Menghidupkan kembali tim pemburu koruptor bisa sia-sia tanpa ada komitmen, kesungguhan, dan sinergi antar-instansi pemerintah dan penegak hukum.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menghidupkan kembali tim pemburu koruptor tanpa disertai komitmen dan keseriusan akan berujung sia-sia. Terlebih jika persoalan koordinasi antarinstansi yang ada selama ini masih tetap mengemuka. Sinergi dan totalitas tersebut dibutuhkan karena tidak mudah untuk mengejar para buronan koruptor.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Mulfachri Harahap, saat dihubungi Kompas pada Minggu (12/7/2020), mengatakan, ada atau tidak ada tim pemburu koruptor, yang paling penting dalam memburu buronan koruptor adalah tekad dan kesungguhan pemerintah bersama aparat penegak hukum.
Sebab, menurut dia, setiap lembaga penegak hukum dan pemerintah sudah dibekali kewenangan dan kapasitas yang cukup untuk melacak para buronan. Hambatan yang muncul selama ini terletak pada minimnya komitmen.
Selain itu, juga koordinasi di antara instansi, termasuk di dalamnya pertukaran informasi serta langkah untuk menindaklanjuti informasi yang didapat. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin menghidupkan kembali tim pemburu koruptor, persoalan-persoalan yang ada tersebut harus dipastikan bisa teratasi ketika tim terbentuk.
”Jangan sampai rencana pembentukan tim yang dibarengi dengan ekspektasi tinggi dari masyarakat, tetapi ternyata hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi itu,” kata Mulfachri.
Rencana menghidupkan tim pemburu koruptor disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Rabu (8/7/2020). Rencana itu muncul setelah melihat adanya sejumlah buronan koruptor yang tak kunjung tertangkap. Salah satunya, Joko S Tjandra, terpidana kasus Bank Bali yang buron sejak 2009, bahkan mempermalukan negara dengan bebas keluar-masuk Indonesia beberapa bulan lalu.
Tim pemburu koruptor pernah dibentuk pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, persisnya tahun 2004. Tim itu berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam dan terdiri atas perwakilan sejumlah instansi, seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Andi Rio Idris Padjalangi, pun menekankan pentingnya perburuan para buronan koruptor dilandasi oleh komitmen dan sinergi antar-instansi pemerintah dan penegak hukum.
Tak hanya dalam mengejar para buronan, juga dalam mengejar aset para buronan. Jika nanti tim pemburu koruptor dibentuk, ia berharap tim itu sekaligus mengejar aset.
Adapun anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, meminta agar sebelum tim dibentuk, pemerintah merumuskan terlebih dulu agenda kerja tim. Pemerintah perlu pula memikirkan sumber anggaran tim karena kebanyakan buronan berada di luar negeri.
”Perlu dicek di mana keberadaan buron, lalu aset para buron itu. Lalu harus dipikirkan pula sumber anggarannya untuk tim ada atau tidak. Kalau perlu anggaran besar, sementara aset yang dikejar tidak sebanding, perlu dipikirkan ulang,” tuturnya.
Perjanjian ekstradisi
Tak hanya karena posisi buronan di luar negeri, kendala lain yang bakal dihadapi tim adalah tak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan negara yang dijadikan pelarian oleh para buronan.
Oleh karena itu, menurut pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor, Yenti Garnasih, pembentukan tim pemburu koruptor saja tidak cukup. Perlu ada langkah-langkah lain yang ditempuh. Hal tersebut, antara lain, memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara lain.
Menurut dia, dari 200-an negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia baru memiliki perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, di antaranya Thailand, Filipina, Australia, Korea Selatan, Malaysia, dan China.
Kemudian, jika kelak tim dalam kerjanya memang terbentur oleh perjanjian ekstradisi, pemerintah perlu membantu dengan pendekatan resiprositas atau asas timbal balik. Ini yang diterapkan pemerintah saat memulangkan buronan Maria Pauline Lumowa dari Serbia, beberapa waktu lalu.
Selain itu, menurut Yenti, langkah lain yang bisa ditempuh, khususnya dalam memburu aset koruptor, adalah memanfaatkan keanggotaan Indonesia dalam The Asia/Pacific Group on Money Laundering atau Financial Action Task Force (FATF). FATF dapat membantu aparat untuk melacak aset koruptor yang berada di luar negeri.
Perkuat tim
Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra meminta pemerintah agar belajar dari tim pemburu koruptor yang sebelumnya ada. Kendala yang mereka hadapi dalam memburu koruptor bisa menjadi bahan untuk membuat tim yang lebih kuat nantinya.
Ia pun mengusulkan agar unsur instansi yang dilibatkan di dalam tim diperkuat. Sebagai contoh, pentingnya melibatkan unsur Kementerian Luar Negeri. Ini penting mengingat tidak sedikit buronan di luar negeri. Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto mengingatkan, kerja tim harus pula dibantu pemerintah. Jangan sampai tim sudah bekerja keras, tetapi ada oknum di pemerintahan yang justru meloloskan para buronan.
Oleh karena itu, semua unsur penegak hukum dan pemerintah harus memiliki komitmen yang sama dan saling berkoordinasi. Ia mengungkapkan, pemerintah atau presiden harus lebih tegas, konsisten, dan memastikan para menteri terkait serta jajarannya bekerja secara efektif dan disiplin.
Hal tersebut bertujuan agar tidak ada celah bagi para tersangka atau terpidana mengelabui aparat penegak hukum. ”Tidak boleh ada pembiaran terhadap tersangka dan terpidana mengingkari proses hukum,” ujarnya.