Meski butuh uang, pengguna diminta mengambil jeda waktu untuk mengecek legalitas perusahaan teknologi finansial (tekfin). Kewaspadaan pengguna jadi kunci menghindari jebakan perusahaan tekfin ilegal.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Kewaspadaan pribadi dinilai jadi ujung tombak perlindungan agar pengguna tidak terjebak ke dalam layanan teknologi finansial peminjaman antarpihak ilegal. Meski butuh uang, pengguna diminta mengambil jeda waktu untuk mengecek legalitas perusahaan.
Dari sisi regulasi, Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan menyatakan, pelaku teknologi finansial (tekfin) yang beroperasi secara legal tidak diperbolehkan mempromosikan produknya dengan mengirimkan pesan teks singkat atau SMS tanpa seizin pemilik nomor ponsel.
”Artinya, (perusahaan) tekfin yang menawarkan pinjaman lewat SMS itu ilegal. Sayangnya, di tengah pandemi Covid-19, kebutuhan uang yang tinggi menyebabkan masyarakat cenderung langsung klik (begitu mendapatkan SMS) dan bertransaksi,” ujarnya saat diskusi media yang digelar Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) secara daring, Senin (13/7/2020).
Apabila mendapatkan tawaran melalui SMS atau media sosial, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi OJK Tongam L Tobing menyatakan, pengguna sebaiknya memberikan jeda waktu 5-10 menit sebelum mengeklik tautan yang ada atau membalas pesan. Jeda waktu itu digunakan untuk mencocokkan nama pihak yang menawarkan jasa tekfin peminjaman dengan yang terdaftar di OJK.
Tongam menambahkan, salah satu ciri aplikasi tekfin ilegal ialah meminta akses ke penyimpanan data ponsel dan daftar kontak. Di sisi lain, tekfin legal tidak meminta akses ke dua hal tersebut karena tidak relevan dengan data yang dibutuhkan.
Sepanjang 2020, Satgas Waspada Investasi OJK telah menangani 694 tekfin peminjaman antarpihak yang bersifat ilegal. Hingga saat ini, jumlah tekfin yang beroperasi secara legal dan telah terdaftar di OJK mencapai 158 pelaku jasa.
Salah satu ciri aplikasi tekfin ilegal ialah meminta akses ke penyimpanan data ponsel dan daftar kontak.
Untuk memperkuat pemantauan terhadap transaksi dengan tekfin ilegal, Tongam menyatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Bank Indonesia dan perbankan. Kerja sama ini memungkinkan pemantauan terhadap transaksi atau pembayaran nasabah dengan pihak yang diduga tekfin ilegal.
Selain itu, Tongam juga telah meminta bantuan ke Google dan Apple mengenai platform pengundahan dan pemasangan aplikasi ponsel. Harapannya, sebelum mengunduh dan memasang aplikasi yang diduga tekfin ilegal pada ponselnya, pengguna telah mendapatkan peringatan.
Peladen (server) tekfin peminjaman antarpihak ilegal yang berasal dari luar Indonesia turut menjadi sorotan. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sekitar 22 persen peladen tekfin tersebut berada di Indonesia, sedangkan 31 persen di antaranya berasal dari luar negeri.
Oleh karena itu, Tongam mengatakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir peladen-peladen tersebut agar tidak dapat diakses masyarakat. ”Kami juga meminta masyarakat berhati-hati terhadap tekfin ilegal lantaran ada dugaan dana yang disalurkan berasal dari tindak pencucian uang,” katanya.
Akibat tekfin ilegal, negara rugi karena pajak tidak disetorkan oleh para pelaku. Aliran dana pun tak terawasi dan tidak ada rekam jejaknya. Selain itu, privasi data masyarakat juga cenderung tak terlindungi.
Tumbuh melambat
OJK mendata, pada Mei 2020, total penyaluran pinjaman melalui tekfin secara nasional mencapai Rp 109,18 triliun. ”Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, angka penyaluran tersebut tumbuh 3,12 persen. Angka ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pada April ke Mei 2019 yang sebesar 10,87 persen,” kata Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko.
Dalam penyaluran, Sunu menilai, pihak pemberi pinjaman lebih hati-hati dan menyoroti manajemen risiko. Peminjam yang memiliki rekam jejak yang risikonya minimal masih berpeluang mendapatkan pinjaman. Namun, pinjaman yang bersifat konsumtif cenderung dihindari.
Di sisi lain, pemberi pinjaman masih berminat untuk menyalurkan ke sektor-sektor produktif yang tumbuh selama pandemi Covid-19, misalnya, kesehatan. Oleh karena itu, kata Sunu, pihaknya tengah mengusulkan pada OJK agar batas nilai pemberi pinjaman dapat melebihi Rp 2 miliar untuk memfasilitasi peluang penyaluran tersebut.