Eks narapidana Surya Anta menemukan permasalahan di rumah tahanan saat menjalani hukuman penjara. Sebut saja kelebihan penghuni, perdagangan narkoba, dan dugaan pungutan liar.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eks narapidana Surya Anta membeberkan sejumlah masalah saat menjalani hukuman di Rutan Salemba, Jakarta. Permasalahan itu dimulai dari kekurangan kapasitas rutan, narkoba yang dijual bebas, hingga dugaan pungutan liar terhadap tahanan dan narapidana. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang menelusuri kebenaran informasi itu.
Surya Anta bersama lima aktivis lainnya dipenjara karena kasus makar. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 9 bulan penjara kepadanya lantaran pengibaran bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa di Istana Negara, Agustus 2019.
Dihubungi pada Senin (13/7/2020), Surya Anta menjelaskan, dirinya dipindahkan ke Rutan Salemba pada 18 November 2019. Sebelumnya, ia ditahan di Mako Brimob. Selama sebulan pertama, ia menjalani masa pengenalan, pengamatan, dan penelitian lingkungan (mapenaling) dan ditampung di ruang penampungan.
Ruangan penampungan yang idealnya hanya cukup untuk 150 orang ini diisi lebih dari 400 orang. Di dalamnya terdapat dua kakus dan empat keran air. ”Dari empat pancuran itu, yang menyala cuma tiga,” katanya.
Sebulan di tempat penampungan, Surya Anta pindah ke Blok J Kamar 18. Juru bicara Front Rakyat Indonesia for West Papua ini menuturkan, di dalam rutan ada pengurus. Jajaran pengurus ini terdiri dari warga binaan yang sudah menjadi tokoh. Pengurus inilah yang menawarkan kamar kepada tahanan narapidana yang punya banyak uang. ”Rerata ditawarkan kepada narapidana yang vonisnya lebih dari 5 tahun,” katanya.
Selain menerima bayaran kamar, pengurus juga mengutip uang mingguan bagi penghuni kamar. Dia bisa terbebas dari biaya kamar karena pengurus khawatir dirinya akan menyampaikan hal ini kepada publik. ”Waktu sebulan di penampungan, saya pernah sakit, dan informasi mengenai ini sampai ke media. Mereka takut saya menyampaikan hal ini kepada publik,” kata pria yang bebas pada 26 Mei 2020 ini.
Dia menjelaskan, pungutan liar ini diketahui oleh petugas rutan. Bahkan, petugas rutan diduga juga mendapat ”uang rokok” dari pungutan liar ini.
Tahanan dan narapidana, lanjut Surya Anta, juga harus membayar saat mendapat kunjungan. Mereka harus membayar oknum yang bertugas mengantarkan surat kunjungan kepada narapidana dan tahanan. Surat kunjungan pertama biayanya Rp 50.000. Sementara surat kunjungan kedua dan seterusnya berbiaya Rp 25.000. Setelah Surya Anta dan kawan-kawannya protes, biaya surat kunjungan dipangkas menjadi Rp 10.000.
Pungutan liar ini diketahui oleh petugas rutan. Bahkan, petugas rutan diduga juga mendapat ’uang rokok’ dari pungutan liar ini.
”Yang bertugas mengantarkan surat kunjungan ini biasanya tahanan miskin. Mereka butuh kerjaan ini untuk mencari uang. Dia cuma mendapat Rp 5.000 untuk setiap surat kunjungan, sisanya disetor ke pengurus,” katanya lagi.
Di luar dugaan pungutan liar, Surya Anta juga mendapati narkoba dijual secara bebas di tempat ini. Ada kamar tertentu yang disebut dengan istilah ”apotek”. Di kamar ini, penjual narkoba yang juga narapidana atau tahanan membungkus sabu dalam bentuk paket kecil seharga ratusan ribu rupiah. Dia beberapa kali pernah ditawari untuk mengonsumsi sabu. Namun, dia menolak tawaran itu.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Rika Apriyanti menjelaskan, timnya sedang menelusuri kebenaran informasi itu. Pihaknya akan menindak tegas oknum yang terlibat pungli dan peredaran narkoba.
Menurut dia, persoalan rutan yang kekurangan kapasitas memang harus segera dipecahkan. Rutan Salemba, misalnya, saat ini dihuni 3.249 orang. Sementara kapasitas rutan tersebut hanya 1.500 orang. Setiap regu penjagaan diperkuat oleh 21 orang. ”Jadi, dari situ saja bisa dibayangkan jangkauan pengawasan terhadap warga binaan,” ucapnya.
Ada kamar tertentu yang disebut dengan istilah ’apotek’. Di kamar ini, penjual narkoba yang juga narapidana atau tahanan membungkus sabu dalam bentuk paket kecil seharga ratusan ribu rupiah.
Dia melanjutkan, sudut pandang pemidanaan semestinya bisa lebih baik. Ada beberapa peluang bagi terpidana agar tidak selalu berakhir di rutan atau lapas. Dengan sendirinya, hal ini akan mengurangi beban rutan dan lapas.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 14, misalnya, memberikan peluang pidana bersyarat bagi orang yang divonis satu tahun ke bawah. Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga mengatur bahwa pengguna narkoba bisa menjalani rehabilitasi.
Hingga April 2020, jumlah narapidana dan tahanan di Indonesia mencapai 225.176 orang, sedangkan total daya tampung penjara hanya untuk 132.107 narapidana dan tahanan. Jika dirata-rata, terdapat kelebihan penghuni sebesar 70 persen se-Indonesia (Kompas, 13/4/2020).
Dalam catatan Kompas, peredaran narkoba dan kelebihan penghuni di rutan dan lapas sering dilaporkan. Bahkan, dalam beberapa kasus, hal ini memicu kerusuhan. Misalnya saja kerusuhan di Rumah Tahanan Kelas IIB Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Februari lalu.
Narapidana dan tahanan di rutan itu mengamuk dan membakar hampir semua ruangan di rutan. Kaca-kaca di rutan pecah dan berserakan di lantai. Meja, kursi, dan berkas-berkas di ruang administrasi hangus terbakar. Beberapa jeruji besi jebol. Kerusuhan ini berhubungan dengan razia yang dilakukan petugas di dalam rutan. Ada empat warga binaan dan dua sipir yang terlibat dalam peredaran sabu di rutan itu.