Biaya bulanan bagi pelajar pemegang Kartu Jakarta Pintar memang telah ditanggung Pemprov DKI. Namun, uang pangkal sekolah swasta tetap sulit dipenuhi oleh warga miskin Ibu Kota.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Tahun ajaran 2020/2021 sudah resmi dimulai Senin (13/7/2020). Ketika anak-anak di Jakarta memulai proses belajar jarak jauh secara daring, ada anak-anak yang sama sekali belum memulai pendidikannya. Mereka terpaksa berdiam di rumah karena tidak mendapatkan sekolah.
”Anak saya bercita-cita meneruskan ke SMK, tetapi tidak lolos di semua jalur PPDB (penerimaan peserta didik baru). Untuk melanjutkan ke sekolah swasta, saya tidak mampu membiayai,” kata Alfia (50), seorang ibu rumah tangga dari Kelurahan Koja, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, ketika ditemui di depan Balai Kota Jakarta pada Senin.
Alfia bersama suaminya adalah pekerja serabutan. Sebagai istri dan ibu, ia mayoritas berada di rumah untuk mengurus keluarga. Kadang-kadang untuk mencari tambahan penghasilan Alfia menerima pekerjaan mencuci dan menyeterika pakaian dari para tetangga. Anak bungsu mereka, yang enggan ia sebutkan namanya, merupakan penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) semenjak masuk kelas VII di SMP.
Ia berharap anaknya bisa masuk ke SMK negeri untuk belajar keterampilan sehingga ketika lulus bisa langsung mendapat pekerjaan. Akan tetapi, ketika mendaftar PPDB melalui jalur zonasi, putranya tidak lolos karena usianya baru 15 tahun. Jalur zonasi di DKI Jakarta memakai umur anak sebagai metode seleksi penerimaan siswa baru.
Dinas Pendidikan Jakarta kemudian membuat kuota PPDB baru, yaitu zonasi bina RW (rukun warga) untuk menampung anak-anak yang tidak lolos PPDB zonasi reguler. Hal ini tidak memberi dampak apa pun bagi Alfia karena di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada SMK ataupun SMA negeri. Jalur afirmasi untuk siswa miskin dan pemegang KJP menjadi harap terakhir, itu pun tidak lolos karena tetap memakai umur anak sebagai patokan.
”Di dekat rumah memang ada SMK swasta, tapi mahal sekali. Uang masuknya Rp 5 juta. Boleh dicicil, tapi harus dilunasi dalam beberapa hari. Ini belum termasuk biaya seragam, buku pelajaran, uang sekolah bulanan, dan lain-lain. Saya dan suami tidak mampu memenuhinya,” keluh Alfia.
Di dekat rumah memang ada SMK swasta, tapi mahal sekali. Uang masuknya Rp 5 juta. Boleh dicicil, tapi harus dilunasi dalam beberapa hari. Ini belum termasuk biaya seragam, buku pelajaran, uang sekolah bulanan, dan lain-lain. Saya dan suami tidak mampu memenuhinya.
Ia kemudian mencari sekolah swasta yang menurut dia biayanya lebih membumi dan menemukannya di Tanjung Priok. Dalam hal ini, jaraknya terlalu jauh dari rumah. Walaupun pemegang KJP gratis menaiki bus Transjakarta, Alfia harus memikirkan uang makan dan keperluan ekstrakurikuler. Walhasil, anaknya hingga kini belum mendapatkan sekolah.
Korbankan mutu
Arie (50), sesama warga Kelurahan Koja, terpaksa menyekolahkan anaknya ke SMA swasta di wilayah Tanjung Priok. Menurut dia, sekolah swasta di Koja terbagi menjadi dua jenis, yaitu SMA swasta yang bermutu bagus, tetapi dengan biaya selangit, dan SMA swasta berukuran kecil dengan mutu dipertanyakan.
”SMA tempat anak saya sekolah ini akreditasinya B. Saya sudah tidak bisa lagi ngotot mencari sekolah dengan mutu baik karena yang penting anak saya jangan menganggur,” kata istri dari buruh harian di pelabuhan ini. Ia mengaku pontang-panting mencari cara melunasi cicilan uang muka masuk sekolah, apalagi di masa pandemi Covid-19 pekerjaan serabutan untuk dia dan suami sangat terbatas.
Koordinator Nasional Relawan Advokasi Pendidikan Indonesia yang mendampingi para orangtua berunjuk rasa, Syah Dinihari, mengungkapkan ada informasi bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki diskresi yang mengatakan bahwa pemegang KJP bisa memperoleh bantuan uang pangkal masuk sekolah swasta sebesar Rp 2,5 juta. Namun, tata cara pelaksanaannya belum jelas sehingga mereka meminta Dinas Pendidikan untuk memaparkannya kepada publik.
Menilik laman kjp.jakarta.go.id memang ada keterangan mengenai bantuan uang sekolah bagi pemegang KJP di sekolah dan madrasah swasta. Rinciannya adalah bantuan Rp 130.000 per bulan untuk jenjang SD, Rp 170.000 untuk SMP sederajat, Rp 240.000 untuk SMA, dan Rp 240.000 untuk SMK. Sisa kekurangan ditanggung oleh orangtua dan wali murid. Akan tetapi, di laman tersebut tidak ada keterangan mengenai bantuan uang pangkal masuk sekolah swasta.
Humas Dinas Pendidikan Jakarta Sonny Juhersoni meluruskan informasi bahwa KJP hanya memberi bantuan uang sekolah per bulan ditambah dengan dana bulanan KJP. Besaran dana bulanan ini ialah Rp 250.000 untuk SD sederajat, Rp 300.000 untuk SMP, Rp 420.000 untuk SMA, dan Rp 450.000 untuk SMK. Dana ini bisa dipakai untuk membeli kebutuhan sekolah dan bekal anak.
”Bantuan berupa uang masuk ataupun uang pangkal sejauh ini tidak dicakup oleh KJP,” ujarnya.
Bantuan berupa uang masuk ataupun uang pangkal sejauh ini tidak dicakup oleh KJP.
Secara terpisah, anggota Komisi E DPRD Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Idris Ahmad, menjelaskan, permasalahan talangan biaya sekolah swasta sangat bergantung pada keputusan yayasan pengelola sekolah dalam menentukan uang sekolah bulanan dan lainnya. Ia mendorong gagasan apabila yayasan-yayasan ini bisa diberi insentif keringanan pajak bumi dan bangunan sehingga beban tersebut tidak perlu diemban oleh orangtua siswa.