Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat rata-rata 16,31 persen penduduk dunia menjadi anggota koperasi. Namun di Indonesia, baru sekitar 8,41 persen masyarakat yang bergabung dalam koperasi.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cita-cita menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian di Indonesia masih jauh dari pencapaian. Koperasi hingga saat ini belum menjadi pilihan utama masyarakat sebagai lembaga ekonomi atau badan usaha.
Partisipasi penduduk Indonesia menjadi anggota koperasi masih rendah. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat rata-rata 16,31 persen penduduk dunia menjadi anggota koperasi.
”Namun di Indonesia, baru sekitar 8,41 persen masyarakat yang bergabung dalam koperasi,” kata Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki saat memberi pidato kunci dalam seminar daring nasional, Senin (13/7/2020).
Dua sesi diskusi digelar pada seminar tersebut. Sesi pertama bertema ”Tantangan, Peluang, dan Posisi Koperasi dalam Perekonomian Nasional” dan sesi kedua bertema ”Manajemen Koperasi dalam Rangka Sharing Economy dan Disruptive Economy”.
Menurut Teten, kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2019 baru sekitar 0,97 persen. Kontribusi ini relatif rendah dibandingkan rata-rata kontribusi koperasi terhadap ekonomi dunia yang sekitar 4,3 persen.
Beberapa faktor yang menyebabkan antara lain minimnya dukungan regulasi, manajemen sumber daya manusia, akses pembiayaan, dan pengawasan. Untuk itu, pemerintah berupaya membangun ekosistem usaha koperasi yang memungkinkan koperasi bisa tumbuh seluas-luasnya.
”Pemerintah sedang menyusun konsep arsitektur pengembangan koperasi Indonesia. Langkah ini untuk mewujudkan koperasi yang sehat, mandiri, modern, berdaya saing, dan mendukung UMKM,” katanya.
Pemerintah sedang menyusun konsep arsitektur pengembangan koperasi Indonesia.
Pilar kebijakan tersebut, tambah Teten, akan berfokus pada infrastruktur, profesionalisme tata kelola koperasi, pembiayaan dan kapasitas usaha, serta pengawasan dalam konteks pembinaan terhadap koperasi.
Staf Khusus Presiden Arif Budimanta mengatakan, landasan ekonomi Indonesia berbasiskan Pancasila yang merupakan landasan ideologis. Sistem ekonomi yang melandasi perekonomian nasional diharapkan berlandaskan Pancasila, kerakyatan, keadilan, dan ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sistem perekonomian Indonesia tidak antipasar tetapi memandatkan agar negara hadir untuk membela atau mengafirmasi mereka yang secara struktural dilemahkan atau dimarjinalkan oleh pasar. Biasanya yang dimarjinalkan adalah pelaku usaha lemah.
”Atas dasar itu pelaku usaha lemah atau pelaku UMKM memerlukan suatu solidaritas yang kuat dengan berhimpun dalam suatu gerakan, yakni koperasi,” ujarnya.
Arif menambahkan, diperlukan transformasi dari corak ekonomi subordinasi menjadi ekonomi Pancasila dengan menyusun dan menata sistem perekonomian nasional seperti dimandatkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (1). Transformasi struktural perekonomian nasional tersebut setidaknya menyangkut tiga hal, yakni alokasi sumber daya, kebijakan, dan pelaku.
Cerita baru
Rektor Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) Burhanuddin Abdullah mengatakan, setiap krisis ekonomi besar senantiasa diikuti dengan cerita baru perubahan. Setelah krisis keuangan pada 2008 sampai sekarang itu tidak ada cerita baru. Jadi ceritanya tetap cerita lama, yaitu menyangkut neoliberalisme dan kapitalisme.
Paling-paling yang ada adalah pengelolaan yang baik atau perbaikan transparansi dan tata kelola. ”Tetapi secara cerita, ya, tetap cerita lama. Oleh karena itu, dalam pemikiran saya, Indonesia memerlukan cerita baru untuk sebuah perekonomian yang lebih adil dan lebih menyejahterakan,” katanya.
Menurut pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Revrisond Baswir, apabila ingin membuat cerita baru, momentum perbaikan koperasi di tengah pandemi Covid-19 ini perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tujuannya adalah agar bisa menjebol kendala struktural yang memarjinalkan koperasi.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah perlunya menyusun UU Koperasi yang baru. ”Susunlah UU Koperasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi untuk kembali menghidupkan jiwa koperasi,” katanya.
Kemudian langkah dua, lanjut Revrisond, membuka kesempatan bagi semua untuk membuat organisasi gerakan koperasi yang tidak menjadi alat kekuasaan dan tidak didominasi kepentingan politik tertentu. Koperasi ini benar-benar dipastikan untuk memperjuangkan nasib seluruh anggota koperasi dan masyarakat dalam arti luas.
Ketiga, perlu sosialisasi atau pendidikan dan pelatihan koperasi secara besar-besaran kepada seluruh anggota dan masyarakat luas. Hal ini agar masyarakat kembali mengenal ideologi koperasi, prinsip-prinsip koperasi, dan tahu persis jalan dalam rangka mengembangkan koperasi.