Banyak ekonom memprediksi perekonomian Indonesia, juga dunia, akan resesi akibat pandemi Covid-19.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Banyak ekonom memprediksi perekonomian Indonesia, juga dunia, akan resesi akibat pandemi Covid-19. Namun, di balik bencana non-alam ini, ada peluang yang disebut Forum Ekonomi Dunia sebagai the great reset yang mengarah pada tatanan sosial baru.
Dalam konteks Indonesia, konsumsi merupakan share terbesar pendapatan nasional dengan proporsi 59,4 persen, diikuti investasi, ekspor-impor, dan pengeluaran pemerintah. Jika Indonesia mau menerapkan the great reset, salah satu caranya menggeser pola pendapatan nasional, dari yang tadinya consumption-based menjadi investment-based. Indonesia harus dikenal bukan sebagai ”pasar potensial”, melainkan ”sumber dana potensial”.
Investasi di sektor riil diperlukan untuk pembangunan sehingga arah kebijakan pemerintah adalah untuk meningkatkan investasi, baik domestik maupun asing, bukan peningkatan konsumsi seperti yang dicanangkan beberapa ekonom untuk mengatasi pandemi.
Meski trade off dalam jangka pendek adalah pengurangan konsumsi secara signifikan, dalam jangka panjang Indonesia akan memiliki keberlimpahan dana investasi untuk pembangunan. Banyak ekonom mengatakan bahwa sektor yang paling terdampak adalah UMKM, maka dalam jangka pendek perbankan jangan sampai menghentikan aliran kredit untuk membantu UMKM. Pemerintah juga perlu meningkatkan insentif untuk membantu UMKM.
Jika perekonomian sudah pulih, hasilnya adalah Indonesia memiliki dana investasi berlimpah. Bantuan kredit bisa lebih mudah dikucurkan untuk ekspansi bisnis. Konsumsi yang menurun karena pergeseran ke sektor investasi tak akan menggerus UMKM karena jika UMKM bisa bertahan saat perekonomian sudah pulih, barang-barang produksi UMKM bisa diarahkan untuk diekspor ke negara lain karena saat ini banyak negara mendiversifikasi produk barang impor.
An’im Kafabih
Tenaga Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Malang
Deforestasi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada diskusi-diskusi panel State of the World’s Forests 2020 (SOFO 2020), 22 Juni 2020, mengatakan deforestasi tahunan Indonesia pernah mencapai lebih dari 3,5 juta ha pada 1996-2000, tetapi kini turun tajam menjadi 0,44 juta ha.
Deforestasi sederhananya adalah lahan kritis/tidak produktif dalam kawasan hutan, terjadi sejak adanya perambahan hutan, perladangan berpindah, selain konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) sejak tahun 1967.
Praktik penebangan kayu yang tidak mematuhi kaidah silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) menyebabkan luas dan laju deforestasi hutan alam Indonesia meningkat dan membesar.
Pada tahun 2000, Indonesia memberikan konsesi HPH 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta ha. Produksi kayu dari hutan alam mulai menurun sejak tahun 2005 dan turun ke titik nadir sejak moratorium permanen hutan alam 2019. Pasokan kayu dari hutan alam sekarang hanya dari HPH yang tinggal tersisa 255 unit, dengan luas usaha 18,7 juta ha.
Bekas areal konsesi yang ditinggalkan oleh 345 unit HPH seluas lebih dari 45,3 juta ha merupakan daerah bebas dan terbuka (open access) yang mudah dimasuki perambah hutan. Sebagian bekas HPH digunakan juga untuk 293 unit hutan tanaman industri (HTI) seluas 11,3 juta ha.
Saya berasumsi, sisa lahan hutan yang open access digunakan untuk cadangan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha dan alih fungsi kawasan hutan, tepatnya pelepasan kawasan hutan untuk dan atas nama pembangunan sejak tahun 1985 sampai tahun 2017 seluas 6,7 juta ha, plus kebakaran hutan, perambahan dan perladangan berpindah, sekitar lebih dari 1,5 juta ha.
Setelah ditambah macam-macam, secara kumulatif luas deforestasi adalah 14,6 juta. Ditambah lagi laju deforestasi era Presiden Jokowi seluas 3,3 juta ha.
Apa yang dilakukan KLHK dalam mengatasi deforestasi yang sangat luas itu, baik era sebelum dan masa presiden ketujuh kita? Mengapa kegiatan rehabilitasi hutan jarang dipublikasikan?