Tak Perlu Dibayar, Pajak bagi UMKM Cukup Dilaporkan
›
Tak Perlu Dibayar, Pajak bagi ...
Iklan
Tak Perlu Dibayar, Pajak bagi UMKM Cukup Dilaporkan
Pelaku usaha didorong untuk memanfaatkan penghapusan PPh final 0,5 persen yang disediakan pemerintah. Melalui program ini, wajib pajak hanya perlu melaporkan pajaknya.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian insentif pajak berupa penghapusan Pajak Penghasilan final 0,5 persen bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM belum sepenuhnya dimanfaatkan. Baru ada sebanyak 201.000 pelaku usaha atau 8,7 persen dari 2,3 juta UMKM pemilik nomor pokok wajib pajak yang mengajukan insentif ke pemerintah.
Padahal, dengan memanfaatkan program senilai Rp 2,4 triliun yang dianggarkan melalui dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pelaku usaha tidak perlu membayar Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet setiap bulan. Pelaku usaha cukup melaporkannya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menyampaikan, skema pelaporan pajak bagi pelaku UMKM sudah dibuat mudah. Mereka hanya perlu melaporkan omzet dan besaran PPh final 0,5 persen.
Pelaku usaha, misalnya, memiliki omzet dari penjualan konvensional pada Juni 2020 sebesar Rp 50 juta dan penjualan digital Rp 100 juta. Artinya, dalam keadaan normal, pelaku usaha wajib membayar PPh final sebesar 0,5 persen dari Rp 150 juta, yaitu Rp 750.000.
”Tapi, dalam kondisi pandemi Covid-19, pelaku usaha hanya perlu menghitung dan melaporkan omzet beserta besaran PPh final 0,5 persen,” kata Yoga, Senin (13/7/2020).
Paparan ini disampaikan dalam webinar ”UMKM Bangkit bersama Pajak di Era Pandemi” yang diselenggarakan oleh Ditjen Pajak bersama Katadata. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Pendiri Mpok Nini, Deni Ardani; CEO Sinergi Business Solution Ridwan Abadi; serta Founder dan CEO Panenmaya Group Pikukuh Tutuko.
Penghapusan PPh final 0,5 persen, kata Yoga, dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha dengan omzet Rp 4,8 miliar per tahun atau di bawah Rp 400 juta per bulan. Insentif diberikan hingga September 2020 dan ada kemungkinan untuk diperpanjang hingga Desember 2020.
Sebagai upaya sosialisasi, Ditjen Pajak sudah mengirimkan surat elektronik (e-mail) secara serentak kepada sekitar 2,3 juta UMKM pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP). Namun, memang pemanfaatan program ini masih minim.
”Kami harap pelaku usaha bisa memanfaatkan program ini supaya mereka bisa fokus untuk mempertahankan dan mengembangkan usahanya. Program ini juga bisa mengajak UMKM untuk memiliki NPWP, sekaligus memanfaatkan program pembebasan pajak,” ujar Yoga.
Pikukuh Tutuko menjadi salah satu pelaku usaha yang sudah memanfaatkan program penghapusan PPh final 0,5 persen. Meski begitu, ia mengakui masih banyak pelaku usaha yang belum mendapatkan informasi ini.
”Program ini tentunya bermanfaat bagi pelaku usaha, tetapi banyak dari klien saya juga yang ternyata belum tahu ada program ini. Jadi memang sosialisasi bahwa ada fasilitas dukungan dari pemerintah untuk meringankan beban usaha harus lebih kuat,” ucap Pikukuh.
Begitu pun dengan Ridwan Abadi, pelaku usaha sekaligus konsultan di bidang pelatihan yang sudah merasakan langsung manfaat dari insentif pajak. Besaran pajak yang tidak perlu dibayarkan dapat membantunya untuk menggaji karyawan dan sebagai modal usaha.
”Awalnya, saat pandemi Covid-19, saya berencana untuk merumahkan sebagian karyawan, tetapi setelah mencoba beradaptasi dengan penggunaan digital, pelatihan tetap dapat dilakukan. Uang yang awalnya untuk membayar pajak pun dapat dialihkan untuk membantu operasional perusahaan,” kata Ridwan.
Sosialisasi insentif pajak juga dilakukan Ridwan kepada sekitar 5.000 UMKM yang ia dampingi. Menurut dia, masih banyak pelaku usaha yang sebenarnya membutuhkan insentif ini, tetapi mereka tidak tahu.
Para pelaku usaha, lanjut Ridwan, lebih berfokus pada penjualan dan ketika mendengar kata pajak mereka sudah takut. Untuk itu, perlu ada cara-cara yang lebih bersahabat sehingga dapat merangkul UMKM untuk memanfaatkan insentif ini.
Deni Ardani, pelaku usaha di bidang oleh-oleh di Jakarta, mengaku belum memiliki NPWP dan tidak mengerti soal perpajakan. Selama ini, ia hanya berfokus pada penjualan makanan dan minuman.
”Saya kurang mengerti perpajakan, saya hanya berpikir tentang jualan, jualan, dan jualan,” katanya.