Ketika pandemi Covid-19 menerpa dan belajar tatap muka di sekolah ditiadakan, banyak orangtua kelimpungan. Tiba-tiba, mereka harus siap menemani anak-anak belajar di rumah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Berangkat dari ketidakpuasan terhadap pengalaman pendidikan di sekolah, sejumlah keluarga memutuskan menerapkan homeschooling kepada anak mereka. Bersama anak, mereka mendudukkan diri sebagai orang yang sama-sama belajar.
Pasangan Irma Nugraha-Ledi Trialdi berasal dari keluarga pendidik. Irma berprofesi sebagai guru sekolah swasta di Tangerang, sedangkan Ledi adalah dosen fakultas ekonomi dan bisnis di salah satu universitas di Jakarta.
”Kami berdua dulunya juga produk sekolah formal. Ketika bekerja sebagai tenaga pendidik, kami merasa ada hal yang kurang pas dalam penerapan pendidikan di sekolah formal. Sementara visi kami sebagai keluarga adalah pendidikan bisa memberikan kebahagiaan sekaligus fondasi, mulai dari numerasi, literasi, komunikasi, serta learning how to learn,” ujar Ledi saat menghadiri sesi ”Cerita Homeschooling” di akun Instagram Rumah Inspirasi, Sabtu (11/7/2020).
Kegelisahan yang sempat dialami adalah mampukah sekolah memberi anak-anak orientasi dan opsi sehingga anak bebas menentukan masa depan yang dia inginkan, termasuk profesi. Berangkat dari kegelisahan itu, mereka memutuskan agar anak pertama mengikuti homeschooling sejak sekolah dasar setelah sempat mengenyam bangku taman kanak-kanak.
Pada awal homeschooling, Irma masih memakai paradigma ”sekolah”. Dia sibuk mencari sumber-sumber belajar, kursus, dan metode. Dia melupakan bahwa fondasi keluarga belum kuat dan fondasi anak sebagai pemelajar juga belum dipersiapkan.
”Tips pertama bagi orangtua yang mau menerapkan homeschooling adalah jadilah ’orangtua’ dulu. Gali pemahaman pengasuhan, pasang prinsip-prinsip berkeluarga, baru masuk ke urusan keilmuan,” kata Irma.
Dia dan suami juga memilih profesi pekerjaan yang memudahkan keduanya fleksibel mengatur jam kerja agar bisa mendampingi anak belajar. Mereka memperhitungkan konsekuensi penerapan homeschooling.
Keluarga besar yang berlatar belakang pendidik di sekolah mulanya ragu. Bahkan, kakek-nenek anak suka mencekoki indahnya bersekolah. (Irma Nugraha)
”Keluarga besar yang berlatar belakang pendidik di sekolah mulanya ragu. Bahkan, kakek-nenek anak suka mencekoki indahnya bersekolah. Saya dan suami selalu menjelaskan keputusan yang kami ambil sehingga lambat laun mereka paham,” katanya.
Pasangan suami-istri Dio dan Putri mempunyai pengalaman berbeda. Mereka memiliki tiga anak. Anak pertama dan kedua sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah sebelum menjalani homeschooling. Adapun anak ketiga tidak pernah duduk di bangku sekolah formal.
Alasan di balik keputusan mengajak anak pertama dan kedua mengikuti homeschooling adalah visi-misi pendidikan sekolah berbeda dengan keluarga. Mereka sempat ingin memindahkan kedua anaknya ke sekolah baru, tetapi ternyata situasinya sama.
Dio mengungkapkan, anak pertama menemukan minat videografi dan berani mengeksplorasi aktivitas yang sesuai. Minat itulah yang kemudian difasilitasi dan didukung. Sementara anak kedua memiliki minat di bahasa Korea dan olahraga memanah. Putri kemudian mencarikan tutor bahasa Korea dan fasilitas latihan memanah.
”Kami sempat ada kekhawatiran mereka kekurangan teman. Kekhawatiran itu tidak terbukti. Ternyata mereka bertemu komunitas yang sejalan dan punya teman bergaul,” kata Dio.
Pasangan Rake Nasri dan Ali Reza mempunyai pengalaman menarik dalam mendampingi tumbuh kembang ketiga anaknya. ”Salah satu anak kami menyukai segala hal tentang serangga. Kami lalu mendatangi sebuah laboratorium serangga di Taman Mini Indonesia Indah dan menghadiri seminar di UGM. Semuanya itu butuh biaya, tetapi bisa disiasati karena kami tidak mengeluarkan biaya sekolah,” kata Rake Nasri.
Tetap sekolah
Lain cerita dengan Ficky Yusrini, orangtua dari seorang anak di Bogor. Ficky tetap menyekolahkan anaknya di sekolah, tetapi dirinya juga menerapkan metode Charlotte Mason yang populer di kalangan homeschooler.
Dia percaya, tidak ada satu pun sekolah yang ideal. Setiap keluarga pasti punya tujuan pendidikan masing-masing. Maka, orangtua harus tahu kekurangan sekolah, dan apa yang harus ditambal sendiri di rumah.
”Paradigma/kurikulum homeschooling sangat membantu memberi perspektif tentang tujuan pendidikan dan bagaimana menerapkan metode pendidikan di rumah tanpa kita perlu intervensi,” katanya.
Pendiri Rumah Inspirasi, Aar Sumardiono, menjelaskan, proses pendidikan homeshooling dengan sekolah beda. Isu besarnya terletak pada otonomi. Ketika anak mengikuti pendidikan di sekolah, peran orangtua cenderung hanya menjadi pelaksana.
Dalam homeschooling, tidak ada jam belajar saklek dan target belajar lebih longgar.
Sementara di homeschooling, otonomi ada di keluarga. Sekolah memiliki isu manajemen kelas sehingga saklek target apa pun, termasuk waktu belajar. Dalam homeschooling, tidak ada jam belajar saklek dan target belajar lebih longgar.
Paradigma homeschooling bisa luwes karena selalu mengedepankan pembelajaran berbasis kontekstual. ”Paradigma homeschooling tidak bisa dipakai begitu saja karena sekolah memang didesain untuk mengharapkan target kurikulum tercapai,” katanya.
Inti homeschooling, menurut dia, terletak pada orangtua yang mau ikut belajar, menjadi fasilitator, dan mengarahkan tanpa mendikte anak. Setelah inti itu dipahami, orangtua boleh memilih teknis dan metode belajar.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Samto mengatakan, banyak muncul pertanyaan dari orangtua yang ingin anaknya mengikuti homeschooling dan tidak lagi bersekolah formal. Fenomena ini diduga karena dipicu pandemi Covid-19. ”Orangtua harus siap dulu segala konsekuensi homeschooling,” ujarnya.