Di tengah badai Covid-19 yang mengguncang ekonomi global dan nasional, pengembangan kawasan ekonomi khusus sejatinya bisa jadi peredam. Pemerintah perlu mengkaji ulang dan memperbaiki strategi pengembangan KEK.
Oleh
Martani Huseini
·5 menit baca
Di tengah badai Covid-19 yang mengguncang ekonomi global dan nasional, pengembangan kawasan ekonomi khusus sejatinya bisa jadi peredam.
Pembahasan kawasan ekonomi khusus (KEK) oleh DPR dan pemerintah sudah melalui jalan terjal dan berliku sebelum melahirkan penetapan UU No 44/2007, UU No 25/2007, dan UU No 39/2009 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas dan KEK. Pengawalan sebelumnya berupa PP No 33/1996 tentang Kawasan Berikat, Keppres No 41/1966 tentang Kawasan Industri, dan Keppres No 150/2000 tentang Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Artinya, begitu seriusnya pengawalan, mulai dari UU, PP, keppres, hingga perpres sudah dipersiapkan saksama.
Sayangnya, ke-15 KEK yang ditetapkan di era Presiden SBY itu, selama dua periode pemerintahan SBY hingga era Jokowi, belum menunjukkan geliat keberhasilan yang menggembirakan. Apalagi di tengah musibah Covid-19. Upaya reevaluasi dan mitigasi penyelamatan program yang sudah terjadwal ikut terganggu.
Rencana peluncuran perdana penyelenggaraan MotoGP internasional di kawasan wisata KEK Mandalika 2021 untuk menaikkan citra Mandalika nyaris terpinggirkan skala prioritasnya.
Program rebonding kawasan Batam—yang lahir lebih dulu tahun 1970-an sebagai FTZ (free trade zone) sebelum berubah bentuk jadi KEK Galang Batang berkolaborasi dengan pemda Bintan—terseok-seok dalam perkembangannya.
Hasil kajian lapangan sementara tim Cigo UI hingga akhir 2019, di lima wilayah KEK (Batam-Bintan, Mandalika-NTB, Singhasari-Malang, Morotai-Maluku Utara, dan Sorong-Papua Barat) masih belum terlihat geliat kemajuannya. Bahkan, pilihan mana yang dijadikan inti dan non-inti bisnis (core versus non-core) masih jadi perdebatan pihak pengelola.
Peta sebaran KEK sejatinya telah dipikirkan secara ”ideal dan strategis” oleh pemerintah pusat berdasarkan usulan setiap pemda dan pelaku bisnis terkait. Namun, updating atas peta persaingan global dan kemampuan pihak terkait di tiap KEK terabaikan karena birokrasi kaku dan kurang lincah.
Namun, updating atas peta persaingan global dan kemampuan pihak terkait di tiap KEK terabaikan karena birokrasi kaku dan kurang lincah.
Gagasan pemilihan KEK di Sumatera—mulai dari Lhokseumawe (Aceh), Sei Mangkei (Sumut), Galang Batang (Kepri), Tanjung Api-Api, hingga Tanjung Kelayang—dianggap telah merepresentasikan wilayah strategis Sumatera yang sangat dekat dengan negara tetangga Singapura, Malaysia, bahkan Thailand dan Vietnam, yang secara geostrategis pesaing utama keenam KEK diharapkan bisa bersaing head to head.
Seandainya konsep berkompetisi sesama negara ASEAN bisa diubah jadi coopetition, berkompetisi tetapi juga berkolaborasi, mengingat rantai nilai bisnis global (global value chain/GVC) saling butuh penyangga dari aspek energi, bahan baku, teknologi, dan SDM.
Selebihnya, KEK lain, seperti Tanjung Lesung, Kendal, dan Singhasari, mewakili Jawa. Matoy Batuta mewakili Kalimantan. Palu, Likupang, dan Bitung mewakili Sulawesi. Wilayah Papua diwakili Sorong dan Maluku Utara diwakili Morotai yang memiliki potensi luar biasa untuk menopang kegiatan perekonomian nasional.
Apalagi, fungsi strategis pengembangan KEK ke depan masih dapat dikaitkan dengan program baru kabinet jilid dua Jokowi-Amin, di samping penyerapan tenaga kerja setempat, tempat praktik siswa dan mahasiswa di era implementasi program Kampus Merdeka yang butuh tempat pelatihan dan magang.
Inovasi dan hilirisasi
Gagasan ideal Kemendikbud dan BRIN untuk memanfaatkan temuan-temuan inovasi dari kampus-kampus ”terdekat” dengan wilayah KEK, seperti inovasi sekolah vokasi hingga perguruan tinggi, misalnya mobil listrik masa depan Gesit, semestinya bisa dikerjasamakan dan dilakukan proses hilirisasi lewat program link & match antara institusi bisnis dan kampus dalam bangunan inkubator bisnis usaha rintisan.
Mengingat beberapa wilayah KEK, seperti Palu dan Sorong, memiliki bahan baku litium yang cukup besar, proses pembuatan baterai sebagai komponen utama motor ataupun mobil listrik bisa diutamakan prioritasnya. Demikian juga inovasi di bidang pangan dan pakan yang berbasis rumput laut, umbi-umbian, dan perikanan.
Ketersediaan bahan baku tersebut, terutama dari kawasan timur Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan pasokan pasar domestik ataupun internasional semestinya diprioritaskan.
Demikian juga inovasi di bidang pangan dan pakan yang berbasis rumput laut, umbi-umbian, dan perikanan.
Kunci sukses
Pernyataan Dewan Nasional KEK, 17 Februari 2020, cukup jelas dan konsisten. Pengembangan KEK dimaksudkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain agar memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, mempercepat pengembangan daerah sebagai model terobosan pengembangan daya saing kawasan, mempercepat pertumbuhan ekonomi, seperti pariwisata dan perdagangan, sehingga dapat meningkatkan lapangan kerja.
Dari 15 KEK, 11 telah beroperasi. Hanya empat (KEK Lhokseumawe-Aceh, Kendal-Jateng, Singhasari-Malang, dan Likupang-Minahasa Utara) yang belum beroperasi. Walaupun penetapan lokasi KEK dan varian industri yang dikembangkan cukup selektif dan dianggap final, tak ada salahnya, Covid-19 dijadikan peringatan penting untuk mengkaji ulang beberapa aspek kunci sukses yang perlu diperhatikan kembali.
Pertama, aspek governansi (people, process, leverage), termasuk tata kelola kepemerintahan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota, apakah sudah harmonis? Kedua, apakah pengembangan industri terpilih di KEK (core product/service) sudah didasarkan pada kepemilikan kompetensi inti (core competency) yang dimiliki, seperti ketersediaan bahan pendukung, infrastruktur, SDM, dan kepemilikan teknologi yang relevan? Ketiga, apakah bangunan ekosistem (aktor dan faktor terpilih) dapat mendukung memunculkan temuan-temuan produk hilir yang baru?
Pengembangan KEK dimaksudkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain agar memiliki nilai ekonomi tinggi.
Keempat, tak kalah penting, apakah penyelarasan antara input dan output industri sudah dipadukan dengan sistem logistik nasional? Kelima, apakah antisipasi terhadap rangkaian GVC intra-KEK nasional dan antar-KEK di ASEAN supaya terjadi coopetitive-modelling? Keenam, kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat, yang mungkin mengganggu kegiatan operasionalnya.
Jika lebih dari separuh kunci sukses itu tak dapat dipenuhi, pemerintah harus membuatkan panduan rinci exit strategy di setiap KEK. Semoga kaji ulang dan niat memperbaiki strategi pengembangan KEK sebagai sentra dan tulang punggung ekonomi dan industri masa depan dapat dijalankan sesuai harapan bangsa.
(Martani Huseini Guru Besar FIA UI dan Ketua Center for Innovative Governance (Cigo))