Lembaga Keuangan dan Negara Investor agar Konsisten pada Komitmen Lingkungan
›
Lembaga Keuangan dan Negara...
Iklan
Lembaga Keuangan dan Negara Investor agar Konsisten pada Komitmen Lingkungan
Negara investor dan lembaga keuangan internasional diminta mempelajari betul isi RUU Cipta Kerja saat ini yang dinilai akan membahayakan masa depan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara investor, baik yang memberikan pinjaman maupun bantuan finansial, didorong menelaah lebih lanjut manfaat yang dijanjikan dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Perundangan yang sedang dibahas di DPR ini dinilai akan membawa perlindungan lingkungan dan sosial Indonesia semakin rendah dari standar global yang berlaku dan diterima secara umum dalam pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
Dorongan tersebut disampaikan sejumlah lembaga yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil, di antaranya Greenpeace Indonesia, Elsam, Walhi Eksekutif Nasional, Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Senin (13/7/2020).
Koalisi masyarakat sipil tersebut juga mengirimkan surat terbuka peringatan investasi ke sejumlah lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Asian Bank Development, Pusat Keuangan Internasional (IFC), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Asian Infrastructure and Investment Bank. Surat juga dikirim ke kedutaan besar negara-negara asing yang mempunyai kesepakatan kerja sama bilateral dan multilateral, seperti China, Amerika Serikat, Norwegia, Jepang, dan Uni Eropa.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Jasmine Puteri menyampaikan, surat peringatan investasi dikirimkan ke lembaga dan kedutaan besar tersebut karena RUU Cipta Kerja sangat berkaitan dengan proyek investasi. Namun, di sisi lain koalisi menilai RUU ini akan memasifkan kerusakan lingkungan di Indonesia dan bertentangan dengan standar yang ditetapkan lembaga keuangan tersebut.
”Di standar sosial pertama untuk kerangka pengaman yang ditetapkan, peminjam, dalam hal ini Indonesia, itu tidak hanya harus melakukan kajian amdal, tetapi juga audit lingkungan, sosial, dan standar lainnya. Sementara di RUU Cipta Kerja ini izin lingkungan saja akan dihapuskan,” ujarnya.
Sebagai catatan, izin lingkungan ini dilebur bersama izin usaha. Sementara analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hanya diberlakukan pada kegiatan berisiko lingkungan tinggi.
Saat ini kerusakan lingkungan masih kerap terjadi karena rendahnya komitmen perlindungan sumber daya alam, hutan, lahan, dan laut Indonesia. Komitmen yang rendah itu terlihat dari masih terjadinya kebakaran hutan setiap tahun dan banyaknya industri batubara.
”Kami mempunyai beberapa permintaan kepada mereka untuk melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai RUU Cipta Kerja ini dan melihat dampaknya, baik secara langsung maupun tak langsung, terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan, dan masyarakat di Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring.
Selain itu, dalam surat tersebut, koalisi juga meminta agar lembaga keuangan internasional melihat dampak investasi di Indonesia yang telah terjalin selama ini. Sebab, menurut Jasmine, bisa jadi sesuatu yang dijanjikan tidak sepenuhnya memberikan keuntungan.
Deputi Direktur Bidang Pengembangan Program ICEL Isna Fatimah mengatakan, sejumlah aturan dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan telah membuat RUU ini mengingkari amanat konstitusi.
Pasal 33 Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sementara dalam Pasal 28H UUD 1945 juga menyebut bahwa setiap orang berhak hidup mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Isna menjelaskan, prinsip pembangunan berkelanjutan juga tidak hanya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi juga undang-undang lain. Peraturan tersebut, antara lain, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU 26/2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, serta UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (yang telah diubah dengan UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara).
Negara seharusnya tidak boleh membuat aturan yang menyebabkan kemunduran terhadap perlindungan lingkungan hidup dan sosial.
”Inisiatif percepatan investasi sebenarnya dimulai tahun 2016, tetapi aturannya semakin memburuk. Ini mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap prinsip non-regresi yang intinya adalah negara seharusnya tidak boleh membuat aturan yang menyebabkan kemunduran terhadap perlindungan lingkungan hidup dan sosial,” tuturnya.