Sebagian masyarakat menganggap penuntasan kasus kekerasan seksual pada anak di meja hijau adalah aib bagi keluarga, agama, atau suku tertentu. Tangan besi penegakan hukum dalam kasus itu diperlukan untuk mengatasinya.
Oleh
Windoro Adi
·5 menit baca
”Sampai saat ini kami sudah mencatat ada 23 korban pelaku paedofilia. Jumlah ini bakal bertambah, mengingat pelaku diduga sudah beraksi selama 18 tahun,” ujar Azas Tigor Nainggolan, pengacara para korban paedofilia di sebuah Gereja Katolik, di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat, Minggu (12/7/2020).
Tersangka SPM (42) adalah pembina para putra altar di Gereja Katolik tersebut. Menurut Kepala Polres Metro Depok Komisaris Besar Aziz Andriansyah, Senin (15/6/2020), SPM beraksi di lingkungan gereja, di rumah korban, ataupun di mobil miliknya. Kasus terungkap setelah orangtua korban paedofilia melapor ke polisi pada 22 Mei 2020.
Tigor mengatakan, korban tidak hanya dicabuli, tetapi juga diperkosa. ”Sebagian korban mengaku disodomi. Pendapat kami, kasus sodomi paksa termasuk kasus pemerkosaan, bukan sebatas kasus pencabulan,” ujarnya.
Di tempat lain terungkap, Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, Lampung, berinisial DA, memperkosa NF, seorang anak berusia 14 tahun. NF adalah korban pemerkosaan yang dititipkan di rumah perlindungan anak, P2TP2A.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menduga, DA tidak hanya memperkosa NF, tetapi juga menjual dan mempekerjakan NF sebagai pekerja seks. ”Kata ayah korban, anaknya dijual Rp 700.000. Sebanyak Rp 500.000 untuk NF dan Rp 200.000 untuk tersangka,” kata Jasra. Kasus terungkap setelah NF berhasil kabur dari rumah perlindungan dan mengungkapkan apa yang ia alami kepada pamannya, Kamis (3/7/2020).
Di Jakarta Barat, di tiga hotel di sana, seorang warga negara Perancis (65) ditangkap polisi karena menyetubuhi lebih dari 300 anak dan merekam adegan tersebut. Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, Kamis (9/7/2020), tersangka beraksi sejak Desember 2019 sampai Juni 2020.
Tersangka mengaku sebagai fotografer. Kepada para korban, ia membujuk mereka menjadi foto model. Kamar hotel kemudian dia ”sulap” menjadi studio foto. Di sesi pemotretan akhir, tersangka kemudian meminta korban dipotret tanpa busana. Tak berapa lama, tersangka sudah memperkosa atau mencabuli korban. Tak jarang, ia menganiaya korban jika korban menolak nafsu bejatnya.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, sepanjang 2019, sebanyak 123 anak menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. Dari jumlah tersebut, 71 perempuan dan 52 pria. Diperkirakan, tahun ini, 2020, kasus serupa bakal membengkak.
Berawal dari anak jalanan
Sepengamatan penulis, sebelum tahun 2010, kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak yang muncul di media massa baru sebatas menimpa anak-anak jalanan atau anak-anak dari keluarga miskin. Kasus terbesar adalah kasus ”Babeh” Baekuni, alias Bungkik, yang menyodomi paksa anak-anak pengamen jalanan. Setelah menyodomi, ia selalu membunuh dan memotong-motong mayat korban.
Kasus terungkap setelah ditemukan kardus air mineral berisi potongan mayat di Jembatan Kanal Timur, di Jalan Raya Bekasi, Kilometer 26, Jembatan Besi RT 010 RW 003 Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur, Jumat (8/1/2010).
”Babeh” beraksi sejak 1993. ”Jika hasrat seksualnya secara rutin datang paling lama tiga bulan, maka dalam setahun jumlah korban ’Babeh’ bisa empat anak. Dengan pengandaian tersebut, jika Babeh mulai membunuh sejak 1993, maka jumlahnya bisa Anda hitung sendiri,” tutur Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan, Direskrimum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Nico Afinta (kini Kapolda Kalimantan Tengah berpangkat Irjen) dalam buku Babeh. Duka anak Jalanan (Arsip Metro, Jakarta, Juni 2010).
Tahun-tahun berikutnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak berkembang di lingkungan keluarga. Dari hubungan keluarga tidak sedarah—antara ayah dan anak tiri, misalnya—menjadi hubungan keluarga sedarah. Ayah memperkosa anak kandung pun mulai ramai di media massa.
Kasus berkembang ke lingkungan sekolah umum dan sekolah agama. Kasus serupa ini akhirnya tak lagi mengenal batas kelas sosial ekonomi. Pelakunya bisa siapa saja, baik dari lingkungan sipil-militer maupun dari mana saja. Pesatnya jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak ini didorong oleh semakin mudahnya masyarakat mengakses laman-laman porno di internet, mengonsumsi miras dan narkoba, serta merosotnya kohesi sosial antaranggota keluarga, antarguru dan siswanya, dan makin pendeknya ”sumbu” hawa nafsu seseorang.
Budayawan dan pendidik, Doktor Mardiatmadja SY, menjelaskan tentang ”sumbu” hawa nafsu tersebut. ”Potensi manusia yang berfungsi sosial kerap terperangkap individualisme. Dalam individualisme, cinta bukan lagi semangat untuk berbagi, tetapi semangat untuk menguasai. ’Cintamu kepadaku adalah hakku. Jadi kamu tak boleh lepas tanpa mauku’,” ujar Mardiatmadja. Cinta telah berubah rupa menjadi hawa nafsu seksual.
Contoh ketiga kasus di atas dan data KPAI tadi menimbulkan pertanyaan, ”Lalu, ke mana anak anak Indonesia bisa berlindung dari petaka kekerasan seksual?” Berlindung di balik orangtua atau yang dituakan dalam keluarga?
Berlindung di balik para guru di sekolah? Berlindung di balik para pembina di lingkungan tempat ibadah? Berlindung di balik rumah perlindungan negara? Berlindung di balik para pemuka masyarakat? Ratusan kasus kekerasan seksual terhadap anak di media massa, setidaknya sejak 2010 di Tanah Air bak menjawab, ”Bukan jaminan. Bahkan sebaliknya, bisa menjadi sumber malapetaka itu”.
Aib
Di sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap, penuntasan kasus kekerasan seksual terhadap anak di meja hijau adalah aib. Aib bagi keluarga, agama, marga, atau bagi suku tertentu. Aib bagi sekolah, aib bagi nama baik agama dan golongan tertentu. Oleh karena itu, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan saja. Hindari pemberitaan media massa atau peluang viral di media sosial.
Anggapan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak akhirnya mirip yang terjadi pada kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ada anggapan bahwa anak anak itu masih ”Bukan siapa siapa”, no body. Oleh karena itu, selesaikan kasusnya, ”di bawah tangan”. Muncul pertanyaan, akan seperti apa masa depan masyarakat Indonesia jika para korban yang kelak menjadi generasi penerus dan jumlahnya kian tahun kian banyak terjebak dalam lingkaran setan, ”Dari korban, menjadi pelaku”?
Pembaca tentu sudah tahu, apa jawaban dan solusinya. Kalangan psikolog, antropolog, kriminolog, pendidik, budayawan, rohaniwan, pegiat lembaga swadaya masyarakat, sudah sering mengulasnya.
Kini, kita tinggal menunggu tangan besi penegakan hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dengan demikian, para pelaku kekerasan seksual terhadap anak tak lagi bisa berlindung di balik kabut aib.