serikat pekerja nasional Singapura (NTUC) dan pejabat tinggi di kantor PM Singapura, malah kalah di Sengkang. ”Ini bukan pengesahan kuat untuk para pemimpin baru,” kata pengamat Singapura dari University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia, Briget Welsh, sebagaimana dikutip New York Times.
Sekretaris Jenderal PAP dan PM Singapura Lee Hsien Loong tidak menutupi kekecewaan atas hasil Heng dan Ng yang sama-sama disebut kelompok generasi baru pemimpin PAP dan Singapura. Kelompok itu dikenal sebagai 4G. Lee menyebut kekalahan di Sengkang sebagai kerugian besar 4G.
Sebelum pemilu, Heng kerap mewakili pemerintah untuk menyampaikan aneka kebijakan dan perkembangan soal penanganan Covid-19 di Singapura. Ia juga diberi tanggung jawab besar dengan menjadi Menteri Keuangan, Wakil PM, sekaligus Wakil Sekjen PAP. Wakil PM dan Wakil Sekjen PAP adalah dua jabatan wajib yang pernah diduduki dua dari tiga PM Singapura dalam 61 tahun terakhir.
Meski sudah kerap tampil dan mengemban banyak jabatan, Heng tetap tidak menang telak. Berbeda dengan sejumlah politisi senior PAP, termasuk Lee Hsien Loong, yang meraih lebih dari 70 persen suara sah di daerah pemilihan masing-masing.
Welsh menilai, bukan hanya Heng dan Ng yang menjadi sorotan dari pemilu kemarin. Seluruh PAP pun dinilai kalah karena perolehan suara totalnya berkurang dari dari 1.576.784 pada 2015 menjadi 1.524.781 pada 2020. Padahal, keseluruhan suara sah di pemilu 2020 naik 232.777 suara dibandingkan pemilu 2015. ”Dalam konteks Singapura, ini kekalahan (bagi PAP),” katanya.
Apalagi, selama 61 tahun terakhir, pemilu Singapura tidak pernah soal apa partai pemenangnya. Pemilu Singapura tentang seberapa kuat mandat PAP dari pemilih. Dari empat pemilu di masa kepemimpinan Lee Hsien Loong, hanya pada 2015 ada kenaikan dukungan pada PAP. ”Hasil pemilu menunjukkan kepedihan dan kecemasan yang dirasakan warga Singapura dalam krisis ini, kehilangan pendapatan, kecemasan tentang pekerjaan,” kata Lee sebagaimana dikutip Channel News Asia dan The Straits Times.
Tambahan suara sah pada 2020, antara lain, lari ke Partai Kemajuan Singapura (PSP) yang dibuat mantan politisi PAP, Tan Cheng Bock, pada 2019. PSP memang gagal mendapat satu pun kursi dari daerah pemilihan karena suaranya kalah dari PAP. Meskipun demikian, Bock mengaku terkejut dengan tingginya perolehan suara partai yang, antara lain, menggandeng anak Lee Kuan Yew, Lee Hsien Yang, sebagai salah satu kader dan juru kampanye itu. Bock menyebut perolehan PSP di atas harapan.
Partai Pekerja pimpinan Pritam Singh malah mendapat hasil lebih mengejutkan. Dari 93 kursi parlemen yang diperebutkan pada pemilu 2020, 10 direbut Partai Pekerja. Partai itu, antara lain, mengalahkan rombongan politisi PAP pimpinan Ng Chee Meng di Sengkang.
Padahal, salah satu caleg Partai Pekerja di Sengkang, yakni Raeesah Khan, sedang menghadapi proses hukum karena dugaan pelanggaran Undang-undang Anti-Manipulasi dan Penyebaran Kabarkibul (Pofma). Pada 5 Juli 2020, ia baru tahu ada dua laporan polisi atas dirinya. Media sosial Singapura riuh dengan dukungan terhadap Kahn selepas informasi dua laporan polisi itu. Hasilnya, Kahn kini menjadi anggota parlemen termuda Singapura.
Khan dilaporkan karena diduga berkomentar soal ketimpangan ekonomi dan rasialisme di Singapura. Komentar itu ditulisnya di media sosial pada 2018 dan baru ada laporan polisi beberapa hari menjelang pemilu 2020.
Selain melahirkan dukungan di pemilu, kasus Khan juga mendorong warga Singapura membahas soal rasialisme. Singapura melarang keras pembicaraan soal rasialisme demi menjaga keharmonian di negara itu.
Singapura berusaha menunjukkan kesetaraan dan keseimbangan bagi semua etnis baik di kehidupan politik dan ekonominya. Meski tiga PM keturunan Tionghoa, Presiden Singapura bergantian dijabat Melayu dan keturunan Asia Selatan. Padahal, ada dugaan ketimpangan ekonomi antara warga keturunan Tionghoa, Melayu, dan Asia Selatan di sana.
Isu rasialisme juga dikaitkan dengan perlakuan terhadap pekerja asing. Pandemi Covid-19 memicu perdebatan perlakuan Singapura terhadap pekerja asing. Asrama yang sesak disebut menjadi salah satu penyebab puluhan ribu pekerja asing tertular Covid-19 di Singapura. ”Ini bukan hanya ketidakadilan sistematis, melainkan juga noda bagi tata kelola Singapura,” kata mantan Direktur Kebijakan Fiskal Singapura yang kini mengajar di Hong Kong University of Science and Technology, Donald Low, kepada The New York Yimes.
Ia menyebut, orang muda Singapura membahas isu politik negeri mereka dengan sangat riuh di dunia maya. Lee Hsien Loong pun mengakui PAP kekurangan dukungan pemilih muda. Lee menyebut orang muda punya prioritas dan aspirasi berbeda dibandingkan generasi tua. Bagi dia dan PAP, warga Singapura tetap ingin PAP memerintah sembari memberi lebih banyak ruang untuk oposisi.
Hasil pemilu 2020 juga berpeluang mendorong Singapura kembali mengetatkan izin bagi pekerja asing. Hal itu pernah terjadi pada 2011 kala PAP mencatat perolehan terburuk sepanjang sejarah. “Pembuat kebijakan akan mengetatkan izin pekerja asing,” ujar Song Seng Wun, ekonom pada CIMB Private Banking. (AP/REUTERS)